9.1.17
“Jurgen Berpikir, Jarod Tertawa”
Komunitas Jalan Roda dalam freezer. (foto: istimewa) |
Presumsi: Membaca ‘Komunitas Jalan Roda’ seperti membayangkan usaha mengumpulkan saliva (air liur) di rongga mulut sebanyak-banyaknya, lalu menelan setengah dari volumenya, dan menyisakan setengahnya lagi untuk meludahinya usai membaca.
Berpikir ke Frankfurt tapi Ngopi di Jarod
Negara dan
pasar memang tak pernah benar-benar meninggalkan ruang kehidupan yang sudah
sesak dengan laku politik dan ekonomi—ihwal kuasa dan uang. Mereka menyusup,
berkelindan dalam kerumunan warga dengan rupa yang beragam; politik bisa
menjelma ekonomi, pasar mampu mengasuh negara, kuasa bertukar-tangkap dengan
uang, dan keduanya sanggup membeli kerumunan, juga menyulap setiap individu
sebagai sekadar nominal atau angka-angka statistik.
Di antara
perhimpitan ruang yang semakin sempit itu, masih adakah kiranya ruang yang
tersisa buat orang-orang berkomunikasi untuk menentukan nasib bersama, berpikir
otonomis, bertindak mandiri, tanpa tauladan kerapian dari negara dan pasar,
tanpa di atur oleh laku politik dan ekonomi, bebas dari cengkeraman kuasa dan
uang?
Jurgen Habermas
pernah memikirkannya. Setengah abad yang lalu di daratan Eropa, ia merumuskan
ruang yang tersisa itu; sebuah konsep ruang yang diambilnya dari sejarah kaum
borjuis Jerman pada abad delapan belas. Kala itu, begitu marak kedai-kedai kopi
juga salon-salon yang beralih fungsi menjadi komunitas-komunitas diskusi.
‘Ruang Publik,’ begitu ia menamainya. Ruang yang terdefinisi sebagai tak hanya
terpisah dari ‘ruang’ politik dan ekonomi, melainkan juga setiap orang memiliki
akses untuk menjadi pengusung opini, guna memengaruhi, termasuk secara
informal, laku-laku yang ada dalam ‘ruang’ negara dan pasar.
Ber-locus di Manado, ruang semacam itu
tampak telah lama hadir, atau mungkin tengah dihadirkan. Sebuah jalur bagi
roda-roda pedati peninggalan sejarah jauh sebelum hiruk-pikuk Perang Dunia I
dan II kini seolah menjelma Ruang Publik. Orang-orang tetap menyebutnya sebagai
‘Jalan Roda’ atau Jarod, meski bentangan jalur itu kini dipenuhi kedai-kedai
kopi yang enggan disinari matahari. Dari luar, ia dikepung oleh gejala-gejala
pasar, juga berjarak tak jauh dari pusat pemerintahan. Di dalamnya terdapat
kerumunan-kerumunan, jajanan, poster-poster, iklan, musik, juga orang-orang
berlalu-lalang dengan pikiran, keinginan, hasrat, harapan, ‘jualan’, juga bau
keringat yang bermacam-macam.
Jarod tak disinari
matahari, maka dari itu ia bisa berarti tak ada ‘aktor utama’ dalam ‘ritual
perkopian’ di sana. Atau jika
menggunakan paradigma teoritikus Rusia, Mikhail Bakhtin, Jarod bisa dipandang
lebih sebagai ruang “Karnaval” tinimbang pentas Teater, maka dari itu Jarod tak
mengenal lampu sorot. Dengan kata lain Jarod tak membedakan mana aktor dan mana
penonton. Di sana, setiap orang turut serta, ia merangkum semuanya. Pejabat,
pengusaha, akademisi, mahasiswa, pengangguran, penjual, pembeli, ahli nujum,
pakar feng shui, tokoh agama, mungkin
juga PSK, hingga peminta-minta, bisa duduk bersama dalam satu kerumunan. Berdebat,
bercengkerama, atau sekadar membicarakan hal-hal banal juga absurd, atau bahkan
hanya berdiam dengan memasang rupa penuh harap.
Barangkali
karena lumernya batas-batas yang memisahkan pentas dan penonton itu, juga
batas-batas yang dianggap final seperti pangkat, privilise, bahkan norma, yang
membuat Muhammad Iqbal—seorang penulis muda Manado—mencoba membuat rumusan
tentang Jarod dengan duduk bersama Habermas. Dalam buku ‘Komunitas Jalan Roda’
(2016) yang ditulisnya, ia pun menerakan definisi: “Jarod,” kata Iqbal, “adalah
Ruang Publik bagi masyarakat Manado yang multikultural.” Lebih jauh, Iqbal pun
mengurai fungsi sosial-politis Jarod a la
Habermasian, “sebagai saluran informasi terhadap isu-isu yang berkembang, dan
warga diberikan kebebasan dan kesetaraan dalam mengemukakan pendapat dan opini
terhadap satu masalah.”
Tapi di sini
barangkali Iqbal keliru. Tentu saja, bagi pembaca yang melek Habermas, definisi Iqbal itu masih bisa diperdebatkan bahkan
ditertawakan. Selain karena mentahnya metode juga data yang disajikan dalam buku
yang sebentuk ‘makalah popular’ itu, juga karena tertera rentetan ironi,
deretan paradoks, ambiguitas, dan juga inkonsistensi dalam narasi Iqbal kala
mencoba menyatu-padankan pun merajut keterpautan antara Jarod dan Ruang Publik
ideal Habermas.
Ketika
Habermas, misalnya, mencita-citakan Ruang Publik yang mandiri dan mengambil
jarak dari negara dan pasar, Jarod dalam realitas yang digambarkan Iqbal
sewaktu-waktu bisa menjelma sebagai ruang sosialisasi politik sekaligus ruang
bagi laku ekonomi untuk kepentingan non-publik. Iqbal berkata, “Jarod selalu
dijadikan sasaran untuk memasarkan produk-produk tertentu, tidak hanya barang
dan jasa, bahkan untuk memasarkan ‘tokoh’ tertentu yang ingin mendongkrak
popularitasnya.”
Se-jarod dengan itu, penekanan
Habermas akan rasionalitas nan borjuis dalam Ruang Publik pun terasa kontras ketika
Iqbal menggambarkan Jarod sebagai ruang yang tak hanya diisi dan diakses oleh
orang-orang yang berpikir rasional dan kritis untuk ‘kepentingan publik’,
melainkan juga oleh orang biasa—dengan kesalahan-kesalahannya, dengan egonya,
dengan emosinya. Fakta ini tentu saja membentangkan paradoks; bagaimana mungkin
konsensus untuk mengusung opini publik dapat lahir dari proses komunikasi yang logis
dan rasional sementara irasionalitas yang melahirkan ‘debat kusir’ tanpa arah
juga ikut menjadi unsur yang inheren dan signifikan di dalamnya?
Habermas pernah
bersabda: “Proses komunikasi publik … tidak hanya mengandaikan bahwa setiap
orang dapat berbicara, dengan kesempatan yang sama, tentang persoalan
pribadinya, keinginan dan keyakinannya; proses komunikasi yang otentik hanya
dapat dicapai di dalam kerangka bahwa semua pendapat pribadi ataupun kelompok
dapat berkembang di dalam dialog rasional kritis dan kemudian membentuk opini
publik.” Dengan rumusan pasal ini, pembaca Habermas bisa saja mendakwa Iqbal
sebagai sekadar penulis yang berpikir jauh ke Frankfurt, tapi ngopi di Jarod.
Tapi Iqbal tak
sepenuhnya keliru. Sebab yang dilihat oleh Iqbal, dalam catatan kakinya, adalah
“proses komunikasi partisipatif dalam satu ruang bersama itu” lahir dari
elemen-elemen multikultural yang berbeda dari konsep multikultural Eropa (atau
Amerika Utara) yang cenderung merupakan proses tuntutan eksistensi dari para
imigran pembawa kebudayaan masing-masing. Dan tentu saja, Jarod bukanlah kedai
kopi Eropa a la abad delapan belas.
Di sinilah
Iqbal berdiri dan sedikit mengambil jarak dari Habermas, bahwa, “Ada hal-hal
pokok yang tak dapat dilebur atau dikaburkan dengan alasan apapun,” teguh
Iqbal.
Iqbal Sphere:
Jarod Ideal yang Perlu Ditemukan
Jarod memang
adalah ruang yang tak sepenuhnya bisa dirumuskan; realitasnya masih membutuhkan
banyak ‘catatan kaki’. Ia tak hanya merupakan ruang yang menautkan tubuh dan
sepetak tanah, melainkan juga ruang yang menjalin-rajut ragam pikiran, ego,
juga keluh-kesah serta harap-cemas dari komunitasnya. Dari itu, matinya Ruang
Publik otentik di Jarod sekaligus gagalnya Iqbal menghadirkan konsep Ruang
Publik di ‘Komunitas Jalan Roda’ bukanlah hal yang perlu diratapi. Sebab Iqbal
tak sedang berilusi; alih-alih hendak menghadirkan sepenuhnya Ruang Publik
ideal Habermas di Jarod, ia sebenarnya, lewat fenomena Jarod, hendak menyusun kritik
terhadap Habermas.
Di sinilah
barangkali presumsi tentang saliva itu
menjadi agak relevan terkait usaha Iqbal bersepakat sekaligus tidak bersepakat
dengan Habermas. Ketika Habermas begitu yakin akan terjadi kemufakatan, berkat
laku komunikatif, berkat nalar yang tak egosentris, Iqbal menghadirkan realitas
Jarod dengan wajah yang penuh coretan, bualan, sarkasme, tawa, hingga polusi
suara keributan. Ketika Habermas berani menjamin legitimitas konsensus sebagai
hasil dari kumpulan seluruh kehendak, di Jarod, kata Iqbal, konsensus seperti
itu tak pernah bulat. Dan ketika sebuah konsensus coba dibulatkan, selalu saja ada
yang retak dan dikaburkan. Apalagi jika konsensus yang hendak dicapai, seperti
yang dicontohkan Iqbal, lahir dari giring-gorengan “figur dengan ‘lisensi’ tertentu”
yang bisa saja merupakan pseudo-apparatus
negara bahkan representasi dari kekuasaan.
Apa yang hendak
dirayakan Iqbal dalam laku komunikasi di Jarod barangkali bukan sekadar dialogical conception, melainkan juga paralogical Jean Francois Lyotard,
bahkan parrhesia (sebuah kata kuno dari dunia teater yang diperkenalkan
oleh Euripides di abad-4 SM untuk menggambarkan “kemerdekaan berbicara”), yang
prinsipnya: datang ke Jarod yang terpenting bukanlah jaminan akan datang solusi
bersama, bukan pula garansi bahwa akan terbit opini publik untuk perubahan
sosial, melainkan percakapan dengan kebebasan, mendedahkan keberagaman, juga
kemerdekaan untuk mencari sendiri apa yang benar, tanpa harus menindas atau
mengerangkeng satu dengan yang lain.
Thus, obyek kritik Iqbal tidak hanya
final menargetkan Habermas, melainkan juga—dan ini barangkali yang terpenting—menyasar
subyek tulisannya sendiri: ‘Komunitas Jalan Roda’ an sich. Terutama bagi para ‘partisipan ilusif’ yang datang ke
Jarod sekadar untuk “meluangkan waktu” atau mengisi kekosongan diri dengan
kopi, dengan canda, dengan ‘pendo’ dan ‘pemai’, tanpa semangat emansipasi
sedikitpun. Memang, bagi para pelaku komunitas diskusi, hidup tak pernah serius
di Jarod sana. Tapi bagi Iqbal, seharusnya ada hal-hal yang perlu diusung
bersama-sama sebagai sebuah ‘kepentingan publik’ (yang bukan opini ‘politik’
publik jangka pendek) tinimbang sekadar memperlihatkan kemalasan kolektif atau
banalitas yang itu-itu saja.
Sepanjang
pembacaan terhadap Iqbal, memang serasa perlu merumuskan ‘ruang’ dalam ruang
Jarod yang telah ada. Bukan ruang dalam arti fakultas, komisi, pun faksi-faksi
dalam bentangan linear yang sibuk dengan monolognya masing-masing, tapi lebih
kepada ruang yang merupakan campuran ‘kopi stenga’ dan setengahnya lagi
pemikiran Habermas. Sehingga ketika kita membayangkan arwah Habermas kebetulan
singgah di Jarod, ‘Komunitas Jalan Roda’ akan sekonyong-konyong menertawakannya.
Bukan hanya karena Jarod an sich berada
di luar imajinarium Habermas, tetapi juga karena Jarod—dengan segala tetek-bengek perayaan di dalamnya—bisa
menjadi episentrum kesadaran publik untuk menumbuhkan soliditas dan solidaritas
yang terarah pada perubahan.
Barangkali hanya
dengan itu, Jarod bisa terselamatkan dari slogan pece “DPRD tingkat III” yang retoris populis wal munafiqun keborjuis-borjuisan. Dan barangkali dengan
termanifestasinya ‘Jarod ideal’ semacam itu, budayawan seperti Reiner Ointoe
akan berhenti menebarkan ayat-ayat selentingan ihwal kemufakatan semu: “There is no Jarod today—tidak ada Jarod
hari ini.”
Utopiskah ini?
Silahkan saja baca sendiri, lalu mari merumuskannya bersama-sama.
—ha—
Catatan
Kuku-Kaki:
- Judul diadaptasi dari sebuah pepatah Yahudi yang pernah dikutip Milan Kundera dalam pidato penerimaan hadiah sastra Internasional di Israel: “Manusia Berpikir, Tuhan Tertawa.”
- Konsep “Karnaval” Mikhail Bhaktin dan “Parrhesia” Euripides disadur dengan penyesuaian dari Caping Goenawan Mohamad dengan judul –judul yang sama.
- Pendapat-pendapat Habermas sebagian diambil dari buku The Theory of Communicative Action, sebagian lagi dari ulasan-ulasan tentang Ruang Publik Habermas di internet.
- “There is no Jarod today,” adalah bagian dari resensi bedah buku oleh Reiner Ointoe terhadap karya Komunitas Jalan Roda Muhammad Iqbal.
- Kata atau kalimat yang diberi tanda petik tunggal (‘…’) lebih kepada penekanan, sementara yang diberi tanda petik ganda (“…”), selain dari yang dimaksud oleh empat hal di atas, merupakan kutipan langsung dari buku Komunitas Jalan Roda Muhammad Iqbal.
Label:
#TakTertulis,
Buku,
Esei,
Haz Algebra,
Jurgen Habermas,
Komunitas Jalan Roda,
Muhammad Iqbal,
Ruang Publik,
Surat Pembaca
0 Comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)