SADJAK DJEDJAK

"Kita hidup tidak hanya dengan roti saja... metafora juga merupakan sumber nutrisi bagi kehidupan."

18.3.11

FFK: Fantastic-10, Mission Impossible (Unik dan Ajaib)



Oleh: Gusti Bob

Festival Fiksi Kolaborasi (FFK)– Kompasiana memang selalu seru. Nggak percaya? Silahkan baca postingan di seputran event ini [atau check langsung di group Facebook-nya]. Di tulisan ini saya nggak akan mengulang cerita keseruan itu. Melainkan mengerucut di wilayah yang paling sempit, yaitu kolaborasi group “FANTASTIC-10”—fantastic ten [bukan teen, karena anggotanya sudah pada bangkotan.. huahahahahaha..].

Di beri nama FANTASTIC-10, karena jumlah anggota kelompok ini 10 orang. Nah, inilah yang membedakan kelompok kolaborasi Fantastic-10. Faktanya, sampai detik terakhir saya membuat tulisan ini, belum ada kelompok lain yang beranggotakan sebanyak itu, maksimal 4 orang [kwartet].

Setuju. Kwantitas tidak berbanding lurus dengan kwalitas. Bahkan ada ungkapan yang menurut saya agak ceroboh, mengatakan bahwa kwantitas berbanding terbalik dengan kwalitas. Kenyataannya, sampai saat ini belum ada riset yang menunjukan sampai titik angka berapa kwantitas menjadi berbanding terbalik dengan kwalitas.

Lupakan kwalitas. Bagimanapun juga berbicara kwalitas sudah pasti debatable—bersifat subyektif. Lagipula tulisan ini dibuat TIDAK dimaksudkan untuk mengatakan bahwa “Fantastic-10” adalah yang terbaik di FFK. Tidak. Saya lebih tertarik [baca: bernafsu] untuk menceritakan keisengan, petaka, keunikan dan keajaiban yang terjadi di kelompok ini.

Saya katakan iseng karena ide awal terbentuknya kelompok Fantastic 10 berawal dari keisengan. Melihat kehebohan kompasiner dalam ajang FFK ini membuat keiseng saya nyelonong begitu saja. Saat itu 16/3/2011 sekitar pukul 13:30 saya menulis status:

“Dicari 6-10 anggota untuk berkolaborasi”.

Terus terang saat itu, samasekali saya tak berharap akan ada yang menganggap status tersebut serius. Sekali lagi hanya iseng [maaf ya temen-temen di Fantastic-10]. Mana mungkin bisa berkolaborasi dengan orang sebanyak itu. Impossible!

Tidak mendapat sambutan, keisengan saya malah semakin menjadi-jadi. Saya tambahkan status lainnya dengan sedikit sensasi,

“Saya mau bikin kolaborasi dengan 10 orang. Tidak perlu pusing. Cukup setor satu kata”.

Tak lama setelah itu Haz R-Alg menyambut dengan komentar, “Serius neh Om”, lalu muncul Granito Ibrahim beteriak, “ikuuuuuttt”, disusul oleh Zuhdy Tafqihan yang tak kalah antusiasnya menyatakan ikut. Saya mulai khawatir kalau keisengan saya itu berbuah petaka ketika Haz R-Alg berkomentar, “Ditindak lanjuti ya om”.

Meskipun aslinya saya hanya iseng, nggak mau dong ketahuan kalau saya update status hanya iseng [anggap ini pengakuan dosa]. Itu sebabnya saya buru-buru memposting status yang berbunyi,

“Sudah ada 4 anggota, ayo siapa yang mau gabung. Saya hitung 5 menit. Setelah itu saya tutup”.

sambil berharap tidak akan ada orang nekat untuk bergabung di kelompok yang memang tergolong nekat ini.

Mbak Deasy Maria yang menjadi salah satu orang super sibuk di hajatan itu [salah satu admin]—menyatakan bergabung—membuat bayangan petaka itu makin jelas. Tak lama berselang muncul Fera Nuraini, lalu Rianty Indah Ayuri, Dwi Ilyas, Fitri Yenti, Andi Olha Mappasosory. Lengkap 10 orang hanya dalam hitungan 5 menit.

Jujur, saya mulai panik ketika Zuhdy Tafqihan berkomentar, “Tolong posting petunjuk teknis pelaksanaannya”. Dalam hati saya berpikir, “Hah, petunjuk teknis, petunjuk apaan???”.

Di satu sisi saya tidak tahu harus berbuat apa, di sisi lainnya saya juga tidak mungkin mengatakan bahwa tadinya saya hanya iseng. Ada Haz R-Alg—si penulis fiksi muda berbakat. Ada Granito Ibrahim—idola ibu-ibu di ranah fiksi ['brownis' katanya] yang populer dengan sebutan “si pipi merah jambu”. Ada mbak Deasy—salah satu pejabat teras FFK. Sekalilagi, sungguh tidak mungkin saya bilang hanya iseng.

Bermodal nekat langsung saya daftarkan kelompok dengan nama FANTASTIC-10. Lalu dengan satu kalimat hiburan “yang penting saya mencoba serius”, saya membuat status,

“FANTASTIC-10: Dalam 15 menit ke depan saya akan kirimkan petunjuk teknis pelaksanaan ke inbox masing-masing”.

Nah di sinilah petaka itu mulai menampakan wujudnya. Yang ada dibenak saya saat itu: Bagaimana mengkolaborasikan 10 orang untuk menghasilkan satu karya fiksi? Sudah kebayang bagaimana sulitnya. Bisa dibilang “mission impossible”. Nggak mungkin bisa jadi.

Tanpa menunda waktu, saya mengirimkan petunjuk teknis yang isinya sangat sederhana—tentunya tetap berpegang pada status saya sebelumnya bahwa peserta cukup hanya mengirimkan 1 kata saja:

“Tolong kirimkan satu kata yang bisa mendeskripsikan judul puisi di atas, ke inbox saya. Selanjutnya kita susun kata-kata itu menjadi satu puisi. Jika secara ajaib ada 2 anggota yang mengirimkan kata yang sama persis, maka pengirim belakangan wajib mengirimkan kata pengganti”.

Singkat cerita semua anggota sudah mengirimkan satu kata. Karena anggotanya 10 orang, berarti kata yang terkumpul hanya 10 kata. Kepanikan saya semakin menjadi-jadi: membuat puisi hanya dengan 10 kata? “No way”, saya pikir. Saat itu saya sudah tidak mikir malu lagi, terpaksa meminta tambahan 2 kata lagi dari masing-masing anggota FANTASTIC-10. Beruntung tidak satupun ada yang keberatan atau marah-marah meskipun saya ingkar janji [maaf ya teman-teman].

Oke. 30 kata terkumpul. Saya coba susun menjadi bait-bait puisi. Tanpa mengubah, satu katapun. Disusun apa adanya, karena ide aslinya memang menonjolkan keunikan 10 karakter berbeda. Meskipun belum berbentuk samasekali, saya sudah mulai melihat tanda-tanda “ini bisa”.

Ada keraguan bahwa teman-teman akan kecewa melihat hasilnya, sementara saya tidak mau itu terjadi. Sudah kepalang basah. Sambil meng-copy+paste dari Ms. Words ke Notepad saya membuat status yang memang lebay, saya bilang,

“Gila… gila.. gila… hasil karya fantastic 10 menggetarkan”.

Kontan saja disambut teriakan. “Om Gusti Lebayyyyyyy…!!!”. He he he he… saya terkekeh-kekeh sendiri, karena memang kenyataannya lebay. Tetapi dibalik pesan lebay itu sesungguhnya ada maksud tersamar…. saya ingin membangun efek tertentu di dalam pikiran teman-teman fantastic 10, yang sampai saat tulisan ini saya buat saya tidak akan katakan efek apa itu persisnya… he he he.. [maaf ya teman-teman]. Yang jelas niat saya baik—saya tidak mau kolaborasi ini bubar nggak jelas.

Selang beberapa menit, tanpa peduli apa reaksi temen-temen, saya kirimkan saja puisi “apa adanya” itu ke inbox masing-masing. Sambutannya beragam. Kian lama sambutan kian menghangat.

Mulai dibahas oleh penulis fiksi idola Granito Ibrahim yang membantu menyusun ulang puisi itu. Jelas, tak ada banyak perdebatan yang berarti dalam prose situ, lha wong saya orang yang awam sastra diskusi sama Granito, ya ‘jaka sembung bawa golok’. He he he.

Sampai agak malaman akhirnya muncul Haz R-Alg. Diskusi mulai berimbang. Granito dan Haz R-Alg kelihatannya sama-sama memiliki ilmu mumpuni di wilayah ini. Saya hanya menjadi penengah dan terus mengikuti [Takut kalau saya tinggal, mereka tabok-tabokan, he he he….]

Ada pelajaran yang saya ambil dari diskusi panjang dua penulis muda berbakat ini:

Pertama, ungkapan umum mengatakan bahwa seniman itu cenderung tidak disiplin, suka-sukanya mereka. Ternyata itu tidak benar. Mereka sangat detail dan penuh disiplin. Salah satu contohnya adalah ketika ada perbedaan antara menggunakan tanda koma (,) dengan tanda titik-koma (;). Bayangkan. Hanya koma dan titik-koma sangat diperhatikan penggunaannya. Haz mengatakan itu perlu karena ada hubungan kasualitas. Granito mengatakan lebih baik hanya memakai tanda koma saja.

Kedua, meskipun ada perbedaan pandangan, mereka tetap berdiskusi sehat, penuh canda dan keakraban tanpa melewati garis tata-krama dan kesopanan. Dan saat mentok, mereka berpegang pada komitment bersama. Kepentingan kelompok—bukan individu.

Itulah yang saya saksikan dalam diskusi sepanjang malam tersebut. Tiada maksud melebih-lebihkan. Tetapi semua anggota FANTASTIC-10 tentu bisa membaca diskusi mereka. Karena memang itu diskusi terbuka.

Sentuhan akhir. Kita mencoba mengurai makna daru puisi itu. Hasilnya?

Diskusi panjang itu tidaklah sia-sia. Nothing is impossible, impossible is nothing. Keajaiban. Tanpa merubah satu katapun—asli berasal dari 10 orang yang memiliki karakter dan latar belakang berbeda—menghasilkan karya tulis yang bagi saya adalah “fantastis”. Deasy Maria berteriak, “Luarrrr biasa!”, Fera Nuraini berujar, “Wah pasti HL neh!”. Haz R-Alg berujar…”harus HL teman-teman”. Granito juga tidak kuasa membendung emosinya, “Harus HL!”.

Lalu, apakah itu berarti sudah pasti hasil karya FANTASTIC-10 akan HL di hari Jumat nanti? Tentu, semua orang tahu, HL adalah otoritas admin. Teriakan “HL” itu bukanlah bentuk kesombongan atau yang sejenisnya. Melainkan Sebuah luapan akumulasi haru—melihat kenyataan: Hasil karya sederhana itu terdiri dari 30 kata yang mewakili ungkapan perasaan 10 karakter orang berbeda. Tersusun dari kata-kata yang muncul secara spontan, tetapi bisa menjadi rangkain yang bercerita utuh. Sebuah cerita [menurut saya pribadi], hampir mewakili satu siklus perjalanan hidup yang menjadi judul dari hasil karya tersebut.

Silahkan baca sendiri bagaimana mereka yang terlibat dalam proses ini menggambarkan hasil karya mereka:

Ungkapan mereka mengenai keajaiban karya Fantastic-10 (perhatikan yang di dalam kotak merah)

Tetapi, kiranya sangat disayangkan jika fenomena ajaib dibawah ini tidak terekam [perhatikan yang digaris bawah warna hijau]:

Unik, dan nyeleneh juga yang di dalam kotak merah ini!

Seperti apa sih hasil karya kolaborasi 10 orang? Seajaib apa hingga kru Fantastic-10 sampai termehek-mehek dalam haru sedemikian rupa? Nantikan Hari Jumat, 18/03/2011 di Festival Fiksi Kolaborasi (FFK), di Kompasiana. ~Gusti for FANTASTIC-10.


Sumber: FFK: Fantastic-10, Mission Impossible (Unik dan Ajaib)


Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar