SADJAK DJEDJAK

"Kita hidup tidak hanya dengan roti saja... metafora juga merupakan sumber nutrisi bagi kehidupan."

9.1.17

“Jurgen Berpikir, Jarod Tertawa”



Komunitas Jalan Roda dalam freezer. (foto: istimewa)

Presumsi: Membaca ‘Komunitas Jalan Roda’ seperti membayangkan usaha mengumpulkan saliva (air liur) di rongga mulut sebanyak-banyaknya, lalu menelan setengah dari volumenya, dan menyisakan setengahnya lagi untuk meludahinya usai membaca.
Berpikir ke Frankfurt tapi Ngopi di Jarod
Negara dan pasar memang tak pernah benar-benar meninggalkan ruang kehidupan yang sudah sesak dengan laku politik dan ekonomi—ihwal kuasa dan uang. Mereka menyusup, berkelindan dalam kerumunan warga dengan rupa yang beragam; politik bisa menjelma ekonomi, pasar mampu mengasuh negara, kuasa bertukar-tangkap dengan uang, dan keduanya sanggup membeli kerumunan, juga menyulap setiap individu sebagai sekadar nominal atau angka-angka statistik.
Di antara perhimpitan ruang yang semakin sempit itu, masih adakah kiranya ruang yang tersisa buat orang-orang berkomunikasi untuk menentukan nasib bersama, berpikir otonomis, bertindak mandiri, tanpa tauladan kerapian dari negara dan pasar, tanpa di atur oleh laku politik dan ekonomi, bebas dari cengkeraman kuasa dan uang?
Jurgen Habermas pernah memikirkannya. Setengah abad yang lalu di daratan Eropa, ia merumuskan ruang yang tersisa itu; sebuah konsep ruang yang diambilnya dari sejarah kaum borjuis Jerman pada abad delapan belas. Kala itu, begitu marak kedai-kedai kopi juga salon-salon yang beralih fungsi menjadi komunitas-komunitas diskusi. ‘Ruang Publik,’ begitu ia menamainya. Ruang yang terdefinisi sebagai tak hanya terpisah dari ‘ruang’ politik dan ekonomi, melainkan juga setiap orang memiliki akses untuk menjadi pengusung opini, guna memengaruhi, termasuk secara informal, laku-laku yang ada dalam ‘ruang’ negara dan pasar.
Ber-locus di Manado, ruang semacam itu tampak telah lama hadir, atau mungkin tengah dihadirkan. Sebuah jalur bagi roda-roda pedati peninggalan sejarah jauh sebelum hiruk-pikuk Perang Dunia I dan II kini seolah menjelma Ruang Publik. Orang-orang tetap menyebutnya sebagai ‘Jalan Roda’ atau Jarod, meski bentangan jalur itu kini dipenuhi kedai-kedai kopi yang enggan disinari matahari. Dari luar, ia dikepung oleh gejala-gejala pasar, juga berjarak tak jauh dari pusat pemerintahan. Di dalamnya terdapat kerumunan-kerumunan, jajanan, poster-poster, iklan, musik, juga orang-orang berlalu-lalang dengan pikiran, keinginan, hasrat, harapan, ‘jualan’, juga bau keringat yang bermacam-macam.
Jarod tak disinari matahari, maka dari itu ia bisa berarti tak ada ‘aktor utama’ dalam ‘ritual perkopian’ di sana.  Atau jika menggunakan paradigma teoritikus Rusia, Mikhail Bakhtin, Jarod bisa dipandang lebih sebagai ruang “Karnaval” tinimbang pentas Teater, maka dari itu Jarod tak mengenal lampu sorot. Dengan kata lain Jarod tak membedakan mana aktor dan mana penonton. Di sana, setiap orang turut serta, ia merangkum semuanya. Pejabat, pengusaha, akademisi, mahasiswa, pengangguran, penjual, pembeli, ahli nujum, pakar feng shui, tokoh agama, mungkin juga PSK, hingga peminta-minta, bisa duduk bersama dalam satu kerumunan. Berdebat, bercengkerama, atau sekadar membicarakan hal-hal banal juga absurd, atau bahkan hanya berdiam dengan memasang rupa penuh harap.
Barangkali karena lumernya batas-batas yang memisahkan pentas dan penonton itu, juga batas-batas yang dianggap final seperti pangkat, privilise, bahkan norma, yang membuat Muhammad Iqbal—seorang penulis muda Manado—mencoba membuat rumusan tentang Jarod dengan duduk bersama Habermas. Dalam buku ‘Komunitas Jalan Roda’ (2016) yang ditulisnya, ia pun menerakan definisi: “Jarod,” kata Iqbal, “adalah Ruang Publik bagi masyarakat Manado yang multikultural.” Lebih jauh, Iqbal pun mengurai fungsi sosial-politis Jarod a la Habermasian, “sebagai saluran informasi terhadap isu-isu yang berkembang, dan warga diberikan kebebasan dan kesetaraan dalam mengemukakan pendapat dan opini terhadap satu masalah.”
Tapi di sini barangkali Iqbal keliru. Tentu saja, bagi pembaca yang melek Habermas, definisi Iqbal itu masih bisa diperdebatkan bahkan ditertawakan. Selain karena mentahnya metode juga data yang disajikan dalam buku yang sebentuk ‘makalah popular’ itu, juga karena tertera rentetan ironi, deretan paradoks, ambiguitas, dan juga inkonsistensi dalam narasi Iqbal kala mencoba menyatu-padankan pun merajut keterpautan antara Jarod dan Ruang Publik ideal Habermas.
Ketika Habermas, misalnya, mencita-citakan Ruang Publik yang mandiri dan mengambil jarak dari negara dan pasar, Jarod dalam realitas yang digambarkan Iqbal sewaktu-waktu bisa menjelma sebagai ruang sosialisasi politik sekaligus ruang bagi laku ekonomi untuk kepentingan non-publik. Iqbal berkata, “Jarod selalu dijadikan sasaran untuk memasarkan produk-produk tertentu, tidak hanya barang dan jasa, bahkan untuk memasarkan ‘tokoh’ tertentu yang ingin mendongkrak popularitasnya.”
Se-jarod dengan itu, penekanan Habermas akan rasionalitas nan borjuis dalam Ruang Publik pun terasa kontras ketika Iqbal menggambarkan Jarod sebagai ruang yang tak hanya diisi dan diakses oleh orang-orang yang berpikir rasional dan kritis untuk ‘kepentingan publik’, melainkan juga oleh orang biasa—dengan kesalahan-kesalahannya, dengan egonya, dengan emosinya. Fakta ini tentu saja membentangkan paradoks; bagaimana mungkin konsensus untuk mengusung opini publik dapat lahir dari proses komunikasi yang logis dan rasional sementara irasionalitas yang melahirkan ‘debat kusir’ tanpa arah juga ikut menjadi unsur yang inheren dan signifikan di dalamnya?
Habermas pernah bersabda: “Proses komunikasi publik … tidak hanya mengandaikan bahwa setiap orang dapat berbicara, dengan kesempatan yang sama, tentang persoalan pribadinya, keinginan dan keyakinannya; proses komunikasi yang otentik hanya dapat dicapai di dalam kerangka bahwa semua pendapat pribadi ataupun kelompok dapat berkembang di dalam dialog rasional kritis dan kemudian membentuk opini publik.” Dengan rumusan pasal ini, pembaca Habermas bisa saja mendakwa Iqbal sebagai sekadar penulis yang berpikir jauh ke Frankfurt, tapi ngopi di Jarod.
Tapi Iqbal tak sepenuhnya keliru. Sebab yang dilihat oleh Iqbal, dalam catatan kakinya, adalah “proses komunikasi partisipatif dalam satu ruang bersama itu” lahir dari elemen-elemen multikultural yang berbeda dari konsep multikultural Eropa (atau Amerika Utara) yang cenderung merupakan proses tuntutan eksistensi dari para imigran pembawa kebudayaan masing-masing. Dan tentu saja, Jarod bukanlah kedai kopi Eropa a la abad delapan belas.
Di sinilah Iqbal berdiri dan sedikit mengambil jarak dari Habermas, bahwa, “Ada hal-hal pokok yang tak dapat dilebur atau dikaburkan dengan alasan apapun,” teguh Iqbal.
Iqbal Sphere: Jarod Ideal yang Perlu Ditemukan
Jarod memang adalah ruang yang tak sepenuhnya bisa dirumuskan; realitasnya masih membutuhkan banyak ‘catatan kaki’. Ia tak hanya merupakan ruang yang menautkan tubuh dan sepetak tanah, melainkan juga ruang yang menjalin-rajut ragam pikiran, ego, juga keluh-kesah serta harap-cemas dari komunitasnya. Dari itu, matinya Ruang Publik otentik di Jarod sekaligus gagalnya Iqbal menghadirkan konsep Ruang Publik di ‘Komunitas Jalan Roda’ bukanlah hal yang perlu diratapi. Sebab Iqbal tak sedang berilusi; alih-alih hendak menghadirkan sepenuhnya Ruang Publik ideal Habermas di Jarod, ia sebenarnya, lewat fenomena Jarod, hendak menyusun kritik terhadap Habermas.
Di sinilah barangkali presumsi tentang saliva itu menjadi agak relevan terkait usaha Iqbal bersepakat sekaligus tidak bersepakat dengan Habermas. Ketika Habermas begitu yakin akan terjadi kemufakatan, berkat laku komunikatif, berkat nalar yang tak egosentris, Iqbal menghadirkan realitas Jarod dengan wajah yang penuh coretan, bualan, sarkasme, tawa, hingga polusi suara keributan. Ketika Habermas berani menjamin legitimitas konsensus sebagai hasil dari kumpulan seluruh kehendak, di Jarod, kata Iqbal, konsensus seperti itu tak pernah bulat. Dan ketika sebuah konsensus coba dibulatkan, selalu saja ada yang retak dan dikaburkan. Apalagi jika konsensus yang hendak dicapai, seperti yang dicontohkan Iqbal, lahir dari giring-gorengan “figur dengan ‘lisensi’ tertentu” yang bisa saja merupakan pseudo-apparatus negara bahkan representasi dari kekuasaan.
Apa yang hendak dirayakan Iqbal dalam laku komunikasi di Jarod barangkali bukan sekadar dialogical conception, melainkan juga paralogical Jean Francois Lyotard, bahkan  parrhesia (sebuah kata kuno dari dunia teater yang diperkenalkan oleh Euripides di abad-4 SM untuk menggambarkan “kemerdekaan berbicara”), yang prinsipnya: datang ke Jarod yang terpenting bukanlah jaminan akan datang solusi bersama, bukan pula garansi bahwa akan terbit opini publik untuk perubahan sosial, melainkan percakapan dengan kebebasan, mendedahkan keberagaman, juga kemerdekaan untuk mencari sendiri apa yang benar, tanpa harus menindas atau mengerangkeng satu dengan yang lain.
Thus, obyek kritik Iqbal tidak hanya final menargetkan Habermas, melainkan juga—dan ini barangkali yang terpenting—menyasar subyek tulisannya sendiri: ‘Komunitas Jalan Roda’ an sich. Terutama bagi para ‘partisipan ilusif’ yang datang ke Jarod sekadar untuk “meluangkan waktu” atau mengisi kekosongan diri dengan kopi, dengan canda, dengan ‘pendo’ dan ‘pemai’, tanpa semangat emansipasi sedikitpun. Memang, bagi para pelaku komunitas diskusi, hidup tak pernah serius di Jarod sana. Tapi bagi Iqbal, seharusnya ada hal-hal yang perlu diusung bersama-sama sebagai sebuah ‘kepentingan publik’ (yang bukan opini ‘politik’ publik jangka pendek) tinimbang sekadar memperlihatkan kemalasan kolektif atau banalitas yang itu-itu saja.
Sepanjang pembacaan terhadap Iqbal, memang serasa perlu merumuskan ‘ruang’ dalam ruang Jarod yang telah ada. Bukan ruang dalam arti fakultas, komisi, pun faksi-faksi dalam bentangan linear yang sibuk dengan monolognya masing-masing, tapi lebih kepada ruang yang merupakan campuran ‘kopi stenga’ dan setengahnya lagi pemikiran Habermas. Sehingga ketika kita membayangkan arwah Habermas kebetulan singgah di Jarod, ‘Komunitas Jalan Roda’ akan sekonyong-konyong menertawakannya. Bukan hanya karena Jarod an sich berada di luar imajinarium Habermas, tetapi juga karena Jarod—dengan segala tetek-bengek perayaan di dalamnya—bisa menjadi episentrum kesadaran publik untuk menumbuhkan soliditas dan solidaritas yang terarah pada perubahan.
Barangkali hanya dengan itu, Jarod bisa terselamatkan dari slogan pece “DPRD tingkat III” yang retoris populis wal munafiqun keborjuis-borjuisan. Dan barangkali dengan termanifestasinya ‘Jarod ideal’ semacam itu, budayawan seperti Reiner Ointoe akan berhenti menebarkan ayat-ayat selentingan ihwal kemufakatan semu: “There is no Jarod today—tidak ada Jarod hari ini.”
Utopiskah ini? Silahkan saja baca sendiri, lalu mari merumuskannya bersama-sama.

ha

Catatan Kuku-Kaki:
  • Judul diadaptasi dari sebuah pepatah Yahudi yang pernah dikutip Milan Kundera dalam pidato penerimaan hadiah sastra Internasional di Israel: “Manusia Berpikir, Tuhan Tertawa.”
  • Konsep “Karnaval” Mikhail Bhaktin dan “Parrhesia” Euripides disadur dengan penyesuaian dari Caping Goenawan Mohamad dengan judul –judul yang sama.
  • Pendapat-pendapat Habermas sebagian diambil dari buku The Theory of Communicative Action, sebagian lagi dari ulasan-ulasan tentang Ruang Publik Habermas di internet.
  • “There is no Jarod today,” adalah bagian dari resensi bedah buku oleh Reiner Ointoe terhadap karya Komunitas Jalan Roda Muhammad Iqbal.
  • Kata atau kalimat yang diberi tanda petik tunggal (‘…’) lebih kepada penekanan, sementara yang diberi tanda petik ganda (“…”), selain dari yang dimaksud oleh empat hal di atas, merupakan kutipan langsung dari buku Komunitas Jalan Roda Muhammad Iqbal.

Read More...

23.1.16

Homo Mimesis dan Seorang Pembaca yang Terjebak dalam Gulungan Memori Purbanya



: Kepada Kristianto Galuwo

Sore, mendung, Pizza Hut, meja 5.
Sembari menunggu supersupreme ukuran large dengan pinggiran struffed crust keju, kedua sepatu saya mengetuk-ketuk lantai secara bergantian, mungkin dengan tempo 3/4, sementara itu, jejari saya memainkan gadget di tangan, membolak-baliknya, sesekali memutar, sambil mata melirik kiri kanan menyaksikan ritual pengunjung mall yang sore itu agak lengang, tapi hanya sesaat, sampai akhirnya pandangan saya kembali jatuh ke bawah dan jejari tadi membuka lagi lockscreen layar mini lalu refleks menekan aplikasi facebook. Di sana, tulisanmu sudah terbuka dan menunggu di baca.
Saya gelisah, Bung. Gelisah karena bingung harus bersikap bagaimana terhadap tulisanmu yang kau tulis di blog pribadi, yang kau share di laman facebook, dan tak lupa menandai akun facebook saya itu. Judulnya bernada satire: Segulung Kalimat 'Usang' Dalam Kepala, seperti mencoba mengantar saya pada ceritaku sendiri, Segulung Cerita Tua dalam Kepala (selanjutnya saya singkat: Serat Dapala).
Lalu mata baca saya kembali mengayuh jemari bak papan selencar di atas aliran kata-katamu, mencari-cari gulungan ombak yang akan menghancurkan papan selancarku atau malah akan saya gunakan untuk bermanuver di atasnya, tanpa menyelaminya. Pada paragraf satu dua tak ada apa-apa, di mana-mana hanya ada genangan air yang ketika dijilat terasa asin dan sesekali hambar. Paragraf tiga empat juga demikian. Hingga akhirnya segulung ombak purbamu itu menghampiri saya di paragraf lima dan seterusnya, ombak yang terbuat dari air garam mendidih, perlahan mengental, berubah warna, lalu menjadi lahar magma panas. Kau tahu apa yang selanjutnya terjadi?
Ketika ujung jari saya menyentuhnya di layar mini, sekonyong-konyong jemari saya itu melumer dan terputus, lengan saya kemudian terlepas, menjalar ke atas membuat rambut saya rontok, telinga saya juga putus, hidung saya mengelupas, gigi saya tanggal satu persatu, kumis dan janggut saya serasa ada yang mencabuti, mata saya lenyap, dan kepala saya copot. Tulisanmu benar-benar memutilasi jiwa saya, Bung, mencincang tubuh saya tak beraturan. Beruntung saja, mantan pacar saya, yang sejak tadi melongo menatap saya, menepuk pundak saya dan berkata: “Aduh, Sponge Bob! Kenapa tubuhmu berceceran begini? Ayo, pasang dulu kepalanya! Pizza-nya sudah datang.” glek..

Malam, laptop dan seperangkat atribut pembunuh subuh.
Saya kembali membuka facebook, membaca tulisanmu (yang berisi dakwaan), menaruh jejak kaki di facebookmu sebagai pemberitahuan bahwa saya sudah melihatnya dan sedang membacanya. Dan saya pun mencoba memenuhi keinginanmu yang purba itu: menulis sanggahan.
Tapi tidak. Saya tidak akan memberi sanggahan atau pun klarifikasi terhadap dakwaan yang kau layangkan. Saya bukannya tak mau, hanya tak tega saja membiarkanmu terdikte oleh pengarang. Saya masih bertahan dengan diskursus bahwa seorang pengarang (sastra) harus mati ketika ia sudah menyelesaikan tulisannya. Seperti sabda Umberto Eco, “seorang pengarang tidak seharusnya berinterpretasi atas karyanya, karena ketika itu ia lakukan maka karyanya menjadi gagal sebagai alat perangsang interpretasi pembaca.” Saya pun demikian halnya, tidak boleh berinterpretasi, agar tidak mencegahmu (dan pembaca lainnya) berinterpretasi (membunuh atau menghidupkan karya saya untuk membunuh lagi). Tetapi saya boleh menceritakan mengapa dan bagaimana saya mengarang Serat Dapala, cerita yang sudah mengganggu kepalamu selama bertahun-tahun itu.
Dan, jika pun kelak di dalam narasi ini terdapat serupa interpretasi, maka anggaplah itu sebagai tafsir seorang pembaca, pengarang yang sudah menjelma sebagai pembaca, sebab cerita yang saya tulis bertahun lalu itu mungkin akan bermakna beda ketika saya membacanya kembali hari ini (seperti afektif saya yang tiba-tiba berubah ketika membaca tulisanmu pada sore yang mendung dan malam hari yang berasap), itu pun jika ia masih memiliki makna.
Baiklah. Pertama-tama maafkanlah saya atas laku Serat Dapala yang telah semena-mena mengambil beberapa kilobyte ruang memori di kepalamu lalu diam-diam menjadi ‘virus bawah sadar’ yang mengendalikanmu hingga kau membuat tulisan interpretasi atasnya. Entah, barangkali itu sisi sukses Serat Dapala dalam rangka menjadi kawan sekaligus lawan isi kepala pembaca, termasuk kau.
Kedua, saya ingin bertanya-tanya dan berbagi, pernahkan kau membaca novel “The Name of The Rose” karya Umberto Eco (penulis Teori Semiotika asal Itali itu)? Sampai sekarang, saya pun masih belum selesai membaca versi ebook-nya. Tapi perkenankan saya untuk sedikit mengutip ulasan ST. Sunardi (salah seorang pengusung keranda Nietzsche di Indonesia) setelah berada “Tujuh Hari dalam Labirin” (Kata Pengantar edisi terjemahan) Novel tersebut. Di pengantar hari kedua-nya, Sunardi menyoal tentang kuatnya ‘intertekstualitas’ ketika membaca “The Name of The Rose”. Ia menulis begini:
 “…Novel ini terus-menerus bicara tentang teks lain. Sudah sejak kalimat pertama dalam ‘prologo’ dia (Eco) menggunakan teks lain: “Pada awalnya adalah sabda dan sabda bersama Allah dan sabda adalah Allah”. Lihatlah, Eco tidak ragu-ragu menggunakan teks mapan, ortodoks, doktrinal, dan bahkan biblis (di sini dia mengambil ayat dari injil Yohanes)… Penggunaan teks-teks lain ini terus menerus berjalan sampai akhir bukunya. Teks-teks ini di ambil dari mana saja: dari Injil, pikiran para teolog, ilmu pengetahuan dari Yunani, dan sebagainya. Ada yang bisa dikenali langsung dengan cepat, dan ada yang tercium samar-samar saja. Ada yang ditulis dengan tanda kutip (“…”) dan ada yang dipakai begitu saja. Karena pemakaian teks-teks ini begitu konstan dan massif, cara ini bisa menjadi salah satu teknik penyusunan sebuah novel.” 
Tidak bermaksud menggunakan kalimat di atas sebagai pembelaan terhadap Serat Dapala yang terdapat potongan puisi ‘Gandari’ Goenawan Mohamad sebagaimana dakwaanmu itu, saya malah akan mengejutkanmu dengan pengakuan bahwa seluruh jalinan teks dalam Serat Dapala, sedari Judul hingga akhir cerita, adalah proyek intertekstual, juga dekonstruksi, sebuah cerita yang bercerita tentang cerita-cerita dalam cerita, yang dapat kau lacak jejak-jejaknya (menginterpretasinya)  jika berkenan tergantung kondisi psikologis dan kognitifmu saat membacanya.
Dan, tanpa perlu memaparkan perbendaharaan atau referensi bacaan atau pengalaman saya, kalimat di atas saya pinjam saja untuk menjelaskan proses kreatif lahirnya Serat Dapala. Sebab, sekali lagi saya tak mau mendiktemu ketika membacanya, membuatmu berinterpretasi sesuai interpretasi pengarang, yang akan membuat Serat Dapala menjadi gagal dalam mempercepat ‘perjalanan teks-teks referensinya secara ironik’ sebagaimana fungsi intertekstualitas itu sendiri.
Tapi barangkali saya tak sehebat dan seberani Eco dalam menerapkan teknik intertekstual itu, atau barangkali saya takut jika Serat Dapala akan berpapasan dengan pembaca yang tidak cukup referensi, sehingga, di bawah Serat Dapala, saya masih harus menulis catatan kaki untuk menjelaskan beberapa istilah, arti Bahasa, potongan kalimat dari siapa dan sebagainya. Hal ini dikarenakan selain memiliki fungsi ironik, teknik intertekstual, sebagaimana risalah Eco dalam “The Limit of Interpretation” yang diriwayatkan oleh Sunardi, juga memiliki resiko: “Gagalnya memperjelas tanda kutip sehingga apa yang dikutip diterima oleh pembaca yang naif sebagai temuan orisinil dan bukannya referensi ironik.”
Di sanalah barangkali letak kesalahan saya di mata-bacamu, yang sekaligus mengantarku pada letak kesalahanmu di mataku. Kau barangkali telah kecewa karena saya tidak memberikan catatan kaki atas potongan puisi Gandari yang saya kutip. Dan benar, gegara mengidolakan GM saya semena-mena menganggap karya-karya GM sudah menjadi doxa, common sense, sudah menjadi pengetahuan umum (seperti nama-nama tokoh dari Epos Mahabharata, substansi dialog filosofis, dll) yang asal muasalnya sudah jelas (tak butuh catatan kaki) sehingga yang membacanya sudah tahu jika jejak GM belum terhapus di sana dan berharap bisa diinterpretasi secara beragam tergantung perjalanan dan perjalinan teks yang satu dengan yang lainnya.
Tapi saya juga kecewa, sebab kau menganggap, selain potongan puisi itu, ribuan kata dalam Serat Dapala adalah ‘orisinil’ buah pikir saya. Sebab jika kau membaca Serat Dapala dengan metode baca seperti saat kau menemukan sepotong puisi Gandari, kau pasti telah berpapasan dengan kalimat ini: “Aku tak akan mengubah nasib suatu kaum jika bukan mereka sendiri yang mengubahnya”. Apa kau menyadari adanya kalimat ini, mengenal asal muasalnya, pernah membacanya, pernah mendengarnya? Nah, kenapa kalimat ini tidak kau gugat juga dalam dakwaanmu yang rada malu-malu itu?
Ketiga. Tentang orisinalitas. Pernahkan kau mengalami momen ketika menulis, berorasi, bahkan saat ngobrol santai yang dengan sengaja atau tidak sengaja menggunakan sistem logika tertentu, mengutip kata-kata pemikir, tokoh ternama, pepatah atau apapun sebentuknya di mana kata-kata itu kau lupa siapa pemiliknya atau pernah mendengar atau membacanya entah di mana tapi kemudian bagi pembaca atau pendengarmu kata-kata itu menjadi ‘orisinil’ kata-katamu sendiri dalam jalinan kalimat yang kau buat? Semacam itulah sekiranya terdapat ‘gema intertekstual’ dalam benteng yang kita sebut ‘orisinalitas’. Sebab ‘orisinalitas kekinian’ bisa saja berarti kebaruan akan sesuatu yang pernah kita dengar atau baca lalu kita gunakan (mengimitasi, memodifikasi, mengafirmasi, mereduksi) tapi kita sudah lupa (atau pura-pura lupa) kapan dan di mana pertama kali memperolehnya.
Tapi jika wacana dekonstruktif dan teknik produksi popular ini masih terlalu kontemporer untuk merespon metode bacamu yang purba, maka barangkali Plato dan Aristoteles dapat menolongmu. Barangkali kau pernah mendengar istilah Homo Mimesis. Ya, “manusia adalah homo mimesis (alias makhluk peniru),” kata Plato. Makanya dalam elaborasi refleksi seni tinggi, kurang lebih Plato mengatakan karya yang baik haruslah mampu meniru, menjiplak realitas semirip-miripnya, seperti ketika melukis wajah seseorang, semakin mirip semakin estetis. Fenomena ini juga terjadi ketika seseorang memiliki idola, maka ia akan mencoba meniru idolanya tersebut semirip-miripnya.
Bahkan lebih hakikat lagi, jika menjurus pada persoalan imitasi teks, kita seharusnya akan bertanya-tanya, “dari mana asal kata yang saya gunakan saat ini?”, “bukankah saat bayi saya tak bisa melafalkan kata-kata?”, “bukankah kemampuan saya berkata-kata, berbahasa, merupakan keberhasilan saya meniru kata-kata, mengimitasi bahasa orang tua atau lingkungan saya?”, atau “bukankah kata-kata yang saya gunakan saat ini sudah terdapat dalam Kamus Besar Bahasa?”, lalu, “apakah saya telah meniru, menjiplak sebuah kamus?” Demikianlah persoalan mimesis telah menjadi karakter kemanusiaan kita, menurut Plato.
Lebih lanjut, Aristoteles juga menyinggung persoalan mimesis ini ketika berbicara tentang puisi. Ia meyakini bahwa penciptaan Bahasa muncul dari kelindan antara kecenderungan untuk membuat gambaran baru (muthos) dan meniru kenyataan yang ada (mimesis). Di sinilah elaborasi pertama tentang metafor sebagai hasil kreatifitas yang barangkali juga menjadi cikal bakal ‘gema intertekstual’. Sehingga, terkadang ketika kita membaca sebuah karya, kita merasa berada dalam ketegangan untuk menafsirnya bahwa karya itu “adalah seperti karya anu” sekaligus “adalah bukan karya anu”.
Ah, sudah terlalu pagi. Dan saya sudah berbicara melebar kemana-mana. Saya ingin mengakhirinya saja. Tapi sebelum itu, saya ingin berkesimpulan mengenai tulisanmu, dan sebelum berkesimpulan, saya akan memberikan satu kunci untuk memahami kerumitan penjelasan di atas, yakni proyek intertekstual dalam Serat Dapala sebenarnya sudah kau lakukan juga dalam tulisan dakwaanmu, entah sengaja atau tak sengaja. Judul yang kau gunakan (Segulung Kalimat ‘Usang’ dalam Kepala) terdengar mirip dengan Judul cerita saya (Segulung Cerita Tua dalam Kepala). Lalu, siapakah yang berhak mengklaim sebagai pemilik potongan kalimat “Segulung … dalam Kepala” itu? Apakah ini imitasi juga? Ataukah ia punya maksud tertentu? Jika punya maksud, maka pertanyaan dalam dakwaanmu tentang mengapa saya memasukkan potongan puisi Gandari dalam Serat Dapala bisa terjawab oleh dirimu sendiri, melalui cara bacamu sendiri.
Kesimpulan. Saya berasumsi, dalam melakukan operasi pembacaan, kau masih terjebak pada tradisi purba kepenulisan prasasti, di mana puisi, hikayat, fenomena, diukir di atas batu dan mampu bertahan ribuan tahun atas nama kebudayaan tertentu, milik tokoh tertentu. Bahkan, untuk mengotopsi Serat Dapala saja, kau masih menggunakan intrumen purba seperti kapak yang terbuat dari batu dan logam tumpul, yang untuk digunakan memotong pizza saja, saya masih pikir-pikir dulu. Hmm..
Sebagai saran. Adalah hak asasi pembaca menggunakan model dan metode baca apa saja yang ia senangi. Tapi jika kau kelak ingin menggunakan tradisi ilmiah (juga tradisi jurnalistik) sebagai standar membaca karya maka pertama-tama janganlah menggunakan standar ganda, seperti saat kau mempertanyakan ‘potongan puisi’ dalam Serat Dapala di satu sisi, tapi menggunakan  ‘sepotong judul’ saya sebagai judul tulisanmu di sisi yang lain, sebab itu namanya ‘bunuh diri’. Kecuali jika kau menggunakan metode baca ‘yang-lain’.
Ya sudahlah. Semoga saja tulisan yang belum tulisan ini bisa merangsangmu untuk menulis lagi. Dan tak lupa saya juga berterimakasih sebab lewat tulisanmu itu saya jadi terangsang untuk menulis lagi. Barangkali memang benar, tulisan yang baik adalah tulisan yang mampu merangsang pembacanya untuk menulis, menjadi penulis. Sekiranya pujian, sikap legowo, dan segenap keterbukaan saya menerimamu sebagai sahabat sudah tertera di situ. Dan, jika berkenan membaca karya saya lagi di kemudian hari, semoga hasil bacaanmu tidak berakhir sebagai gossip, melainkan menjadi ulasan yang mengupas secara tajam hingga unsur ter-taboo sekalipun sebagai wacana yang layak untuk diperbincangkan. Salam kompor.

—ha—
Bikini Bottom, 21012016
Read More...

“Kau Tidak Menulis, Haz, Kau Berak!”






Oleh: Javid D.
(Penikmat Sastra, cover desainer & illustrator Naskah Bunuh Diri)


Sapardi memiliki ‘Pengarang telah Mati’. Seseorang yang namanya saya lupa juga punya ‘Matinya Pengarang Tersantun di Dunia’. Lalu secara metadramatis, Algebra juga menulis tragedi saling bunuh “Para Penulis” (bisa dibaca: Pengarang) pada resepsi kematian tuhan dalam ‘Perjamuan Terindah Sepanjang Masa’-nya. O, tuhan, apa yang telah terjadi? Pengarang telah mati, lalu kini ada ‘Naskah (yang) Bunuh Diri’? Mengapa begini? Kepada siapa kami (pembaca) akan kembali? O, saya lupa, Tuhan (juga) telah mati. O, betapa sedih… 

Belanja Sampai Mati

Pasca drama pembunuhan Tuhan oleh Nietzsche, seperti percepatan kemajuan sains dan teknologi, secara simultan segala sesuatu yang selama ini merupakan elemen dasar kehidupan telah dihancurkan, dan dunia berada dalam riam yang bergolak, stadium lima umwertung aller werte (transvaluasi nilai besar-besaran), dalam suatu krisis tanpa tanding, krisis kematian segala sesuatu—sedari komunikasi sampai politik, dari filsafat sampai ideologi, bahkan, subyek (‘diri’ dalam pengertian psikologis maupun transenden) yang mencipta segala kondisi itu juga telah mati, terkurung dalam hukum dan diskursus ciptaannya sendiri. Kidung-kidung sedih ini pun diselingi dengan nada-nada sinis, pesimistis, fatalis dan serba relatif dalam menjalani kehidupan di era matinya segala sesuatu.
Di dunia teoritik, kematian subyek—yang sekaligus menandai kematian kesadaran dan kebebasan manusia—itu dikepung dari berbagai penjuru. Sebut saja di antaranya: Psikoanalisis Freudian yang menyuarakan kepribadian subyek dikendalikan oleh alam bawah sadar (bukan kesadaran), Behaviorisme yang memandang perilaku subyek dibentuk oleh faktor eksternalnya, lalu Neurosains yang menunjuk lokus “kesadaran” pada dasarnya merupakan fungsi dari neuron-neuron dalam sistem saraf pusat yang sudah established. Adapula Strukturalisme yang meyakini perilaku manusia merupakan fungsi dari struktur atau sistem yang mengungkungnya. Dan yang terakhir yang tak kalah canggih berasal dari Posmodernisme (atau sering disebut posmo, beserta gejala posmodernitasnya) yang memproklamasikan matinya subyek, subyektivitas, kebebasan, dan juga kesadaran. Bahkan, humanisme diramalkan telah mati.
Di dunia riil tak kalah pelik. Gelombang kematian subyek tak terbendung lagi tatkala sistem ekonomi dan politik yang mengatur hidup kita hanya menempatkan manusia sebagai komponen-komponen atau komoditas-komoditas ekonomi dan politik, sebagai manusia nomor-nomor serial, manusia angka-angka statistik. Kapitalisme kontemporer yang menjelma konsumerisme habis-habisan mereduksi subyek (alias manusia tadi) menjadi tak lebih dari robot-robot ekonomi yang terprogram dengan baik, mengurung subyek dalam rutinitas semu pendulangan profit, dan terlebih menyulap subyek menjadi pembela-pembelanya sekalipun sang subyek tersebut pada dasarnya justru sedang dieksploitasi.
Subyek dalam simulakrum (ruang simulasi tanda) konsumsi itu bukanlah representasi dari ‘Yang Ada Yang Absolut’, atau diri an sich, melainkan citraan yang terus menerus menyusun dan meluluhlantahkan bangunan kepribadiannya sendiri, sebuah kondisi skizofrenik, yang menarik seluruh hak prerogatif diri sebagai mainstream subyek sui generis dan menjatuhkannya ke dalam locus of deepened dependence, keterjeratan pada sarang laba-laba, istilah Asyhadie, di mana benda-benda yang diproduksi dilahap tanpa jeda, dikunyah dalam sebuah keterpukauan, gairah yang menyala, ekstasi tak bertepi, yang kadarnya semakin lama semakin dipertinggi oleh lack, perasaan yang terus menerus direproduksi oleh apa yang disebut Deleuze dan Guattari sebagai mesin hasrat (desire machine).
Bahkan, tak sampai di situ, ketika dunia direlokasi pun ditransmutasi ke dalam bentuk teks atau tulisan, tetap saja tak ada harapan yang menghembuskan napas bagi subyek. Dalam ‘tradisi’ kepenulisan posmo itu, pengarang, the author, subyek juga dimatikan, hingga tak ada lagi ruang bagi ideologi, pesan, atau informasi dari sebuah teks, hanya gelak komunikasi dan canda tanda. Jika selama ini teks, buku, kitab, tulisan dianggap sebagai totalitas yang menyimpan transendensi tertentu, kesucian, kebenaran dan keabadian, maka kini tulisan tak lagi merupakan teritori tertutup, melainkan menjadi sebuah sabana luas yang terbuka, tak seorangpun boleh mengklaim kepemilikannya, ia menjadi provinsi yang senantiasa ternoda, ruang massa tanpa hak paten. Dan para pembacalah yang akan melucuti setiap tulisan itu dari katedral suci dunia penciptaan atau produksi dan masuk ke dalam kubangan konsumsi, dan seterusnya… kloset!
Lalu, masih adakah ruang bagi kita membicarakan diri ‘yang hidup’, sosok subyek yang berkesadaran, wacana kebebasan, autoritas ke-Aku-an seperti “aku berpikir maka aku ada”, ketika segala sesuatunya telah dinyatakan mati?
Deretan fenomena semacam itulah yang tampaknya ingin disuguhkan sekaligus digugat oleh Naskah Bunuh Diri (2015), antologi 3 cerita dari Haz Algebra, seorang penulis muda dari Manado, yang kemunculannya kembali di dunia sastra diam-diam menghanyutkan.
Pada sebuah Warning di “Jalan Sunyi Sang Naskah…Kepada Pembaca yang Berbahagia” ia memaparkan proses kreatif menulisnya sebagai aktivitas ‘belanja tanda’ dari “sekian buku yang terbaca,” seperti mengaminkan kata Barthes, bahwa “teks adalah sebuah jaringan kutipan-kutipan yang diambil dari pusat-pusat kebudayaan yang tak terhitung jumlahnya..,” atau apa yang disebut Julia Kristeva sebagai intertekstualitas; atau dekonstruksi, kata Derrida. Maka ‘menulis’ pun kemudian tak lain dari sekedar pembelanjaan dan pendekontruksian tanda dalam rangka bermain-main dengan tanda itu sendiri, citraan dan medianya.
“Dilahirkan di kedai-kedai Kopi tak suci… mulanya Sang Naskah hanyalah ide yang tunggal, sederhana, dan kesepian… yang menampakkan diri setelah sekian buku yang terbaca…,” demikian bunyi kalimat Haz Algebra membuka Peringatannya (Naskah Bunuh Diri, hal. xi).
Kita pun bisa mengautopsi ketujuhbelas cerita (yang sebagian besar pernah dimuat di oase Kompas.com) yang dibaginya dalam trinitas gelap-jeda-harap itu yang mendapatkan bentuknya lewat strategi transposisi, yaitu pelintasan dari satu sistem tanda ke sistem tanda lainnya, yang dalam perjalanannya—sepanjang lintasan tersebut—satu atau sebagian sistem tanda yang digunakan meng-coup d’etat sistem tanda referensi yang seringkali merupakan narasi-narasi besar (grand naration).
“Tentang Tiga Monster dalam Tubuhku,” misalnya, Algebra mengangkat tradisi Marxisme kemudian mengembalikannya ke asal psikoanalisis Freudian lalu membunuhnya dengan pisau eksistensialisme. Bisa jadi, Tentang Tiga Monster (TTM) juga merupakan kode untuk Tuhan Telah Mati (TTM) dalam Tubuhku, seperti bentuk (bukan makna) ceritanya sendiri. Dan, barangkali ini adalah kode awal untuk membaca seluruh cerita Algebra. Sebab ketika “Tuhan telah mati,” kata Dostoevsky mengimprovisasi Nietzsche, “segala sesuatunya diperbolehkan...,” dan ketika pengarang telah mati, bukankah berarti segala tafsiran terhadap tulisan juga diperbolehkan?
Dari isu eksistensialisme itu Algebra meneruskan ceritanya ke hikayat posmodernisme yang justru membahayakan eksistensialisme itu sendiri. Salah satunya dalam “Syahdan, Pada Suatu Hari”. Di sana, kita bisa memasuki dunia hibrida yang dibangun dari psikoanalisis Lacanian dan larutan konsumerisme Baudrillard, tentang tokoh Aku (seorang anak bernama Lakra; terdengar seperti dicomot dari kata ‘simulacra’) yang tak lagi hidup dalam bayang-bayang sosok Bapak/Ayah (in the name of Father, Superego), melainkan terjerat dalam ruang konsumsi “dongeng pengantar tidur” yang diciptakan oleh tokoh Ibu. Dan karena dorongan (penikmatan, Enjoy!, Jouissance) dari dongeng yang sengaja diulang-ulang, direproduksi terus-menerus oleh tokoh Ibu, Aku menjadi kehilangan diri, bahkan menjadi dongeng itu sendiri, lalu sang Aku menjadi pembunuh Superego, Ayahnya sendiri.
Dalam cerita itu, tokoh Aku mengafirmasi subyek yang tak berkesadaran, dan selalu dalam kondisi penundaan makna diri. Ia semacam “diri yang berkehilangan,” meminjam Lacan, yang selalu terdislokasi, selalu retak, selalu gegar, dan selalu terbelah (sehingga selain nama Lakra, ia juga punya nama lain: Lang). Subyek tak berkesadaran berarti pula tak bebas, karena kondisi pasca hancurnya Superego/Bapak/Tuhan/Yang Absolut itu harus ditebus dengan beban yang termanifestasikan dalam kerinduan akan disiplin, yaitu disiplin dalam rangka memenuhi kewajiban untuk menikmati, atau perintah untuk menikmati segala seluas-dalamnya. Seperti kata Zizek, “‘Enjoy!’ is superego,” seperti tokoh Aku/Lakra/Lang yang, hingga akhir cerita, terus hidup dalam simulasi dongeng penghancur kesadaran yang diciptakan oleh sang Ibu (Jouissance).
Cerita-cerita Algebra itu terus bergerak membentangkan aforisme, berkelindan dengan feminisme, menyuarakan kegilaan, perayaan kematian, absurditas, seksualitas hingga spiritualitas. Dan buku ini, sekiranya sudah tak menyisakan ruang bagi apa yang disebut kategori, genre, hingga jenis kelamin sastra. Ia tidak mewakilii satu ‘tradisi’ apapun, tetapi tidak pula berdiri pada semua ‘tradisi’. Ia, misalnya dapat dibaca (jika tak dianggap berlebihan) sebagai cerita-cerita teosufi, metafisis, saintifik, filosofis, psikologis, kriminologis, posdetektif dan tentunya semiotis, yang sudah dikomodifikasi.
Operasi menulis seperti ini tentu saja meruntuhkan anutan terhadap diskursus universalisme Hegelian yang menandaskan bahwa karya sastra (atau tulisan pada umumnya) adalah ekspresi diri si subyek, karakter si pengarang, dan otentisitas sebuah karya diidentikkan dengan ‘orisinalitas’ pemikiran sang pengarang, sang pencipta, sang pengkarya. ‘Kejeniusan’ Algebra dalam meracik tema-temanya mengukuhkan alegori: “tak ada yang baru di bawah matahari”. Sehingga apa yang disebutnya sebagai “ide yang tunggal, sederhana dan kesepian” itu, baginya dan bagi Barthes “sudah tak punya tempat lagi”. Ia telah “membelah dirinya” dan berlari menjauh bahkan “mati” bersama konsep “pengarang” yang muncul sejak Abad Pertengahan bersama semangat Cartesian (melalui cogito ergo sum itu).
Tumpukan Sampah Pasca Konsumsi
“(Sebab) kita terlahir di antara air kencing dan kotoran.” – St. Augustinus (Naskah Bunuh Diri, hal. 161)
Adalah tak mungkin, seseorang menulis tanpa pernah mengenal tulisan. Sebab pada prinsipnya, seluruh tulisan merupakan jelajah metamorfosa yang mengalami penambahan atau reduksi dari tulisan-tulisan sebelumnya. Hanya ego pengarang saja yang menolaknya, menutupi proses kreatif kepengarangannya itu dengan istilah-istilah orisinalitas, temuan, ilham, gagasan, atau suara-suara bawah sadar, seolah-olah tulisan yang dicipta begitu saja menyembul dari ketiadaan.
Pramoedya Ananta Toer, yang masih berstatus pengarang muda dulu (tanpa mengurangi rasa hormat) pernah dikatai (untuk tidak menyebut dimaki) oleh Bung Idroes, tatkala karya-karya awalnya dibaca oleh gurubesar sastranya kala itu. “Kau tidak menulis, Pram, kau berak!” Begitu kata Bung Idroes.
Dengan locus dan tempus kasus yang berbeda, seorang ‘pembaca budiman’ (dalam pengertian ‘pembaca yang menggunakan kuasa rasio modernis’ sebagai hakim) bisa saja menggunakan pasal KTM-KB itu untuk memvonis mati tulisan yang diracik dengan ‘gaya’ posmo. Apa sebab? Operasi kebermainan dari pembelanjaan tanda yang ‘comot sana-sini’ dapat berakibat pada ramuan tulisan yang disajikan seorang pengarang berakhir sebagai ‘gado-gado tanda’ yang mungkin saja sudah basi, tanpa kebaruan, tanpa karakter, tanpa segala ‘tetek-bengek’ modernisme itu, kecuali permainan sisa-sisa sampah dari apa yang telah dihancurkannya, dicernanya, dikonsumsinya.
Algebra pun terus mengafirmasi bahkan lebih mempertajam kritik itu dengan caranya sendiri. Pada ‘wasiat terakhir’ dalam Naskah Bunuh Diri-nya, ia meramalkan kejatuhan tulisannya ke dalam “tumpukan sampah sastrawi” dan menolak “diberhalakan”, yang tidak lain merupakan bentuk akhir ‘ke-Aku-an’ pengarang sekaligus penyerahan anatomi teks atau wacana yang tersaji secara teks keseluruhan kepada Sang Bahasa, dan atau pembacanya.
Tapi mengapa pembaca yang dituju Algebra bukanlah “kepada pembaca yang budiman” melainkan “kepada pembaca yang berbahagia”? Apakah di era matinya segala sesuatu, tren ‘pembaca yang berpikir’ juga telah berakhir, disubstitusi oleh ‘pembaca yang sekadar menikmati’ bacaannya dalam kebahagiaan seperti fenomena larisnya teks-teks dangkal (untuk tidak menyebut buku-buku picisan) di toko-toko buku? Hal yang relatif pasti, Algebra yang telah sublim sebagai hamparan teks itu tampak hendak merayakan ketubuhan teks, kuasa tubuh (teks) dengan segala kepalsuannya sebagai subyek sekaligus obyek konsumsi.
Pada daftar isi kita bisa melihat wacana (baca: propaganda) ketubuhan yang masih utuh tentang: kepala (otak, intelektualitas), bibir (mulut, oralitas), dan kelamin (seksualitas). Tiga organ paling konsumtif dan terseksi, yang sekaligus menjadi tiga alasan seseorang mau melakukan apa saja demi pemenuhannya, bahkan mungkin pula bunuh diri karenanya. Siapa yang dapat disebut hidup atau ‘mampu hidup’ tanpa kepala untuk berpikir, tanpa mulut untuk makan minum, tanpa alat kelamin untuk orgasme? Dan siapa pula yang libido konsumsinya tidak bangkit ketika berpapasan dengan keseksian sebuah pemikiran, kelegitan sebaris bibir dan atau kedalaman organ seksual?
Di sanalah kepalsuan itu diracik, dipoles dan dibumbui ilusi. Dialogisme, alegori, dekonstruksi dan bahkan pastiche yang saling bertaut tindih pada “Segulung Cerita Tua dalam Kepala”; erotisme ‘sufistik’ yang berkanjang “Di Bibirmu Bibirku Bersujud”; hingga penjelajahan lorong-lorong ‘bio-filosofis’ dan spirito-seksualitas dalam “Fantasi dari Negeri Kelamin”. Ada satu hal yang bisa kita tangkap di dalamnya; sebagai fiksi, permainan-permainan tanda yang dihadirkan itu menampilkan dusta yang padat meyakinkan sekaligus omong kosong maha besar yang memualkan—namun saking memualkannya, sampai-sampai kita tak ada waktu untuk berpikir di dalamnya.
Kebohongan itu, kepalsuan itu, akan membetot seluruh rasa lapar dan menggelitik gigi kita untuk terus-menerus mengunyah, atau mungkin saja menelannya bulat-bulat, atau mencernanya demi alasan kesehatan dan kemantapan performa tubuh. Namun, sebelum santapan itu tandas, kita tersentak, karena bukannya mengenyangkan atau membawa kesehatan, tapi malah membuat kita menderita sembelit!
Sampai di titik itulah, di bagian akhir setiap pembacaannya, Naskah Bunuh Diri menggugat dirinya. Ia seperti mencoba menghadirkan “subyek politik radikal emansipatoris” (meminjam Zizek) yang di dalamnya sekaligus merupakan keberadaannya sendiri. Subyek final itu (yakni subyek final Hegelian yang dijungkir-balik oleh Zizek) ialah subyek yang mampu melakukan tindakan-berlawanan dari kenikmatan belanja dan mengonsumsi kebohongan-kebohongan absolut tadi; ia subyek yang hendak membuang kesembelitannya akibat makanan pengetahuan yang mengisi ‘Jalur Sutra’ pencernaannya dengan mengakhirinya di dalam “Toilet Tempat Arwah Para Filosof”, dengan cara: BNB (Buang Narasi Besar)... berak intelek!
Dengan kata lain, subyek final Naskah Bunuh Diri adalah ‘subyek yang kosong’ pada dirinya, yang melalui kekosongannya (peniadaan, negativitasnya, ‘bunuh diri’) itu, ia lalu memiliki kapasitas untuk bertindak secara positif melampaui halangan-halangan simboliknya. Kekosongan itu juga lalu menonjokkan rasa kosong kepada penikmatnya—yang muncul sebab kita telah kehilangan kenikmatan kebohongan dan omong kosong, dan melayangkan lambung jiwa kita serasa ke ruang udara hampa—seperti tatkala membaca laku para Wayang yang bergerak-berlawanan dari Undang-Undang Dalang dalam “Segulung Cerita Tua dalam Kepala”; seperti secangkir Kopi yang rela mengosongkan dirinya dari segala macam substansi yang mengisi dan mewarnai sejarahnya dalam “Di Bibirmu Bibirku Bersujud”; atau seekor Sperma Unggul dalam “Fantasi dari Negeri Kelamin” yang menghendaki kehancur-leburan diri dan segala riwayat kepercayaannya hanya demi sebuah verifikasi: perjumpaan dengan kebenaran (jati diri).

---

PS:
Ketika teks terlahir, pembaca lahir, pengarang mati. Ketika pembaca memproduksi makna, pembaca sekonyong-konyong menjelma pengarang (makna) pula. Lingkaran ‘oksimoron’ pun terbentuk, seperti ular yang menggigit ekornya sendiri. Dus, siapa pun, setelah mengarang risalah baca seperti ini, akan layak turut ‘mati’. Maka tulisan ini juga tidak lain adalah senarai upaya ‘bunuh diri’. Apalah itu, tak perlu sedih. Sebab ada pepatah: pembaca menggonggong, pengarang berlalu.
                                                                           -jd-
Desember 2015, Kota J.
(di depan pintu sebuah toilet yang berisi seorang pengarang).

Sumber: suluttoday.com
Read More...

10.8.13

Puisi yang Gagal Terekam (Pada Sebuah Acara Resepsi Pernikahan)



Puisi saya ini berjudul "Monumen Penghancur Identitas" yang dipersembahkan "Buat Andrew-Astrid, dan cinta yang datang dari dua novel berbeda". Sukses dibacakan oleh Reiner Ointoe (seorang Penyair senior juga Budayawan Sulut yang telah banyak menulis buku puisi) pada malam resepsi pernikahan Andrew & Astrid @ Manado Convention Center 9/8/2013.

Tapi entah kenapa, saat pembacaan memasuki bait pertama, di belakang saya terdengar seorang berkata berulang-ulang kepada kameramen: "jangan di-record!" lalu tiba-tiba sebuah panggilan masuk muncul di layar BB saya yang sedang khusyuk merekam momen pembacaan itu. Dan seketika itu pula BB saya 'heng', tombol tak berfungsi, tampilan layar tak berubah, meredup, semakin meredup, lalu mati.

*Menyebalkan!*







Read More...

25.7.13

Membongkar “Campur Tangan Tuhan” dalam Cerpen Haz Algebra






Oleh: Javid Deo
(Penikmat Filsafat dan Sastra)


A N T A R A N
Sebuah toko buku, pada barisan buku-buku sastra. Ketika itu saya hendak mencari bacaan untuk sedikit berkontempelasi di waktu senggang. Dan buka demi buka, pencarian saya tertahan pada sebuah Kumpulan Cerpen dan Puisi bersampul ‘manekin’ yang memakai setelan jas rapi dengan bentuk kepala serupa dinamit pada latar warna putih.
AMARAH,” begitu nada judulnya, ditulis oleh Para Penulis Lembaga Bhinneka.
Bungkusannya saya buka (tentu saja dengan seizin penjaga). Lalu baca demi baca, sebuah cerpen berhasil mengaktifkan sensual pleasure of reading[Barthes] saya untuk terus melakukan pembacaan terhadapnya—tatkala saya menemukan banyak pengaruh filsafat dan bahasa simbol di dalamnya. Dalam situasi macam itu, saya merasa waktu dan ruang (di toko buku) tidak cukup untuk melakukan invenstigasi lebih jauh. Saya harus membawanya pulang. Saya putuskan untuk mengorbankan cokelat dan bunga valentine untuk pacar saya, dengan membeli buku itu.
Ruang kamar. Buku-buku filsafat sudah tersusun di atas meja. Saya duduk menghadap laptop, dan tangan saya menggenggam “AMARAH”.
Cerpen yang membuat saya bertapa di malam kasih-sayang itu adalah karya Haz Algebra, yang berani mengklaim isi ceritanya sebagai “Perjamuan Terindah Sepanjang Masa”. Tentu saja itu hanya klaim. Apalagi ketika Algebra menggunakan “tuhan” (di tulis dengan “t” kecil) sebagai tokoh utamanya. Karena saya yakin pula, bukan buku ini yang telah mendapatkan anugerah International Best Seller itu.
Baiklah. Saya menulis tulisan yang belum tulisan ini bukan sebagai resensi atas buku “AMARAH” yang dahsyat itu. Bukan pula niat saya untuk tujuan promotif—meskipun saya bukan pesulap yang harus berkata kepada Algebra, “Kita belum pernah kenal sebelumnya, kan?”—melainkan sekadar racauan (untuk tidak mengatakan ‘tafsir’) atas pembacaan saya terhadap cerpen Haz Algebra itu. Dan sebagai racauan, tentu saja tulisan ini berpotensi melemahkan muatan dalam cerpen itu, dan sebenarnya tak teramat dibutuhkan serta bisa dilewatkan.

R A C A U A N
Pada mulanya adalah teks. Ah, sudahlah. Saya memulai pembacaan saya pada bagaimana Algebra melakukan proses transisi metafora dari abstrak ke konkrit (the logic of concrete)[Strauss], yakni dari ide/gagasan/konsep ke dalam struktur teks (latar, alur, tokoh, dll) dalam cerpennya.
Sebagai salah satu cerpen yang terangkum dalam buku antologi hasil perlombaan, saya menemukan pada ilustrasi sampul belakang “AMARAH” bahwa ide dasar pembuatan semua karya dalam buku itu ialah amarah terhadap ke-bhinneka-an Indonesia yang tidak lagi tunggal-ika(?)
Dari situ akan muncul variasi perspektif ihwal diskriminasi, marginalisasi, kekerasan atas nama agama, cinta tapi beda dan berbagai ketimpangan-ketimpangan sosial lainnya dalam konteks masyarakat plural di Indonesia.
Algebra, dalam cerpennya tampak mengambil varian kekerasan atas nama agama sebagai ide dasarnya. Dan jika agama berafiliasi dengan Tuhan, dapatkah kita mengatakan bahwa tindak kekerasan atas nama agama tidak lain adalah tindak kekerasan atas nama Tuhan?[Armstrong]
Darinya Algebra menkonkritkan ide itu dengan (mengambil resiko) mempersonifikasi Tuhan sebagai tokoh utamanya. Namun itu sah-sah saja menurut saya, karena bukankah Tuhan telah mempersonifikasi diri-Nya sendiri secara dialogis dalam bahasa manusia (Kitab Suci) tatkala Ia memperkenalkan diri sebagai “Aku”?
Gagasan yang sangat klasik. Tapi untuk lebih menghidupkan gagasan itu, Algebra menciptakan latar dua dunia. Kita sebut saja, dengan meminjam istilah Plato: dunia idea dan dunia fisika; di mana Algebra menceritakan bagaimana kehidupan Tuhan di dunia idea dan bagaimana Tuhan dihidupkan di dunia fisika.
Sekilas tampak kontradiksi memang ketika proses mengkonkritkan ide dengan memakai latar dunia idea pula. Akan tetapi, di sinilah letak keunikannya ketika Algebra mereduksi deskripsi dunia idea Plato dengan narasi a la alam bawah sadar Freud yang sederhana tapi penuh intrik, antara tokoh “tuhan” dengan tokoh lain: “Para Penulis”.
Pada alur, cerita Algebra bermula dari dunia idea, yang ia sebutkan sebagai “Hari Keenam –yang bukan hari keenam kita–”. Alur tersebut terus maju membawa kita membaca alur penciptaan seperti dalam Bible pada Bab Kejadian, tapi dengan perspektif berbeda.
Dan ketika cerita sampai pada “Hari Ketujuh,” di mana cerita semakin menanjak mencapai klimaks, tiba-tiba terjadi patahan alur sebelum anti-klimaks. Algebra dengan cerdik mengejutkan kita dari dunia idea—seolah-olah menyadarkan kita dari mimpi-mimpi bawah sadar—untuk kembali melihat fakta di dunia fisika.
Ia, dengan nada sendu, mengajak kita untuk kembali pada “Hari Pertama,” yang tidak lain, katanya, adalah “–hari pertama kita.” Semacam nostalgia, tapi bukan.
Lalu makna. Seluruh struktur jalinan teks yang kering dan literal dalam cerpen Algebra membentuk semacam sistem tanda, maka tugas saya sebagai pembaca ialah melakukan investigasi terhadap deep structure-nya[Strauss]. Tapi cukupkah dengan mengatakan cerpen itu pada dasarnya hanya bercerita tentang kekerasan atas nama agama, lalu selesai?
Saya pikir tidak. Setiap karya yang berdimensi filsafat memiliki potensi pencerahan yang ingin menerangi pikiran dan menyapa hati para pembacanya. Dan untuk cerpen ini, saya berasumsi bahwa Algebra mencoba merumuskan makna pengalaman yang kerap terlampau pelik dan kompleks untuk dirumuskan—lewat simbol-simbol yang “asal-comot” sana-sini, seolah-olah ingin menyampaikan dengan tidak terus-terang tentang sebuah perspektif “campur tangan tuhan” dalam fenomena tindak kekerasan atas nama agama, bahkan barangkali, melampaui ihwal itu.
Saya berasumsi pula, cerpen ini lahir dari ruang privat yang penuh nuansa kontempelatif, sehingga dibutuhkan active power of reader[Barthes] untuk menggali kembali setiap lapisan-lapisan tak sadar di balik struktur bahasanya, yang melacak jejak makna purba di balik kata-kata dan dengan itu mengubah cara kita berpikir dan merasa.
Tengoklah tatkala Algebra menggambarkan karakter tokoh tuhan sebagai sosok multi-talenta yang “ambisius dan narsis,” lalu dikritik oleh tokoh Para Penulis dengan ungkapan “…terlalu. Huh!”[Rhoma?]
Ada pula istilah “roti dan anggur” yang dikambing-hitamkan sebagai penyebab kematian tuhan. Tapi kemudian Tuhan seolah hidup lagi dan ‘dituduh’ mengambil “daging dan darah” para korban pemboman di rumah-Nya sendiri.
Yang saya tidak habis pikir, kenapa pula tokoh tuhan harus dipertentangkan dengan Para Penulis? Siapakah yang dimaksud dengan Para Penulis itu, para Nabi-kah atau para Malaikat-kah? Tapi mengapa pula Para Penulis digambarkan “dengan setelan jas rapi juga safari”? Apa hubungannya antara berebut tulisan tuhan di dunia idea dengan peristiwa pemboman rumah ibadah di dunia fisika? Jika kedua dunia itu berhubungan, lalu siapa sebenarnya yang menyebabkan terjadinya kerusakan di dunia fisika, tuhan-kah atau Para Penulis?
Oke. Mari kita coba racaumatiskan sistematiskan segala macam kekacauan ini. Begini: diceritakan pada “Hari Keenam,” tokoh tuhan sedang mempersiapkan dirinya untuk menjadi ‘penulis’ terkenal setelah di hari-hari sebelumnya ia sudah terkenal sebagai ‘pencipta,’ ‘pengatur,’ ‘penginspirasi,’ ‘pecontoh,’ dan ‘penyembuh’(?) Di sinilah kemudian tokoh Para Penulis muncul dengan amarahnya hingga berencana membunuh tuhan.
Pada bagian ini, tuhan digambarkan sebagai tokoh penuh ambisi yang ingin menguasai segalanya, sedangkan Para Penulis digambarkan sebagai pihak yang marah karena merasa terganggu dengan perilaku tuhan yang seenaknya saja itu. Tokoh tuhan semacam sosok totalitarian yang mapan (ia adalah segalanya, segalanya adalah ia), sementara Para Penulis terpahami sebagai “yang-lain,” yang ingin membela eksistensinya.
Pada bagian “Hari Keenam Malam,” pemahaman kita terhadap tokoh-tokoh akan berubah seratus delapan puluh derajat, di mana tuhan digambarkan sebagai sosok sederhana yang “tanpa alas kaki,” sedangkan Para Penulis sebagai sosok yang borjuis, “dengan setelan jas rapi juga safari”.
Jika kita menafsir “jas rapi juga safari” itu sebagai busana yang biasa dipakai oleh mereka yang duduk di pemerintahan (para penguasa), maka barangkali pertentangan tuhan vs Para Penulis sengaja dihadirkan untuk menggambarkan kuasa yang selalu tidak stabil. Bukankah ada istilah bahwa sejarah selalu ditulis oleh penguasa?[Marx]
Kita lewatkan dulu ihwal sejarah, sembari menghadirkannya sebagai historitas dalam teks. Sekarang timbul pertanyaan lagi, jadi di antara tokoh-tokoh itu, siapakah yang sebenarnya ingin mempertahankan eksistensinya? Apakah Para Penulis yang tak ingin ladangnya dikuasai? Ataukah tuhan yang ingin menuliskan sendiri “hikayat tentang dirinya ..,autobiografinya, karya-karyanya, sejarahnya dan segala yang melekat pada dirinya,” karena kecewa terhadap orang pilihannya yang berkhianat?
Tapi malam “Hari” itu, ketika rencana Para Penulis sedang dijalankan, pemahaman kita terhadap kedua tokoh itu kembali dijungkir-balikkan dengan penggambaran sosok tuhan yang sombong (seperti tampak dalam khotbahnya), sedangkan Para Penulis seolah tak sanggup berbuat apa-apa kecuali menunggu tuhan masuk dalam jebakan “racun” mereka.
Meskipun pada akhirnya rencana membunuh tuhan itu berhasil, akan tetapi tuhan tampak menang dari katanya: “Dasar pecundang. Jangan sebut aku tuhan jika aku tak tahu apa yang kalian pikirkan!
Bahkan kematian tuhan (terlepas dari apa yang membunuhnya: panah, pisau, pistol atau racun) meninggalkan misteri pada secarik kertas yang bertuliskan: Terima kasih untuk roti dan anggur kalian.
Tokoh tuhan mati setelah khotbahnya diinterupsi, tepat di “Hari Ketujuh”. Kemudian adegan terus berlanjut dengan perkelahian di antara Para Penulis yang memperebutkan tulisan tuhan dan berakhir dengan saling bunuh membunuh.
Akan tetapi, ketika cerita tiba di bagian “Hari Pertama,” peristiwa saling bunuh juga terjadi, seolah baru saja dimulai, di mana Tuhan ‘kembali hidup’ dan ‘dituduh’ sebagai biang keladi peristiwa itu: “Tuhan, apa salah kami hingga Kau meminta daging dan darah kami?”
“Hari Keenam-Ketujuh” dan “Hari Pertama” adalah dua dunia yang berbeda—di mana yang satu bersifat universal/transendental sedang yang lain partikular/kasuistik—tapi berhubungan. Ketika di dunia idea Para Penulis marah dan membunuh tuhan, maka di dunia fisika setelahnya, Tuhan seolah marah dan kembali untuk melakukan ‘balas dendam imajiner’. Ketika dunia idea menandai kematian tuhan pada misteri “roti dan anggur,” maka pada dunia fisika kematian ditandai dengan jiwa-jiwa yang berlarian menanggalkan “daging dan darah.”
Dari sini, saya memahami bahwa kejadian dalam dunia idea adalah penyebab tragedi dalam dunia fisika. Sebagai sebab, “Hari Keenam-Ketujuh” menjadi sebuah masa lalu, dan “Hari Pertama” sebagai akibat menjadi masa kini atau masa depan dari masa lalu. Demikian halnya dengan metafora “roti dan anggur” yang bertransisi secara konkrit sebagai “daging dan darah.” Jadi, sebenarnya struktur cerpen Algebra itu membentuk sejarah kausalitas yang berdialektik[Hegel]; fenomena di dunia fisika adalah bayangan dari dunia idea[Plato].
Tapi muncul polemik baru ketika ternyata, struktur sejarah dalam cerpen itu tidak berjalan dalam garis lurus, melainkan tumpang-tindih, aforistik dan arbitrer. Cerpen itu tidak sepenuhnya menganut prinsip iluminasi Platonik atau dialektika sejarah a la Hegelian melainkan juga sejarah a la Derridian; meskipun “Hari Pertama” merupakan kelanjutan sejarah atau masa depan dari “Hari Keenam-Ketujuh,” tapi bukankah “Hari Pertama” juga merupakan masa lalu dari “Hari Keenam-Ketujuh”?
Derrida berkata, “Masa lalu menjadi the field of trace, sabana yang dipenuhi oleh tapak kaki, yang di dalamnya ketidakhadiran tersusun dalam sebuah jaringan kerja perbedaan dan penundaan (defferance)… Tak ada totalitas yang hadir dalam kekinian.”
Bukankah kekinian dan kesinian yang gelap pun ketika kita membayangkannya, merekonstruksinya, merepresentasikannya, ia dengan tiba-tiba menjadi masa lalu yang lain?
Dalam cerpen Algebra itu, masa lalu juga merupakan ruang, yang sama dengan masa kini maupun masa depan. Karena jika masa lalu bukan sebuah ruang, maka trace (dunia jejak-jejak) tak mungkin ada di dalamnya. Dan semisal jejak-jejak itu tersilapkan, itu berarti ia tidak ada, sebuah ketiadaan, sesuatu yang bukan apa-apa, yang tak berarti.
Itu akan mengakibatkan kefatalan: tokoh tuhan sebagai totalitas atau kepenuhan dari Yang Ada dalam cerita, pusat dari setiap lembar halaman, huruf dan kalimatnya, yang merupakan eksterioritasnya, luluh lantak; tokoh tuhan hanya akan menjadi masa lalu di “Hari Ketujuh”, menguap di kaca jendela dunia idea. Dan sebagai masa lalu, tuhan berada dalam sebuah labirin waktu yang gaib, ia hanya terartikulasikan oleh masa silam dan tertuliskan di dalamnya.
Akan tetapi, tuhan yang terkurung dalam simbol itu menjadi labirin sekaligus membentuk labirin yang di dalamnya termasuk keberadaannya sendiri, sebuah dunia tak bergaris. Dan ia ada, hadir, atau setidaknya ia pernah ada atau hadir meski kemudian terhapus atau tersilap.
Inilah yang menyebabkan meski tokoh tuhan dikatakan “mati” di “Hari Ketujuh,” namun ia (juga-sekaligus) ‘hidup’ di “Hari Pertama”. Terdapat ‘tepian’ yang genting pada perpindahan alur dari “Hari Ketujuh” ke “Hari Pertama”; alur yang tidak bisa dikatakan maju, tidak bisa pula dibilang mundur.
“…‘Tepi’ bukanlah batas…‘Tepi’ mengandung sesuatu yang sepi, juga menunjukkan keadaan genting sebab siapa pun akan sendirian ketika ada pelbagai sisi yang dihadapi, ketika seseorang tak berada di di satu pusat yang mantap. Bukan saja karena terang dan gelap ada di mana-mana, tapi juga karena kedua-duanya mengandung bahaya.”[Goen: Tepi]
Saya menemukan adanya kemiripan deterministik antara tokoh tuhan dalam cerpen Perjamuan Terindah Sepanjang Masa itu dengan tokoh utama novel Ts’ui Pen dalam Taman Jalan Setapak Bercecabang karya Borges; pada Bab III, diceritakan Sang Tokoh mati, tetapi pada bab selanjutnya ia hidup seperti sedia kala, bukannya bangkit dari kematian, karena ia bahkan tak pernah menutup mata sebelumnya.
Sebagai pecandu Zarathustra, saya menemukan pula adanya pengaruh Nietzsche dalam prosesi pembunuhan tuhan dalam cerpen Algebra. Bedanya, jika Nietzsche secara tegas mengatakan “Tuhan telah mati!”, sedangkan Algebra hanya membunuh Tuhan yang sudah ‘dibonsai’.
“Mereka mengecam berhala. Mereka mengecam doa yang membayangkan Tuhan sebagai…bonsai. Berhala atau bonsai: sesuatu yang memikat justru karena diletakkan di sebuah kotak yang tetap, seakan-akan hidup, tapi sebenarnya hanya Tuhan yang diperkecil oleh manusia, sesembahan yang jauh dari hakikat Dia yang maha-agung.”[Goen: Allah]
Saya tidak pasti. Barangkali lebih jauh Algebra ingin menjelaskan ihwal konsep “tiada tuhan selain Tuhan”[Cak Nur] lewat alur ceritanya. Tetapi saya juga ragu. Jika itu menjadi solusinya, maka konsekuensinya adalah, Algebra telah menghadirkan Tuhan yang demikian harus diterima dengan kebesaran sikap: apakah “Tuhan akan lebih memunculkan kebaikan dari dalam kedurjanaan”[Augustinus] ketimbang mencegah kedurjanaan terjadi?
Saya menangkap semangat lain dari Algebra: Jika Tuhan kembali dibicarakan dalam kekinian “Hari Pertama,” bukan berarti Ia hadir setelah kematian, sebuah nostalgia narsisistik, atau ada setelah berakhir sebagai masa lalu “Hari Ketujuh,” karena keberakhiran itu hanyalah sebuah rekayasa pelupaan (oleh Para Penulis) terhadap Yang Ada dalam cerita.
Kembalinya pembicaraan tentang Tuhan bukanlah bentuk ilusi pengalaman yang penuh bahaya dan menegangkan, atau metafisika dari yang tiada. Melainkan sebuah operasi penjejakan kembali dari Yang Ada Yang Hadir ke Yang Ada Yang Tidak Hadir[Heidegger], dalam kekinian yang terus menerus, now and here[Derrida], dengan jalan menghadirkannya kembali, menampilkannya dari lipatan-lipatan, dan menyuarakannya dari kebisuan dan ketertindasannya dalam kurungan berhala konsep buatan manusia.
Penghadiran ini bukanlah dari ketidakhadiran karena ketiadaan, namun sebuah penyingkapan tabir, pembukaan pintu-pintu dalam labirin, penyalaan seberkas cahaya lilin dalam gelapnya relung kesadaran manusia.
Lebih lagi jika berhadapan dengan hasrat manusiawi yang selalu merindukan titik pusat yang stabil, sebuah jaminan, lewat pemahaman dan kejelasan. Kerinduan yang mengingatkan kembali bahwa dirinya tak lebih dari segumpal darah, mani yang kotor, Adam (tanah), pemenggalan terhadap Latah, Uzzah, Whatan, dan Shanam yang ia bangun dari api kesombongan.
Dengan demikian, alur seperti itu mengandung kritik bahwa proklamasi keberakhiran sejarah dan pembunuhan terhadap Tuhan hanyalah sebuah koar, yang terjadi kemudian adalah tak lebih dari penyangkalan Malin Kundang kepada Ibu-nya.
Stop!
Apakah pembacaan kita sudah selesai? Belum. Sistematika pembacaan yang berdekonstruksi dan sedikit melebar seperti ini ternyata tidak mampu memberi jawaban yang bisa dijadikan sandaran tentang bagaimana korelasi ‘kematian tuhan’ dengan ‘kematian orang-orang di Rumah Tuhan,’ dan seperti apa gerangan “campur tangan tuhan” itu terhadap fenomena sosial yang timpang. Maka saya harus membacanya kembali, kembali membacanya, dan lagi.
Buku demi buku mulai tak beraturan di atas meja. Saya akhirnya menemukan padanan (yang saya rasa cukup untuk mendekati) cerita Algebra dalam keping-keping Caping Kakek Tua Goen: Darah.
Barangkali “tuhan berlumuran darah,” “Para Penulis,” “jas rapi juga safari,” “roti dan anggur,” “daging dan darah,” adalah bentuk-bentuk kritik simbolik Algebra pada sistem yang mengatasnamakan dirinya “deliberative democracy”[Habermas] atau ‘demokrasi rembukan’.
Akan tetapi, di Negara yang mengalami banyak trauma semacam Indonesia, “Demokrasi Habermas (itu) hanya akan tampak seperti sebuah ruang sidang yang bersih dan rapi, jauh dari jalanan yang dihambat lubang dan reruntuhan.”
“...Dengan darah yang tumpah kemarin,” kata Kakek Tua Goen, “bagaimana kita bayangkan arena publik ini sebagai ‘demokrasi rembukan’..?” “...Dengan bekas luka yang masih nyeri, tiap rembukan akan dilihat sebagai sekedar siasat.”
Algebra seolah ingin menekankan “di sini,” bahwa di Negara ini, “konflik bukanlah sesuatu (yang terjadi) di luar proses, bukan (pula) ‘kecelakaan’ (yang serba kebetulan)”, melainkan keputusan dari suatu konsensus yang tidak pernah bulat.
 “...Tidakkah kita harus selalu ingat bahwa ada hal-hal yang retak dan runtuh dan darah yang mungkin tumpah, ketika konsensus dibulatkan?”
Bukankah “Politik, dalam arti proses, prosedur, dan prasarana (yang) mengatur kehidupan bersama di sebuah negeri, tak selamanya hanya bersangkutan dengan negosiasi di sekitar ruang dan bahan (“tanah” dan “air”, “roti” dan “anggur”), melainkan juga dengan trauma (“daging” dan “darah”)”?
“…’Darah’ (memang) selalu menerbitkan imaji yang dramatis, apalagi darah yang ‘tumpah’. Kata itu dekat dengan nyawa dan tubuh. ‘Darah’ yang tumpah berasosiasi dengan luka, sengsara, resiko, bahaya, dan sengketa.”
Darah juga adalah keputusan. Dan “Keputusan:…, mengandung kata dasar ‘putus’ : sesuatu yang traumatis…saat manusia memutuskan adalah ‘saat kegilaan’.…Saat itu ‘gila’ karena meloncat ke dalam ketidakpastian. Ia subjek dari keputusannya, tapi juga objek yang dibentuk oleh keputusan itu.”[Goen: Yakin]
Persoalan yang mengganjal kemudian adalah, ketika merujuk pada sabda-sabda Kakek Tua Goen di atas, dan melahirkan pamahaman bahwa demokrasi kita tak terpisah dari yang namanya konspirasi, apakah kemudian fenomena “campur tangan tuhan” atas fakta kekerasan atas nama agama itu, tidak lain hanyalah sebuah alibi?
Memang benar bahwa Algebra bercerita tentang kekerasan atas nama agama, karena itulah yang menjadi ide dasarnya. Akan tetapi, sepanjang pembacaan yang berulang-ulang, saya tidak menemukan Algebra memvonis satu agama pun sebagai pelaku kekerasan, juga tidak mengatakan agama mana yang merupakan korban kekerasan.
Lihatlah tatkala Algebra menuliskan “Rumah Tuhan” yang dibom itu; sepintas barangkali kita sudah curiga bahwa yang dimaksud dengan Rumah Tuhan itu adalah Gereja. Akan tetapi, jika maksudnya seperti itu, benarkah orang-orang ketika beribadah di dalam Gereja, “Ada yang berdiri mengadah, ada yang duduk bersila, dan ada yang bersujud pasrah”?
Saya lalu teringat dengan cerita epiphany tentang: Yakub yang terbangun dan menyadari bahwa tanpa sadar dia telah bermalam di sebuah tempat suci di mana manusia bisa bercakap-cakap dengan tuhan mereka, “Betapa menakjubkan tempat ini! Ini tak lain adalah rumah Tuhan (beth El); inilah pintu gerbang surga.”[Armstrong]
Jadi, barangkali Rumah Tuhan yang dimaksudkan Algebra tidak hanya menunjuk pada Gereja sebagai Beth El (pintu gerbang surga, Bethlehem), tapi juga dalam terminologi Islam disebut Baitullah (Rumah Allah/masjid/tempat bersujud), maupun kuil-kuil Pagan dalam kebudayaan Babilonia yang disebut juga Bab-ili (Gerbang para dewa).
Sehingga dengan pemaknaan seperti itu, konteks Rumah Tuhan barangkali dapat dipertanggungjawabkan dalam hubungannya dengan orang-orang “yang berdiri mengadah, yang duduk bersila, yang bersujud pasrah.” Bahkan jika kata baitullah dan masjid (tempat bersujud) dielaborasi lebih jauh, maka kita akan menemukan keluasan bahwa Algebra tidaklah menunjuk suatu tempat ibadah tertentu, melainkan di mana saja di seluruh permukaan bumi (bumi tempat bersujud).
Demikian halnya dengan tuhan yang menjadi martir perebutan tulisan. Algebra tidak secara spesifik melukiskan konsep tuhan dari sebuah agama, tetapi karakter tuhan Algebra ini adalah perpaduan sedemikian rupa yang “comot-sana-sini” antara karakter tuhan dari berbagai agama dan orang-orang yang diteladani sepanjang masa. Di sana, jika jeli membaca tingkah dan proses dialognya, akan ketemu dengan beragam karakter tuhan mulai dari Kristen, Islam, Yahudi, sampai pada tokoh semacam Nabi Muhammad, (Isa Al Masih) dan Ali bin Abi Thalib.
Oleh karenanya, Algebra ingin mengatakan bahwa kekerasan atas nama agama bisa datang dari mana saja, oleh siapa saja, dengan korban yang beragam pula (tanpa memandang SARA, sekte, mazhab, aliran, dsb). Dan untuk itu, Algebra lebih menyalahkan sistem yang mengatur kehidupan bermasyarakat dalam sebuah Negara. Sistem yang telah membunuh kebenaran, hingga berakibat pada terjadinya ketimpangan-ketimpangan sosial semacam itu. Apakah Algebra sedang berbicara tentang ‘teologi pembebasan’?[Weber, Hannafi]
Lalu bagaimana dengan kata “perjamuan,” “ pengkhianat,” “panah,” “pisau,” “pistol,” “racun,” “tulisan tuhan,” “sastra terbaik sepanjang masa,” “khotbah hari keenam,” “penulis senior,” “jiwa-jiwa yang terbang, berlarian dan telanjang”?
Huft…! Cerpen ini ibarat dunia yang telah menjadi sekedar kumpulan huruf-huruf, kata, kalimat; sebuah ruang yang ditengah-tengahnya berdiri cermin-cermin raksasa yang memantulkan masing-masing cermin itu secara tak berhingga, berjejal, hiruk pikuk, semrawut, dan cerai berai. Huruf, kata dan kalimat itu pun adalah bentuk dunia sendiri-sendiri, dimana “The Truth” sengaja diletakkan dalam tanda kurung dan garis silang, sementara saya sudah kelelahan dalam keasyikan menulis dan melantunkan kalimat-kalimat racauan.
Hal yang relatif pasti: begitu banyak paradoks, ambiguitas dan ambivalensi dalam pembacaan kilat terhadap cerpen Algebra itu, karena simbol-simbol yang dihadirkannya saling bersilang-singkarut, berhamburan, dan tak menetap pada satu titik makna.
Simbol demi simbol dalam ruang baca menjadi makna demi makna yang berubah-ubah seiring waktu pembacaan. Dari sini, pantaskah kita menuduh Algebra sebagai cerpenis yang menggunakan intellectual gimmick (tipu muslihat intelektual) yang tidak berisi selain permainan kata-kata?
Seluruh pertanyaan (yang tak terjawab dan tak) tersebut harus diajukan secara berhati-hati, sebab jika tidak, kita akan tergoda untuk menemukan sebuah jawaban, sebuah pharmakon, yang daya sembuhnya sama dengan kekuatan membunuhnya.
Akhirnya saya menyerah, meski pembacaan saya untuk membongkar “campur tangan tuhan” ini belum selesai. Karena pada awalnya, Algebra sudah mengingatkan saya bahwa “tuhan” pun sedang duduk merenung memikirkan tulisannya yang belum selesai.
Dan “Entah siapa yang menang, entah siapa yang kalah. Tak tau siapa yang bersedih, dan siapa yang bahagia.” Selalu saja tak ada makna definitif dalam sebuah cerita. Dan barangkali, saya tidak akan pernah memperoleh makna yang sama ketika membaca cerpen ini untuk kedua kalinya. Apalagi jika alasannya tak sederhana: “Bab terakhir telah sobek.

S I M P U L A N ?
Membaca cerpen Haz Algebra ini seperti bertamasya tak henti-henti dengan kaki pincang di dalam taman jalan setapak bercecabang. Begitu banyak labirin yang harus dilalui, begitu sedikit rambu yang ia berikan. Kita seperti tak akan pernah sampai ke pusat makna dan maksudnya. Atau seperti kata Algebra sendiri dalam sebuah puisi: sebuah perbendaharaan tersembunyi di ujung labirin; ada pintu-pintu tak berujung yang menanti ketersesatan, ada bentangan sarang laba-laba yang terjalin halus namun rumit.
Barangkali banyak yang akan meragukan, banyak yang menyerah, dan banyak yang memalingkan wajah. Banyak pula yang menunda pemaknaan, bahkan banyak yang memuaskan diri lalu tenggelam dalam larutan kesadaran palsu, dan ada pula yang bisa jadi gila karenanya. Itu semua membuat kita tegang, tetapi asyik. Membuat kita minder dalam kebodohan, tetapi harus terus menerus menyelesaikan pemaknaan.
Pola nalar cerpen ini berada di tepian yang genting, yang selalu mondar-mandir di antara penalaran ketat konseptual-filosofis dan penggambaran naratif-imajerial dunia pengalaman, yang ambigu, senantiasa mengalir (flow logic) dan tak pernah sepenuhnya terumuskan. Dan Algebra mampu meramu kedalaman konseptual abstrak-nya dengan peristiwa-peristiwa kecil konkrit yang terus bermunculan; juga mampu memberi umpan pemikiran sekaligus menyentuh imaji dan perasaan.
Cerpen ini—meminjam kalimat Mas Bambang kepada Kakek Tua Goen—adalah kemanusiaan yang resah, yang terus menerus memperkarakan dirinya, yang terus menerus hendak melihat kompleksitas kehidupan, di hadapan kecamuk politik, agama, sains, budaya, atau apa pun juga; suara manusia yang kodratnya serba tak pasti, yang setiap kali berani menafsir ulang sejarahnya serta merelatifkan pemikirannya sendiri, terutama di saat “ajaran lama megap-megap tertimbun ribuan kata dan makna yang bergerak cepat, berubah cepat.”[Goen: Pengebom]
Dan barangkali klaim Algebra tak sepenuhnya salah, karena dalam cerpen ini, peristiwa-peristiwa konkrit lantas berfungsi sebagai lubang kecil untuk setiap kali mengintip persoalan-persoalan besar kemanusiaan sepanjang peradaban, persoalan yang kerap berulang, dan barangkali memang kekal sebagai Perjamuan Terindah Sepanjang Masa(?)
---JaDe---
Jakarta, 13022013/20022013
Read More...