25.7.13
Membongkar “Campur Tangan Tuhan” dalam Cerpen Haz Algebra
Oleh:
Javid Deo
A N T A R A N
Sebuah
toko buku, pada barisan buku-buku sastra. Ketika itu saya hendak mencari bacaan
untuk sedikit berkontempelasi di waktu senggang. Dan buka demi buka, pencarian
saya tertahan pada sebuah Kumpulan Cerpen dan Puisi bersampul ‘manekin’ yang
memakai setelan jas rapi dengan bentuk kepala serupa dinamit pada latar warna
putih.
Bungkusannya
saya buka (tentu saja dengan seizin penjaga). Lalu baca demi baca, sebuah
cerpen berhasil mengaktifkan sensual
pleasure of reading[Barthes] saya untuk terus melakukan
pembacaan terhadapnya—tatkala saya menemukan banyak pengaruh filsafat dan
bahasa simbol di dalamnya. Dalam situasi macam itu, saya merasa waktu dan ruang
(di toko buku) tidak cukup untuk melakukan invenstigasi lebih jauh. Saya harus
membawanya pulang. Saya putuskan untuk mengorbankan cokelat dan bunga valentine untuk pacar saya, dengan
membeli buku itu.
Ruang
kamar. Buku-buku filsafat sudah tersusun di atas meja. Saya duduk menghadap
laptop, dan tangan saya menggenggam “AMARAH”.
Cerpen
yang membuat saya bertapa di malam kasih-sayang itu adalah karya Haz Algebra,
yang berani mengklaim isi ceritanya sebagai “Perjamuan
Terindah Sepanjang Masa”. Tentu saja itu hanya klaim. Apalagi ketika
Algebra menggunakan “tuhan” (di tulis dengan “t” kecil) sebagai tokoh utamanya.
Karena saya yakin pula, bukan buku ini yang telah mendapatkan anugerah International Best Seller itu.
Baiklah.
Saya menulis tulisan yang belum tulisan ini bukan sebagai resensi atas buku
“AMARAH” yang dahsyat itu. Bukan pula niat saya untuk tujuan promotif—meskipun
saya bukan pesulap yang harus berkata kepada Algebra, “Kita belum pernah kenal
sebelumnya, kan?”—melainkan sekadar racauan (untuk tidak mengatakan ‘tafsir’)
atas pembacaan saya terhadap cerpen Haz Algebra itu. Dan sebagai racauan, tentu
saja tulisan ini berpotensi melemahkan muatan dalam cerpen itu, dan sebenarnya
tak teramat dibutuhkan serta bisa dilewatkan.
R A C A U A N
Pada mulanya adalah teks.
Ah, sudahlah. Saya memulai pembacaan saya pada bagaimana Algebra melakukan
proses transisi metafora dari abstrak ke konkrit (the logic of concrete)[Strauss], yakni dari
ide/gagasan/konsep ke dalam struktur teks (latar, alur, tokoh, dll) dalam
cerpennya.
Sebagai
salah satu cerpen yang terangkum dalam buku antologi hasil perlombaan, saya
menemukan pada ilustrasi sampul belakang “AMARAH” bahwa ide dasar pembuatan
semua karya dalam buku itu ialah amarah terhadap ke-bhinneka-an Indonesia yang tidak lagi tunggal-ika(?)
Dari
situ akan muncul variasi perspektif ihwal diskriminasi, marginalisasi,
kekerasan atas nama agama, cinta tapi beda dan berbagai ketimpangan-ketimpangan
sosial lainnya dalam konteks masyarakat plural di Indonesia.
Algebra,
dalam cerpennya tampak mengambil varian kekerasan atas nama agama sebagai ide
dasarnya. Dan jika agama berafiliasi dengan Tuhan, dapatkah kita mengatakan
bahwa tindak kekerasan atas nama agama tidak lain adalah tindak kekerasan atas
nama Tuhan?[Armstrong]
Darinya
Algebra menkonkritkan ide itu dengan (mengambil resiko) mempersonifikasi Tuhan
sebagai tokoh utamanya. Namun itu sah-sah saja menurut saya, karena bukankah
Tuhan telah mempersonifikasi diri-Nya sendiri secara dialogis dalam bahasa
manusia (Kitab Suci) tatkala Ia memperkenalkan diri sebagai “Aku”?
Gagasan
yang sangat klasik. Tapi untuk lebih menghidupkan gagasan itu, Algebra
menciptakan latar dua dunia. Kita sebut saja, dengan meminjam istilah Plato: dunia idea dan dunia fisika; di mana Algebra menceritakan bagaimana kehidupan
Tuhan di dunia idea dan bagaimana
Tuhan dihidupkan di dunia fisika.
Sekilas
tampak kontradiksi memang ketika proses mengkonkritkan ide dengan memakai latar
dunia idea pula. Akan tetapi, di
sinilah letak keunikannya ketika Algebra mereduksi deskripsi dunia idea Plato dengan narasi a la alam bawah sadar Freud yang
sederhana tapi penuh intrik, antara tokoh “tuhan” dengan tokoh lain: “Para
Penulis”.
Pada
alur, cerita Algebra bermula dari dunia
idea, yang ia sebutkan sebagai “Hari Keenam –yang bukan hari keenam kita–”.
Alur tersebut terus maju membawa kita membaca alur penciptaan seperti dalam Bible pada Bab Kejadian, tapi dengan
perspektif berbeda.
Dan
ketika cerita sampai pada “Hari Ketujuh,” di mana cerita semakin menanjak
mencapai klimaks, tiba-tiba terjadi patahan alur sebelum anti-klimaks. Algebra
dengan cerdik mengejutkan kita dari dunia
idea—seolah-olah menyadarkan kita dari mimpi-mimpi bawah sadar—untuk
kembali melihat fakta di dunia fisika.
Ia,
dengan nada sendu, mengajak kita untuk kembali pada “Hari Pertama,” yang tidak
lain, katanya, adalah “–hari pertama kita.” Semacam nostalgia, tapi bukan.
Lalu makna.
Seluruh struktur jalinan teks yang kering dan literal dalam cerpen Algebra
membentuk semacam sistem tanda, maka tugas saya sebagai pembaca ialah melakukan
investigasi terhadap deep structure-nya[Strauss].
Tapi cukupkah dengan mengatakan cerpen itu pada dasarnya hanya bercerita
tentang kekerasan atas nama agama, lalu selesai?
Saya
pikir tidak. Setiap karya yang berdimensi filsafat memiliki potensi pencerahan
yang ingin menerangi pikiran dan menyapa hati para pembacanya. Dan untuk cerpen
ini, saya berasumsi bahwa Algebra mencoba merumuskan makna pengalaman yang
kerap terlampau pelik dan kompleks untuk dirumuskan—lewat simbol-simbol yang
“asal-comot” sana-sini, seolah-olah ingin menyampaikan dengan tidak terus-terang
tentang sebuah perspektif “campur tangan tuhan” dalam fenomena tindak kekerasan
atas nama agama, bahkan barangkali, melampaui ihwal itu.
Saya
berasumsi pula, cerpen ini lahir dari ruang privat yang penuh nuansa
kontempelatif, sehingga dibutuhkan active
power of reader[Barthes] untuk menggali kembali setiap
lapisan-lapisan tak sadar di balik struktur bahasanya, yang melacak jejak makna
purba di balik kata-kata dan dengan itu mengubah cara kita berpikir dan merasa.
Tengoklah
tatkala Algebra menggambarkan karakter tokoh tuhan sebagai sosok multi-talenta
yang “ambisius dan narsis,” lalu dikritik oleh tokoh Para Penulis dengan
ungkapan “…terlalu. Huh!”[Rhoma?]
Ada
pula istilah “roti dan anggur” yang dikambing-hitamkan sebagai penyebab
kematian tuhan. Tapi kemudian Tuhan seolah hidup lagi dan ‘dituduh’ mengambil
“daging dan darah” para korban pemboman di rumah-Nya sendiri.
Yang
saya tidak habis pikir, kenapa pula tokoh tuhan harus dipertentangkan dengan
Para Penulis? Siapakah yang dimaksud dengan Para Penulis itu, para Nabi-kah
atau para Malaikat-kah? Tapi mengapa pula Para Penulis digambarkan “dengan
setelan jas rapi juga safari”? Apa hubungannya antara berebut tulisan tuhan di dunia idea dengan peristiwa pemboman
rumah ibadah di dunia fisika? Jika
kedua dunia itu berhubungan, lalu siapa sebenarnya yang menyebabkan terjadinya
kerusakan di dunia fisika, tuhan-kah
atau Para Penulis?
Oke.
Mari kita coba racaumatiskan sistematiskan segala macam kekacauan ini.
Begini: diceritakan pada “Hari Keenam,” tokoh tuhan sedang mempersiapkan
dirinya untuk menjadi ‘penulis’ terkenal setelah di hari-hari sebelumnya ia
sudah terkenal sebagai ‘pencipta,’ ‘pengatur,’ ‘penginspirasi,’ ‘pecontoh,’ dan
‘penyembuh’(?) Di sinilah kemudian tokoh Para Penulis muncul dengan amarahnya
hingga berencana membunuh tuhan.
Pada
bagian ini, tuhan digambarkan sebagai tokoh penuh ambisi yang ingin menguasai
segalanya, sedangkan Para Penulis digambarkan sebagai pihak yang marah karena
merasa terganggu dengan perilaku tuhan yang seenaknya saja itu. Tokoh tuhan
semacam sosok totalitarian yang mapan (ia adalah segalanya, segalanya adalah
ia), sementara Para Penulis terpahami sebagai “yang-lain,” yang ingin membela
eksistensinya.
Pada
bagian “Hari Keenam Malam,” pemahaman kita terhadap tokoh-tokoh akan berubah
seratus delapan puluh derajat, di mana tuhan digambarkan sebagai sosok
sederhana yang “tanpa alas kaki,” sedangkan Para Penulis sebagai sosok yang
borjuis, “dengan setelan jas rapi juga safari”.
Jika
kita menafsir “jas rapi juga safari” itu sebagai busana yang biasa dipakai oleh
mereka yang duduk di pemerintahan (para penguasa), maka barangkali pertentangan
tuhan vs Para Penulis sengaja dihadirkan untuk menggambarkan kuasa yang selalu
tidak stabil. Bukankah ada istilah bahwa sejarah selalu ditulis oleh penguasa?[Marx]
Kita
lewatkan dulu ihwal sejarah, sembari menghadirkannya sebagai historitas dalam
teks. Sekarang timbul pertanyaan lagi, jadi di antara tokoh-tokoh itu, siapakah
yang sebenarnya ingin mempertahankan eksistensinya? Apakah Para Penulis yang
tak ingin ladangnya dikuasai? Ataukah tuhan yang ingin menuliskan sendiri “hikayat tentang dirinya ..,autobiografinya, karya-karyanya, sejarahnya dan segala yang melekat pada
dirinya,”
karena kecewa terhadap orang pilihannya yang berkhianat?
Tapi
malam “Hari” itu, ketika rencana Para Penulis sedang dijalankan, pemahaman kita
terhadap kedua tokoh itu kembali dijungkir-balikkan dengan penggambaran sosok
tuhan yang sombong (seperti tampak dalam khotbahnya), sedangkan Para Penulis
seolah tak sanggup berbuat apa-apa kecuali menunggu tuhan masuk dalam jebakan
“racun” mereka.
Meskipun
pada akhirnya rencana membunuh tuhan itu berhasil, akan tetapi tuhan tampak
menang dari katanya: “Dasar
pecundang. Jangan sebut aku tuhan jika aku tak tahu apa yang kalian pikirkan!”
Bahkan
kematian tuhan (terlepas dari apa yang membunuhnya: panah, pisau, pistol atau
racun) meninggalkan misteri pada secarik kertas yang bertuliskan: Terima kasih untuk roti dan anggur kalian.
Tokoh
tuhan mati setelah khotbahnya diinterupsi, tepat di “Hari Ketujuh”. Kemudian
adegan terus berlanjut dengan perkelahian di antara Para Penulis yang
memperebutkan tulisan tuhan dan berakhir dengan saling bunuh membunuh.
Akan
tetapi, ketika cerita tiba di bagian “Hari Pertama,” peristiwa saling bunuh
juga terjadi, seolah baru saja dimulai, di mana Tuhan ‘kembali hidup’ dan
‘dituduh’ sebagai biang keladi peristiwa itu: “Tuhan, apa salah kami hingga Kau meminta daging dan darah kami?”
“Hari
Keenam-Ketujuh” dan “Hari Pertama” adalah dua dunia yang berbeda—di mana yang
satu bersifat universal/transendental sedang yang lain
partikular/kasuistik—tapi berhubungan. Ketika di dunia idea Para Penulis marah dan membunuh tuhan, maka di dunia fisika setelahnya, Tuhan seolah
marah dan kembali untuk melakukan ‘balas dendam imajiner’. Ketika dunia idea menandai kematian tuhan pada
misteri “roti dan anggur,” maka pada dunia
fisika kematian ditandai dengan jiwa-jiwa yang berlarian menanggalkan
“daging dan darah.”
Dari
sini, saya memahami bahwa kejadian dalam dunia
idea adalah penyebab tragedi dalam dunia
fisika. Sebagai sebab, “Hari Keenam-Ketujuh” menjadi sebuah masa lalu, dan
“Hari Pertama” sebagai akibat menjadi masa kini atau masa depan dari masa lalu.
Demikian halnya dengan metafora “roti dan anggur” yang bertransisi secara
konkrit sebagai “daging dan darah.” Jadi, sebenarnya struktur cerpen Algebra
itu membentuk sejarah kausalitas yang berdialektik[Hegel]; fenomena
di dunia fisika adalah bayangan dari dunia idea[Plato].
Tapi
muncul polemik baru ketika ternyata, struktur sejarah dalam cerpen itu tidak
berjalan dalam garis lurus, melainkan tumpang-tindih, aforistik dan arbitrer.
Cerpen itu tidak sepenuhnya menganut prinsip iluminasi Platonik atau dialektika
sejarah a la Hegelian melainkan juga
sejarah a la Derridian; meskipun
“Hari Pertama” merupakan kelanjutan sejarah atau masa depan dari “Hari
Keenam-Ketujuh,” tapi bukankah “Hari Pertama” juga merupakan masa lalu dari
“Hari Keenam-Ketujuh”?
Derrida
berkata, “Masa lalu menjadi the field of
trace, sabana yang dipenuhi oleh tapak kaki, yang di dalamnya
ketidakhadiran tersusun dalam sebuah jaringan kerja perbedaan dan penundaan (defferance)… Tak ada totalitas yang
hadir dalam kekinian.”
Bukankah
kekinian dan kesinian yang gelap pun ketika kita membayangkannya,
merekonstruksinya, merepresentasikannya, ia dengan tiba-tiba menjadi masa lalu
yang lain?
Dalam
cerpen Algebra itu, masa lalu juga merupakan ruang, yang sama dengan masa kini
maupun masa depan. Karena jika masa lalu bukan sebuah ruang, maka trace (dunia jejak-jejak) tak mungkin
ada di dalamnya. Dan semisal jejak-jejak itu tersilapkan, itu berarti ia tidak
ada, sebuah ketiadaan, sesuatu yang bukan apa-apa, yang tak berarti.
Itu
akan mengakibatkan kefatalan: tokoh tuhan sebagai totalitas atau kepenuhan dari
Yang Ada dalam cerita, pusat dari setiap lembar halaman, huruf dan kalimatnya,
yang merupakan eksterioritasnya, luluh lantak; tokoh tuhan hanya akan menjadi
masa lalu di “Hari Ketujuh”, menguap di kaca jendela dunia idea. Dan sebagai masa lalu, tuhan berada dalam sebuah labirin
waktu yang gaib, ia hanya terartikulasikan oleh masa silam dan tertuliskan di
dalamnya.
Akan
tetapi, tuhan yang terkurung dalam simbol itu menjadi labirin sekaligus
membentuk labirin yang di dalamnya termasuk keberadaannya sendiri, sebuah dunia
tak bergaris. Dan ia ada, hadir, atau setidaknya ia pernah ada atau hadir meski
kemudian terhapus atau tersilap.
Inilah
yang menyebabkan meski tokoh tuhan dikatakan “mati” di “Hari Ketujuh,” namun ia
(juga-sekaligus) ‘hidup’ di “Hari Pertama”. Terdapat ‘tepian’ yang genting pada
perpindahan alur dari “Hari Ketujuh” ke “Hari Pertama”; alur yang tidak bisa
dikatakan maju, tidak bisa pula dibilang mundur.
“…‘Tepi’
bukanlah batas…‘Tepi’ mengandung sesuatu yang sepi, juga menunjukkan keadaan
genting sebab siapa pun akan sendirian ketika ada pelbagai sisi yang dihadapi,
ketika seseorang tak berada di di satu pusat yang mantap. Bukan saja karena
terang dan gelap ada di mana-mana, tapi juga karena kedua-duanya mengandung
bahaya.”[Goen: Tepi]
Saya
menemukan adanya kemiripan deterministik antara tokoh tuhan dalam cerpen Perjamuan Terindah Sepanjang Masa itu
dengan tokoh utama novel Ts’ui Pen dalam Taman
Jalan Setapak Bercecabang karya Borges; pada Bab III, diceritakan Sang
Tokoh mati, tetapi pada bab selanjutnya ia hidup seperti sedia kala, bukannya
bangkit dari kematian, karena ia bahkan tak pernah menutup mata sebelumnya.
Sebagai
pecandu Zarathustra, saya menemukan
pula adanya pengaruh Nietzsche dalam prosesi pembunuhan tuhan dalam cerpen
Algebra. Bedanya, jika Nietzsche secara tegas mengatakan “Tuhan telah mati!”,
sedangkan Algebra hanya membunuh Tuhan yang sudah ‘dibonsai’.
“Mereka
mengecam berhala. Mereka mengecam doa yang membayangkan Tuhan sebagai…bonsai.
Berhala atau bonsai: sesuatu yang memikat justru karena diletakkan di sebuah
kotak yang tetap, seakan-akan hidup, tapi sebenarnya hanya Tuhan yang
diperkecil oleh manusia, sesembahan yang jauh dari hakikat Dia yang
maha-agung.”[Goen: Allah]
Saya
tidak pasti. Barangkali lebih jauh Algebra ingin menjelaskan ihwal konsep “tiada
tuhan selain Tuhan”[Cak Nur] lewat alur ceritanya. Tetapi saya juga
ragu. Jika itu menjadi solusinya, maka konsekuensinya adalah, Algebra telah
menghadirkan Tuhan yang demikian harus diterima dengan kebesaran sikap: apakah
“Tuhan akan lebih memunculkan kebaikan dari dalam kedurjanaan”[Augustinus]
ketimbang mencegah kedurjanaan terjadi?
Saya
menangkap semangat lain dari Algebra: Jika Tuhan kembali dibicarakan dalam
kekinian “Hari Pertama,” bukan berarti Ia hadir setelah kematian, sebuah
nostalgia narsisistik, atau ada setelah berakhir sebagai masa lalu “Hari
Ketujuh,” karena keberakhiran itu hanyalah sebuah rekayasa pelupaan (oleh Para
Penulis) terhadap Yang Ada dalam cerita.
Kembalinya
pembicaraan tentang Tuhan bukanlah bentuk ilusi pengalaman yang penuh bahaya
dan menegangkan, atau metafisika dari yang tiada. Melainkan sebuah operasi
penjejakan kembali dari Yang Ada Yang Hadir ke Yang Ada Yang Tidak Hadir[Heidegger],
dalam kekinian yang terus menerus, now
and here[Derrida], dengan jalan menghadirkannya kembali,
menampilkannya dari lipatan-lipatan, dan menyuarakannya dari kebisuan dan
ketertindasannya dalam kurungan berhala konsep buatan manusia.
Penghadiran
ini bukanlah dari ketidakhadiran karena ketiadaan, namun sebuah penyingkapan
tabir, pembukaan pintu-pintu dalam labirin, penyalaan seberkas cahaya lilin
dalam gelapnya relung kesadaran manusia.
Lebih
lagi jika berhadapan dengan hasrat manusiawi yang selalu merindukan titik pusat
yang stabil, sebuah jaminan, lewat pemahaman dan kejelasan. Kerinduan yang
mengingatkan kembali bahwa dirinya tak lebih dari segumpal darah, mani yang
kotor, Adam (tanah), pemenggalan
terhadap Latah, Uzzah, Whatan, dan Shanam yang ia bangun dari api
kesombongan.
Dengan
demikian, alur seperti itu mengandung kritik bahwa proklamasi keberakhiran
sejarah dan pembunuhan terhadap Tuhan hanyalah sebuah koar, yang terjadi
kemudian adalah tak lebih dari penyangkalan Malin Kundang kepada Ibu-nya.
Stop!
Apakah
pembacaan kita sudah selesai? Belum. Sistematika pembacaan yang berdekonstruksi
dan sedikit melebar seperti ini ternyata tidak mampu memberi jawaban yang bisa
dijadikan sandaran tentang bagaimana korelasi ‘kematian tuhan’ dengan ‘kematian
orang-orang di Rumah Tuhan,’ dan seperti apa gerangan “campur tangan tuhan” itu
terhadap fenomena sosial yang timpang. Maka saya harus membacanya kembali,
kembali membacanya, dan lagi.
Buku
demi buku mulai tak beraturan di atas meja. Saya akhirnya menemukan padanan
(yang saya rasa cukup untuk mendekati) cerita Algebra dalam keping-keping Caping Kakek Tua Goen: Darah.
Barangkali
“tuhan berlumuran darah,” “Para Penulis,” “jas rapi juga safari,” “roti dan
anggur,” “daging dan darah,” adalah bentuk-bentuk kritik simbolik Algebra pada
sistem yang mengatasnamakan dirinya “deliberative
democracy”[Habermas] atau ‘demokrasi rembukan’.
Akan
tetapi, di Negara yang mengalami banyak trauma semacam Indonesia, “Demokrasi
Habermas (itu) hanya akan tampak seperti sebuah ruang sidang yang bersih dan
rapi, jauh dari jalanan yang dihambat lubang dan reruntuhan.”
“...Dengan
darah yang tumpah kemarin,” kata Kakek Tua Goen, “bagaimana kita bayangkan
arena publik ini sebagai ‘demokrasi rembukan’..?” “...Dengan bekas luka yang
masih nyeri, tiap rembukan akan dilihat sebagai sekedar siasat.”
Algebra
seolah ingin menekankan “di sini,” bahwa di Negara ini, “konflik bukanlah
sesuatu (yang terjadi) di luar proses, bukan (pula) ‘kecelakaan’ (yang serba
kebetulan)”, melainkan keputusan dari suatu konsensus yang tidak pernah bulat.
“...Tidakkah kita harus selalu ingat bahwa ada
hal-hal yang retak dan runtuh dan darah yang mungkin tumpah, ketika konsensus
dibulatkan?”
Bukankah
“Politik, dalam arti proses, prosedur, dan prasarana (yang) mengatur kehidupan
bersama di sebuah negeri, tak selamanya hanya bersangkutan dengan negosiasi di
sekitar ruang dan bahan (“tanah” dan “air”, “roti” dan “anggur”), melainkan
juga dengan trauma (“daging” dan “darah”)”?
“…’Darah’
(memang) selalu menerbitkan imaji yang dramatis, apalagi darah yang ‘tumpah’.
Kata itu dekat dengan nyawa dan tubuh. ‘Darah’ yang tumpah berasosiasi dengan
luka, sengsara, resiko, bahaya, dan sengketa.”
Darah
juga adalah keputusan. Dan “Keputusan:…, mengandung kata dasar ‘putus’ :
sesuatu yang traumatis…saat manusia memutuskan adalah ‘saat kegilaan’.…Saat itu
‘gila’ karena meloncat ke dalam ketidakpastian. Ia subjek dari keputusannya,
tapi juga objek yang dibentuk oleh keputusan itu.”[Goen: Yakin]
Persoalan
yang mengganjal kemudian adalah, ketika merujuk pada sabda-sabda Kakek Tua Goen
di atas, dan melahirkan pamahaman bahwa demokrasi kita tak terpisah dari yang
namanya konspirasi, apakah kemudian fenomena “campur tangan tuhan” atas fakta
kekerasan atas nama agama itu, tidak lain hanyalah sebuah alibi?
Memang
benar bahwa Algebra bercerita tentang kekerasan atas nama agama, karena itulah
yang menjadi ide dasarnya. Akan tetapi, sepanjang pembacaan yang
berulang-ulang, saya tidak menemukan Algebra memvonis satu agama pun sebagai
pelaku kekerasan, juga tidak mengatakan agama mana yang merupakan korban
kekerasan.
Lihatlah
tatkala Algebra menuliskan “Rumah Tuhan” yang dibom itu; sepintas barangkali
kita sudah curiga bahwa yang dimaksud dengan Rumah Tuhan itu adalah Gereja.
Akan tetapi, jika maksudnya seperti itu, benarkah orang-orang ketika beribadah
di dalam Gereja, “Ada yang
berdiri mengadah, ada yang duduk bersila, dan ada yang bersujud pasrah”?
Saya
lalu teringat dengan cerita epiphany
tentang: Yakub yang terbangun dan menyadari bahwa tanpa sadar dia telah
bermalam di sebuah tempat suci di mana manusia bisa bercakap-cakap dengan tuhan
mereka, “Betapa menakjubkan tempat ini! Ini tak lain adalah rumah Tuhan (beth El); inilah pintu gerbang surga.”[Armstrong]
Jadi,
barangkali Rumah Tuhan yang dimaksudkan Algebra tidak hanya menunjuk pada
Gereja sebagai Beth El (pintu gerbang
surga, Bethlehem), tapi juga dalam terminologi Islam disebut Baitullah (Rumah Allah/masjid/tempat
bersujud), maupun kuil-kuil Pagan dalam kebudayaan Babilonia yang disebut juga Bab-ili (Gerbang para dewa).
Sehingga
dengan pemaknaan seperti itu, konteks Rumah Tuhan barangkali dapat
dipertanggungjawabkan dalam hubungannya dengan orang-orang “yang berdiri
mengadah, yang duduk bersila, yang bersujud pasrah.” Bahkan jika kata baitullah dan masjid (tempat bersujud) dielaborasi lebih jauh, maka kita akan
menemukan keluasan bahwa Algebra tidaklah menunjuk suatu tempat ibadah
tertentu, melainkan di mana saja di seluruh permukaan bumi (bumi tempat
bersujud).
Demikian
halnya dengan tuhan yang menjadi martir perebutan tulisan. Algebra tidak secara
spesifik melukiskan konsep tuhan dari sebuah agama, tetapi karakter tuhan
Algebra ini adalah perpaduan sedemikian rupa yang “comot-sana-sini” antara
karakter tuhan dari berbagai agama dan orang-orang yang diteladani sepanjang
masa. Di sana, jika jeli membaca tingkah dan proses dialognya, akan ketemu
dengan beragam karakter tuhan mulai dari Kristen, Islam, Yahudi, sampai pada
tokoh semacam Nabi Muhammad, (Isa Al Masih) dan Ali bin Abi Thalib.
Oleh
karenanya, Algebra ingin mengatakan bahwa kekerasan atas nama agama bisa datang
dari mana saja, oleh siapa saja, dengan korban yang beragam pula (tanpa
memandang SARA, sekte, mazhab, aliran, dsb). Dan untuk itu, Algebra lebih
menyalahkan sistem yang mengatur kehidupan bermasyarakat dalam sebuah Negara.
Sistem yang telah membunuh kebenaran, hingga berakibat pada terjadinya
ketimpangan-ketimpangan sosial semacam itu. Apakah Algebra sedang berbicara
tentang ‘teologi pembebasan’?[Weber, Hannafi]
Lalu
bagaimana dengan kata “perjamuan,” “ pengkhianat,” “panah,” “pisau,” “pistol,”
“racun,” “tulisan tuhan,” “sastra terbaik sepanjang masa,” “khotbah hari
keenam,” “penulis senior,” “jiwa-jiwa yang terbang, berlarian dan telanjang”?
Huft…!
Cerpen ini ibarat dunia yang telah menjadi sekedar kumpulan huruf-huruf, kata,
kalimat; sebuah ruang yang ditengah-tengahnya berdiri cermin-cermin raksasa
yang memantulkan masing-masing cermin itu secara tak berhingga, berjejal, hiruk
pikuk, semrawut, dan cerai berai. Huruf, kata dan kalimat itu pun adalah bentuk
dunia sendiri-sendiri, dimana “The Truth”
sengaja diletakkan dalam tanda kurung dan garis silang, sementara saya sudah
kelelahan dalam keasyikan menulis dan melantunkan kalimat-kalimat racauan.
Hal
yang relatif pasti: begitu banyak paradoks, ambiguitas dan ambivalensi dalam
pembacaan kilat terhadap cerpen Algebra itu, karena simbol-simbol yang
dihadirkannya saling bersilang-singkarut, berhamburan, dan tak menetap pada
satu titik makna.
Simbol
demi simbol dalam ruang baca menjadi makna demi makna yang berubah-ubah seiring
waktu pembacaan. Dari sini, pantaskah kita menuduh Algebra sebagai cerpenis
yang menggunakan intellectual gimmick
(tipu muslihat intelektual) yang tidak berisi selain permainan kata-kata?
Seluruh
pertanyaan (yang tak terjawab dan tak) tersebut harus diajukan secara
berhati-hati, sebab jika tidak, kita akan tergoda untuk menemukan sebuah
jawaban, sebuah pharmakon, yang daya
sembuhnya sama dengan kekuatan membunuhnya.
Akhirnya saya menyerah,
meski pembacaan saya untuk membongkar “campur tangan tuhan” ini belum selesai.
Karena pada awalnya, Algebra sudah mengingatkan saya bahwa “tuhan” pun “sedang duduk merenung memikirkan tulisannya yang belum
selesai.”
Dan
“Entah siapa yang menang, entah
siapa yang kalah. Tak tau siapa yang bersedih, dan siapa
yang bahagia.” Selalu saja tak ada makna definitif dalam sebuah
cerita. Dan barangkali, saya tidak akan pernah memperoleh makna yang sama
ketika membaca cerpen ini untuk kedua kalinya. Apalagi jika alasannya tak
sederhana: “Bab terakhir telah
sobek.”
S I M P U L A N ?
Membaca
cerpen Haz Algebra ini seperti bertamasya tak henti-henti dengan kaki pincang di
dalam taman jalan setapak bercecabang.
Begitu banyak labirin yang harus dilalui, begitu sedikit rambu yang ia berikan.
Kita seperti tak akan pernah sampai ke pusat makna dan maksudnya. Atau seperti
kata Algebra sendiri dalam sebuah puisi: sebuah
perbendaharaan tersembunyi di ujung labirin; ada pintu-pintu tak berujung yang
menanti ketersesatan, ada bentangan sarang laba-laba yang terjalin halus namun
rumit.
Barangkali
banyak yang akan meragukan, banyak yang menyerah, dan banyak yang memalingkan
wajah. Banyak pula yang menunda pemaknaan, bahkan banyak yang memuaskan diri
lalu tenggelam dalam larutan kesadaran palsu, dan ada pula yang bisa jadi gila
karenanya. Itu semua membuat kita tegang, tetapi asyik. Membuat kita minder dalam
kebodohan, tetapi harus terus menerus menyelesaikan pemaknaan.
Pola
nalar cerpen ini berada di tepian yang genting, yang selalu mondar-mandir di
antara penalaran ketat konseptual-filosofis dan penggambaran naratif-imajerial
dunia pengalaman, yang ambigu, senantiasa mengalir (flow logic) dan tak pernah sepenuhnya terumuskan. Dan Algebra
mampu meramu kedalaman konseptual abstrak-nya dengan peristiwa-peristiwa kecil
konkrit yang terus bermunculan; juga mampu memberi umpan pemikiran sekaligus
menyentuh imaji dan perasaan.
Cerpen
ini—meminjam kalimat Mas Bambang kepada Kakek Tua Goen—adalah kemanusiaan yang
resah, yang terus menerus memperkarakan dirinya, yang terus menerus hendak
melihat kompleksitas kehidupan, di hadapan kecamuk politik, agama, sains,
budaya, atau apa pun juga; suara manusia yang kodratnya serba tak pasti, yang
setiap kali berani menafsir ulang sejarahnya serta merelatifkan pemikirannya
sendiri, terutama di saat “ajaran lama megap-megap tertimbun ribuan kata dan
makna yang bergerak cepat, berubah cepat.”[Goen: Pengebom]
Dan
barangkali klaim Algebra tak sepenuhnya salah, karena dalam cerpen ini,
peristiwa-peristiwa konkrit lantas berfungsi sebagai lubang kecil untuk setiap
kali mengintip persoalan-persoalan besar kemanusiaan sepanjang peradaban,
persoalan yang kerap berulang, dan barangkali memang kekal sebagai Perjamuan Terindah Sepanjang Masa(?)
---JaDe---
Jakarta, 13022013/20022013
5 Comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Sumber : http://filsafat.kompasiana.com/2013/02/20/membongkar-campur-tangan-tuhan-dalam-cerpen-haz-algebra-530505.html
BalasHapusjudi online
BalasHapusagen judi online
bandar judi online
situs judi online
web judi online
website judi online
judi bola online terpercaya
judi online bola
judi casino online
judi online casino
taruhan bola online
pasaran bola
pasaran judi bola
pasaran bola liga inggris
pasaran bola liga champion
togel
togel singapura
togel sgp
togel4d
judi togel
togel online
judi online
BalasHapusjudi online indonesia
Sbobet Mobile Login
taruhan bola online
judi bola online resmi
situs judi bola resmi
judi bola
88tangkas
wap sbobet
sicbo online
dadu
dadu online
judi dadu
link alternatif potato777
potato777
potato777 login
potato777 com
potato777 sbobet
potato777 mobile
www potato777
potato777 wap
potato777 asian handicap
wap potato777
bola88
bola 88
link alternatif bola88
situs judi bola
agen judi bola
judi online terpercaya
taruhan bola online
fun88
m88asia
betfortuna88
artikel tentang bola
BalasHapusartikel tentang bola
artikel tentang bola
artikel tentang bola
artikel tentang bola
artikel tentang bola
artikel tentang bola
artikel tentang bola
Postingan yang sangat bermanfaat gan , jangan lupa kunbal yah , sukses selalu ^^
BalasHapusDomino QQ
Domino 99
Capsa Susun
Adu Q
Sakong Online
Bandar Poker
Bandar Q
Poker Online
agen poker
situs poker
dominoqq
domino99
bandarq
kiu kiu
qiu qiu