SADJAK DJEDJAK

"Kita hidup tidak hanya dengan roti saja... metafora juga merupakan sumber nutrisi bagi kehidupan."

12.4.11

Tentang Tanda Kurung






Namamu Salva, ‘kan? Mahasiswi jurusan sastra semester dua di sebuah universitas negeri di Jawa? Iya, aku masih ingat dengan jelas profilmu itu. Pastinya. Otakku masih menyimpan memori tentang episode pertemuan kita yang tayang di persimpangan jalan, beberapa silam. Tapi kakak panggil aku Van-Van saja, ya… -Pintamu waktu itu. Aku tersenyum seraya berkata, -namamu unik dan lucu kedengarannya. Lalu kau menjelaskan bahwa di rumah panggilanmu adalah ndu’, kadang juga dede’ yang artinya adik tersayang, -tapi kalau di facebook namaku jadi Salva Sadja- kau menambahkan lalu tersenyum simpul malu-malu. Ah, senyum itu manis sekali. Kuakui itu. Mata hati estetikaku tidak mampu berkelik.

Polos, tapi cantik. Itulah kesan pertama yang kau tampilkan ketika kita pertama kali bertemu di dunia riil. Dunia yang tak bisa kau hindari karena ragamu dibatasi ruang berdimensi terbatas indra. Berbeda ketika kita hanya berjumpa di dunia maya lalu berlanjut dengan saling mengirim pesan penuh abstraksi. Begitulah dunia tanpa prolog. Kau bisa saja menipuku dengan berbagai karakter yang ingin kau perankan –di sana. Tapi, (maaf) tidak di sini.

-

Di sebuah kedai kopi, kita melanjutkan adegan perjumpaan kita –setelah melalui sekian janji yang tertunda- tanpa skenario apapun di awalnya. Kita membiarkan segalanya berjalan secara aforistik, arbitrer –acak dan sewenang-wenang.

Lalu kita memilih duduk di pojok ruang berwarna senja. Remang cahaya interior itu seolah menyatu dengan suasana eksteriornya, yang juga sedang senja. Di dinding ruang itu terpampang poster-poster warna sephia sekira berukuran jendela. Poster mereka yang di sebut-sebut sebagai para tokoh aufklarung –para pencerah. Ah, keningku mengerut. Apalagi ketika kulihat sosok Rene di sana; orang yang pernah ku vonis –dalam skripsiku- sebagai biang keladi dunia medis keluar dari rel-nya.

Kupalingkan wajah. Dan arah monitor kini kuseret ke wajah lain, wajahmu. Tapi hanya memantul, lalu mataku kembali melayang ke deretan poster itu. Kudapati para profesor-profesor postmodern di sana. Aku tersenyum sendiri. Begitu juga pada beberapa gambar iklan kuno. Entah kenapa gambar-gambar itu berubah jadi eksotis dan mahal, apalagi dengan lighting remang berwarna lembut. Padahal ini bukan pertama kali aku berkunjung dan menatapnya.

Huh, batinku sulit menipu diri bahwa aku melihat gambar-gambar tersebut hanya sebagai upaya mengusir kegelisahan saja. Gelisah karena bingung bagaimana harus bersikap menghadapi wanita di hadapanku -kamu.

Entah berapa lama aku membuat suasana bernuansa hening. Tapi aku terlunta-lunta dalam kebingungan, ketidakpastian, dan kebimbangan tentang harus memulai dari mana, Menjual ‘kecap’ layaknya seorang politisi? Ataukah bersikap normatif dan menjaga kesopanan? Aneh. Jujur dalam hatiku, saat itu aku ingin bersikap tidak santun padamu. Kamu cantik. Mata hati estetikaku kembali berbisik –meyakinkanku sekali lagi.

Nuansa begitu kaku. Melihatmu juga mengamati gambar-gambar itu. Aku menangkap idea dari ekor mata lentik untuk memulai perbincangan dari para wajah yang terpaku di interior kedai kopi itu. Dan ternyata di balik kepolosan citramu, tersimpan kedalaman mempesona. Kau juga mengenal mereka. Spontan akhirnya kita berbicara tentang beberapa karya mereka yang terkenal, pemikiran-pemikiran mereka, dan gosip-gosip di seputar kehidupan mereka.

Sembari Hot Cappucino dihidangkan kita bertatap mata sambil tertawa. Tawa memang ampuh untuk mencairkan suasana. Hingga beberapa waktu, sudut pandang kita bertemu di satu titik fokus, dan (lagi-lagi) hening … kurasakan energi sekonyong-konyong mengaliri jemariku. Bukan, bukan ke jemari. Mungkin ke hati. Entah. Tapi senyatanya jari-jari itu sudah menggenggam jari-jarimu yang lembut bias cahaya.

Di dalam dadaku seperti ada gurita yang menyemprotkan tinta adrenalin. Jantungku berdegup kencang, menguatkan hati siap menerima tamparan penolakan. Tapi anehnya, kau membalas dengan genggaman yang lebih dalam. Tidak hanya membalas, kau bahkan berinisiatif mengatakan : I love you. Dan… aku juga, Van –kataku membalas.

Kala itu, seperti ada misteri yang menakutkan tapi juga menakjubkan, seolah empat musim tiba-tiba hadir berbarengan dalam sebuah spasi di antara mataku dan matamu. Beragam rasa itu saling berbenturan: antara rasa sayang dan baru kenal, antara hormat dan nafsu, antara ingin merengkuh dan tidak ingin terikat.

Entah kenapa, kita berani melakukan kontak fisik dan menyatakan cinta tanpa memutuskan apapun. Melakukan kontak fisik tidak berarti cinta, atau sebaliknya cinta mengijinkan kontak fisik tanpa kejelasan status. Ada dimana cinta? Milik siapa? Mana batas dan perbedaan antara cinta, suka dan nafsu? Setiap kali memoriku berkanjang pada episode itu, aku merasakan sebuah tegangan tarik-menarik dan saling berbenturan dibalik kata cinta yang terucap.

Tetapi aku menyukai tegangan itu. Seksi sekali. Seperti kenikmatan kena strum listrik 5000 volt tetapi tidak mati, seperti pertemuan yang nyaris terjadi antara bibir dua kekasih wasktu tiba-tiba ibu sang kekasih masuk ke kamar dan menemukan mereka berdua dalam kondisi pakaian serba berantakan. Aku seperti berlayar di samudra yang ombaknya bergulung-bergulung tanpa tambatan pulau tempat kapalku berlabuh.

Akhirnya, kita pun secara tidak langsung bersepakat untuk -tidak bersepakat untuk membuat semacam relasi. Lalu, kita meneguk tetes kopi terakhir, dan beberapa waktu fisikmu juga ikut menghilang.

-

Tak terasa sudah dua tahun ini aku masih menangguhkan definisi cinta untukmu. Jika kau mengalikan dua tahun dengan angka 12, lalu kalikan dengan angka 30, lalu dengan angka 12, lalu 60, lalu 60 lagi. Maka kau akan bertemu dengan angka 31.104.000.000 milidetik di sana. Jika kusematkan simbol rupiah pada angka-angka itu, mungkin saat ini aku sudah kaya raya dan berhenti menangguhkan cintaku.

Kini, aku berada di kedai kopi ini lagi. Sudah sekira dua jam aku memandangi wajahmu di laptopku. Itu berarti kau sudah menambah lagi tabungan direkeningku, dan terimakasih untuk itu. Tapi cinta bukan rupiah ‘kan.. Tentu kamu juga tak setuju jika cinta bisa diukur dengan simbol-simbol materi.

Satu-satunya unsur materi dari cinta adalah tulisan -cinta- itu sendiri, yang kutuliskan dengan huruf tebal dan warna merah. Tapi aku kembali meragukannya, karena ia kutulis di suatu tempat yang tak seorang pun tahu, termasuk diriku, atau lebih tepatnya aku menjadi demikian sok tahu. Begitu banyak labirin yang harus kulalui, begitu sedikit rambu yang diberikannya, tapi cinta itu ada di sana. Entahlah.

Aku berulang-ulang mengambil cinta itu dari tempatnya yang sakral, meletakkannya di telapak tanganku; ku bolak-balik, kuraba, kuterawang, dan kucoba lihat jauh lebih dalam. Tetap saja samar, mengambang, tak ada kepastian seperti tanah yang bisa ku pijak, atau semacam tembok yang bisa kusandarkan punggungku padanya.

Setiap kali aku menyelaminya, dia semakin menjauh. Setiap kali aku berjalan mendekatinya, dia akan berlari begitu cepatnya. Tetapi proses itu memberikan rasa penasaran padaku, rasa penasaran terhadap sesuatu ‘di balik sana’ yang serba misterius dan muncul sebagai fenomena yang menampakkan diri.

-

Dalil cinta yang kucari dari sekian banyak pendalil tentang dirimu yang melekat padaku seperti halnya dialektika Hegelian, bersifat sintesis yang nantinya berubah lagi menjadi tesis lalu ada anti-tesis, dan memunculkan sintesis baru, begitu seterusnya. Tak pernah ada kesimpulan universal darinya. Karena jika dalil cinta sudah bisa kusimpulkan, maka cinta sudah berhenti pada titiknya. Itu berarti ia bukan lagi sebagai cinta.

Itulah kenapa aku tak mau terburu-buru memastikan statusku denganmu karena aku takut cinta yang sebenarnya belum mengeluarkan apa adanya dari dirinya -cinta tidak menjadi dirinya. Dan semisal cinta adalah unsur pembentuk manusia, maka membiarkan cinta tidak menjadi dirinya sama saja membiarkan manusia tidak menjadi dirinya sendiri. Aku tahu cinta yang sebenarnya masih bersembunyi dalam labirin teks yang tersusun dari lima huruf itu. Aku lebih baik menyelami dan menggali maknanya cinta tersebut, daripada terburu-buru memberimu kepastian.

Tetapi kalau pun aku harus membuat sebuah kesimpulan atas pengalaman cinta yang singkat itu, jawabannya adalah aku [mencintaimu]. Yah, aku harus meletakkan cinta itu dalam tanda kurung sambil terus menyelami konteksnya. Aku hanya bisa mengatakan aku menyukaimu, tetapi menjadikannya sebuah kepastian tampak sulit karena cinta itu seperti horizon. Aku akan terus [mencintaimu] hingga aku benar-benar mencintaimu. Hingga cinta itu bisa keluar dari labirin tanda kurung, hingga ia benar-benar telanjang dan bisa kuberi stabilo berwarna elegan, atau hingga cinta dalam tanda kurung itu terpaksa ku beri garis silang.

*

Sebuah reinterpretasi..
Comments
2 Comments