SADJAK DJEDJAK

"Kita hidup tidak hanya dengan roti saja... metafora juga merupakan sumber nutrisi bagi kehidupan."

6.1.11

Sebaiknya Tanpa Judul




-->
Hari ini adalah hari pertama ospek di kampusku. Banyak wajah-wajah baru dan segar yang kulihat di ruang mahasiswa baru berkumpul. Sebagai seorang senior, bahagia rasanya untuk menjajah mereka satu persatu seperti aku dulu ketika masih berstatus mahasiswa baru. Tapi kali ini, aku lebih tertarik untuk menjajah cami-cami (julukan untuk mahasiswa baru perempuan di kampusku).
“Hei, cami!” dengan mata melotot aku menunjuk seorang cami yang sejak tadi menarik perhatianku.
“Qita kak?”
“Iyo, ngana. Kamari dulu. Laju!”
Dengan wajah polos cami itu mendekatiku.
“Ada apa kak? Kiapa qita dapa pangge?”
“Badiam ngana. Ngana suka dapa bimbingan nyanda?”
“Suka kak?”
“Bagus. Kalo bagitu sabantar habis ospek ngana iko pa qita.”
“Siap kak!” tanpa banyak Tanya, cami itu menuruti apa yang aku minta.
*
Seminggu berlalu. Aku selalu mengajaknya jalan bareng. Dia mulai sok akrab padaku. Dia bercerita pada teman-temannya bahwa ia dekat dengan senior yang tampan. Aku menikmatinya saja. Dan kali ini aku membawanya ke tempat kostku.
Di sana aku menyetubuhinya. Dengan pasrah ia menyerahkan keperawanannya padaku di tengah sayup-sayup suara tv sebagai peredam erangannya yang mendesah keras.
Setelah kurenggut keperawanannya, aku bergegas mengajaknya pulang. Jujur saja, aku benci situasi ini. Aku benci harus berjalan bersama dengan wanita yang baru saja kehilangan keperawanannya.
Ia bertingkah manja, mengesalkan dan memuakkan. Seperti umumnya wanita yang kehilangan keperawanan, ia merasa telah memberikan segalanya sehingga aku harus menuruti semua keinginannya. Dan lagi, ia merasa bahwa aku memaksanya untuk bersetubuh.
"Kak mau tanggung jawab togh?" katanya dengan manja.
Apa? Ucapan itu membuat hatiku jadi alergi. Aku seperti diperkosa situasi. Dasar wanita sialan! Kalau bukan alkohol yang menyuruhmu untuk terlentang telanjang di tengah malam dan membiarkanku menggerayangi tubuhmu, pastilah Setan yang membujukmu.
Dan sekarang ia memaksaku untuk singgah di rumahnya.
“Makan dulu, kak.” katanya memberi alasan.
Sungguh memuakkan mendengar alasan itu karena aku tahu niat jahat yang hinggap di otaknya. Jahat, sangat jahat, seperti Setan sendiri yang berbisik kepadanya.
Lalu aku menyesal.
Aku menyesal karena ia tak secantik temannya yang ku ajak jalan kemarin malam. Aku menyesal karena ia masih perawan. Aku menyesal karena aku ingin meyetubuhi temannya yang lebih cantik itu.
Lalu kutinggalkan dia, dalam kecewa karena tak dapat menyetubuhi temannya. Kubuang nomor handphone-ku yang sebelumnya ada pesan masuk dari seorang teman.
“Bro, besok torang mo demo menentang aksi pornografi dan pornoaksi. Ngana jadi korlap!”
Lalu hari-hariku kembali seperti biasa sebagai aktivis organisasi. Menjenuhkan.

Comments
6 Comments