23.1.16
“Kau Tidak Menulis, Haz, Kau Berak!”
Oleh: Javid
D.
(Penikmat Sastra, cover desainer & illustrator Naskah Bunuh Diri)
Sapardi memiliki ‘Pengarang telah Mati’.
Seseorang yang namanya saya lupa juga punya ‘Matinya Pengarang Tersantun di
Dunia’. Lalu secara metadramatis, Algebra juga menulis tragedi saling bunuh
“Para Penulis” (bisa dibaca: Pengarang) pada resepsi kematian tuhan dalam ‘Perjamuan
Terindah Sepanjang Masa’-nya.
O, tuhan, apa yang telah terjadi? Pengarang telah mati, lalu kini ada ‘Naskah
(yang) Bunuh Diri’? Mengapa begini? Kepada siapa kami (pembaca) akan kembali?
O, saya lupa, Tuhan (juga) telah mati. O, betapa sedih…
Belanja Sampai Mati
Pasca drama pembunuhan Tuhan oleh
Nietzsche, seperti percepatan kemajuan sains dan teknologi, secara simultan
segala sesuatu yang selama ini merupakan elemen dasar kehidupan telah
dihancurkan, dan dunia berada dalam riam yang bergolak, stadium lima umwertung aller werte (transvaluasi
nilai besar-besaran), dalam suatu krisis tanpa tanding, krisis kematian segala
sesuatu—sedari komunikasi sampai politik, dari filsafat sampai ideologi,
bahkan, subyek (‘diri’ dalam pengertian psikologis maupun transenden) yang
mencipta segala kondisi itu juga telah mati, terkurung dalam hukum dan
diskursus ciptaannya sendiri. Kidung-kidung sedih ini pun diselingi dengan
nada-nada sinis, pesimistis, fatalis dan serba relatif dalam menjalani
kehidupan di era matinya segala sesuatu.
Di
dunia teoritik, kematian subyek—yang sekaligus menandai kematian kesadaran dan
kebebasan manusia—itu dikepung dari berbagai penjuru. Sebut saja di antaranya:
Psikoanalisis Freudian yang menyuarakan kepribadian subyek dikendalikan oleh
alam bawah sadar (bukan kesadaran), Behaviorisme yang memandang perilaku subyek
dibentuk oleh faktor eksternalnya, lalu Neurosains yang menunjuk lokus
“kesadaran” pada dasarnya merupakan fungsi dari neuron-neuron dalam sistem
saraf pusat yang sudah established. Adapula Strukturalisme yang meyakini
perilaku manusia merupakan fungsi dari struktur atau sistem yang
mengungkungnya. Dan yang terakhir yang tak kalah canggih berasal dari
Posmodernisme (atau sering disebut posmo, beserta gejala posmodernitasnya) yang
memproklamasikan matinya subyek, subyektivitas, kebebasan, dan juga kesadaran.
Bahkan, humanisme diramalkan telah mati.
Di
dunia riil tak kalah pelik. Gelombang kematian subyek tak terbendung lagi
tatkala sistem ekonomi dan politik yang mengatur hidup kita hanya menempatkan
manusia sebagai komponen-komponen atau komoditas-komoditas ekonomi dan politik,
sebagai manusia nomor-nomor serial, manusia angka-angka statistik. Kapitalisme
kontemporer yang menjelma konsumerisme habis-habisan mereduksi subyek (alias
manusia tadi) menjadi tak lebih dari robot-robot ekonomi yang terprogram dengan
baik, mengurung subyek dalam rutinitas semu pendulangan profit, dan terlebih
menyulap subyek menjadi pembela-pembelanya sekalipun sang subyek tersebut pada
dasarnya justru sedang dieksploitasi.
Subyek
dalam simulakrum (ruang simulasi tanda) konsumsi itu bukanlah representasi dari ‘Yang Ada Yang Absolut’, atau
diri an sich, melainkan citraan yang
terus menerus menyusun dan meluluhlantahkan bangunan kepribadiannya sendiri,
sebuah kondisi skizofrenik, yang menarik seluruh hak prerogatif diri sebagai
mainstream subyek sui generis dan
menjatuhkannya ke dalam locus of deepened
dependence, keterjeratan pada sarang laba-laba, istilah Asyhadie, di mana
benda-benda yang diproduksi dilahap tanpa jeda, dikunyah dalam sebuah
keterpukauan, gairah yang menyala, ekstasi tak bertepi, yang kadarnya semakin
lama semakin dipertinggi oleh lack,
perasaan yang terus menerus direproduksi oleh apa yang disebut Deleuze dan
Guattari sebagai mesin hasrat (desire
machine).
Bahkan,
tak sampai di situ, ketika dunia direlokasi pun ditransmutasi ke dalam bentuk
teks atau tulisan, tetap saja tak ada harapan yang menghembuskan napas bagi
subyek. Dalam ‘tradisi’ kepenulisan posmo itu, pengarang, the author, subyek juga dimatikan, hingga tak ada lagi ruang bagi ideologi, pesan, atau informasi dari
sebuah teks, hanya gelak komunikasi dan canda tanda. Jika selama ini teks,
buku, kitab, tulisan dianggap sebagai totalitas yang menyimpan transendensi
tertentu, kesucian, kebenaran dan keabadian, maka kini tulisan tak lagi
merupakan teritori tertutup, melainkan menjadi sebuah sabana luas yang terbuka,
tak seorangpun boleh mengklaim kepemilikannya, ia menjadi provinsi yang
senantiasa ternoda, ruang massa tanpa hak paten. Dan para pembacalah yang akan
melucuti setiap tulisan itu dari katedral suci dunia penciptaan atau produksi
dan masuk ke dalam kubangan konsumsi, dan seterusnya… kloset!
Lalu, masih adakah ruang bagi kita
membicarakan diri ‘yang hidup’, sosok subyek yang berkesadaran, wacana
kebebasan, autoritas ke-Aku-an seperti “aku berpikir maka aku ada”, ketika
segala sesuatunya telah dinyatakan mati?
Deretan
fenomena semacam itulah yang tampaknya ingin disuguhkan sekaligus digugat oleh
Naskah Bunuh Diri (2015), antologi 3
cerita dari Haz Algebra, seorang penulis muda dari Manado, yang
kemunculannya kembali di dunia sastra diam-diam menghanyutkan.
Pada
sebuah Warning di “Jalan Sunyi Sang
Naskah…Kepada Pembaca yang Berbahagia” ia memaparkan proses kreatif menulisnya
sebagai aktivitas ‘belanja tanda’ dari “sekian buku yang terbaca,” seperti
mengaminkan kata Barthes, bahwa “teks adalah
sebuah jaringan kutipan-kutipan yang diambil dari pusat-pusat kebudayaan yang
tak terhitung jumlahnya..,” atau apa yang disebut Julia Kristeva sebagai
intertekstualitas; atau dekonstruksi, kata Derrida. Maka ‘menulis’ pun kemudian tak lain dari sekedar
pembelanjaan dan pendekontruksian tanda dalam rangka bermain-main dengan tanda
itu sendiri, citraan dan medianya.
“Dilahirkan
di kedai-kedai Kopi tak suci… mulanya Sang Naskah hanyalah ide yang tunggal,
sederhana, dan kesepian… yang menampakkan diri setelah sekian buku yang
terbaca…,” demikian
bunyi kalimat Haz Algebra membuka Peringatannya (Naskah Bunuh Diri, hal. xi).
Kita
pun bisa mengautopsi ketujuhbelas cerita (yang sebagian besar pernah dimuat di
oase Kompas.com) yang dibaginya dalam
trinitas gelap-jeda-harap itu yang
mendapatkan bentuknya lewat strategi transposisi, yaitu pelintasan dari satu
sistem tanda ke sistem tanda lainnya, yang dalam perjalanannya—sepanjang
lintasan tersebut—satu atau sebagian sistem tanda yang digunakan meng-coup d’etat sistem tanda referensi yang
seringkali merupakan narasi-narasi besar (grand
naration).
“Tentang Tiga Monster dalam Tubuhku,”
misalnya, Algebra mengangkat tradisi Marxisme kemudian mengembalikannya ke asal
psikoanalisis Freudian lalu membunuhnya dengan pisau eksistensialisme. Bisa
jadi, Tentang Tiga Monster (TTM) juga merupakan kode untuk Tuhan Telah Mati
(TTM) dalam Tubuhku, seperti bentuk (bukan makna) ceritanya sendiri. Dan,
barangkali ini adalah kode awal untuk membaca seluruh cerita Algebra. Sebab
ketika “Tuhan telah mati,” kata Dostoevsky mengimprovisasi Nietzsche, “segala
sesuatunya diperbolehkan...,” dan ketika pengarang telah mati, bukankah berarti
segala tafsiran terhadap tulisan juga diperbolehkan?
Dari isu eksistensialisme itu Algebra
meneruskan ceritanya ke hikayat posmodernisme yang justru membahayakan
eksistensialisme itu sendiri. Salah satunya dalam “Syahdan, Pada Suatu Hari”.
Di sana, kita bisa memasuki dunia hibrida yang dibangun dari psikoanalisis
Lacanian dan larutan konsumerisme Baudrillard, tentang tokoh Aku (seorang anak
bernama Lakra; terdengar seperti dicomot dari kata ‘simulacra’) yang tak lagi
hidup dalam bayang-bayang sosok Bapak/Ayah (in
the name of Father, Superego),
melainkan terjerat dalam ruang konsumsi “dongeng pengantar tidur” yang
diciptakan oleh tokoh Ibu. Dan karena dorongan (penikmatan, Enjoy!, Jouissance) dari dongeng yang sengaja diulang-ulang, direproduksi
terus-menerus oleh tokoh Ibu, Aku menjadi kehilangan diri, bahkan menjadi
dongeng itu sendiri, lalu sang Aku menjadi pembunuh Superego, Ayahnya sendiri.
Dalam cerita itu, tokoh Aku mengafirmasi
subyek yang tak berkesadaran, dan selalu dalam kondisi penundaan makna diri. Ia
semacam “diri yang berkehilangan,” meminjam Lacan, yang selalu terdislokasi,
selalu retak, selalu gegar, dan selalu terbelah (sehingga selain nama Lakra, ia
juga punya nama lain: Lang). Subyek tak berkesadaran berarti pula tak bebas,
karena kondisi pasca hancurnya Superego/Bapak/Tuhan/Yang
Absolut itu harus ditebus dengan beban yang termanifestasikan dalam kerinduan
akan disiplin, yaitu disiplin dalam rangka memenuhi kewajiban untuk menikmati,
atau perintah untuk menikmati segala seluas-dalamnya. Seperti kata Zizek, “‘Enjoy!’
is superego,” seperti tokoh Aku/Lakra/Lang yang, hingga akhir cerita, terus
hidup dalam simulasi dongeng penghancur kesadaran yang diciptakan oleh sang Ibu
(Jouissance).
Cerita-cerita
Algebra itu terus bergerak membentangkan aforisme, berkelindan dengan
feminisme, menyuarakan kegilaan, perayaan kematian, absurditas, seksualitas
hingga spiritualitas. Dan buku ini, sekiranya sudah tak
menyisakan ruang bagi apa yang disebut kategori, genre, hingga jenis kelamin
sastra. Ia tidak mewakilii satu ‘tradisi’ apapun, tetapi tidak pula berdiri
pada semua ‘tradisi’. Ia, misalnya dapat dibaca (jika tak dianggap berlebihan)
sebagai cerita-cerita teosufi, metafisis, saintifik, filosofis, psikologis,
kriminologis, posdetektif dan tentunya semiotis, yang sudah dikomodifikasi.
Operasi menulis seperti ini tentu
saja meruntuhkan anutan terhadap diskursus universalisme Hegelian yang
menandaskan bahwa karya sastra (atau tulisan pada umumnya) adalah ekspresi diri
si subyek, karakter si pengarang, dan otentisitas sebuah karya diidentikkan
dengan ‘orisinalitas’ pemikiran sang pengarang, sang pencipta, sang pengkarya.
‘Kejeniusan’ Algebra dalam meracik tema-temanya mengukuhkan alegori: “tak ada
yang baru di bawah matahari”. Sehingga apa yang disebutnya sebagai “ide yang
tunggal, sederhana dan kesepian” itu, baginya dan bagi Barthes “sudah tak punya
tempat lagi”. Ia telah “membelah dirinya” dan berlari menjauh bahkan “mati”
bersama konsep “pengarang” yang muncul sejak Abad Pertengahan bersama semangat Cartesian
(melalui cogito ergo sum itu).
Tumpukan
Sampah Pasca Konsumsi
“(Sebab) kita terlahir di antara air kencing dan
kotoran.” –
St. Augustinus (Naskah Bunuh Diri, hal. 161)
Adalah tak mungkin, seseorang menulis
tanpa pernah mengenal tulisan. Sebab pada prinsipnya, seluruh tulisan merupakan
jelajah metamorfosa yang mengalami penambahan atau reduksi dari tulisan-tulisan
sebelumnya. Hanya ego pengarang saja yang menolaknya, menutupi proses kreatif
kepengarangannya itu dengan istilah-istilah orisinalitas, temuan, ilham, gagasan, atau suara-suara bawah sadar, seolah-olah tulisan yang dicipta begitu saja menyembul dari
ketiadaan.
Pramoedya Ananta Toer, yang masih
berstatus pengarang muda dulu (tanpa mengurangi rasa hormat) pernah dikatai
(untuk tidak menyebut dimaki) oleh Bung Idroes, tatkala karya-karya awalnya
dibaca oleh gurubesar sastranya kala itu. “Kau tidak menulis, Pram, kau berak!”
Begitu kata Bung Idroes.
Dengan locus dan tempus kasus yang
berbeda, seorang ‘pembaca budiman’ (dalam pengertian ‘pembaca yang menggunakan
kuasa rasio modernis’ sebagai hakim) bisa saja menggunakan pasal KTM-KB itu
untuk memvonis mati tulisan yang diracik dengan ‘gaya’ posmo. Apa sebab?
Operasi kebermainan dari pembelanjaan tanda yang ‘comot sana-sini’ dapat
berakibat pada ramuan tulisan yang disajikan seorang pengarang berakhir sebagai
‘gado-gado tanda’ yang mungkin saja sudah basi, tanpa kebaruan, tanpa karakter,
tanpa segala ‘tetek-bengek’ modernisme itu, kecuali permainan sisa-sisa sampah
dari apa yang telah dihancurkannya, dicernanya, dikonsumsinya.
Algebra pun terus mengafirmasi bahkan
lebih mempertajam kritik itu dengan caranya sendiri. Pada ‘wasiat terakhir’
dalam Naskah Bunuh Diri-nya, ia meramalkan kejatuhan tulisannya ke dalam
“tumpukan sampah sastrawi” dan menolak “diberhalakan”, yang tidak lain
merupakan bentuk akhir ‘ke-Aku-an’ pengarang sekaligus penyerahan anatomi teks
atau wacana yang tersaji secara teks keseluruhan kepada Sang Bahasa, dan atau
pembacanya.
Tapi mengapa pembaca yang dituju Algebra
bukanlah “kepada pembaca yang budiman” melainkan “kepada pembaca yang
berbahagia”? Apakah di era matinya segala sesuatu, tren ‘pembaca yang berpikir’
juga telah berakhir, disubstitusi oleh ‘pembaca yang sekadar menikmati’ bacaannya
dalam kebahagiaan seperti fenomena larisnya teks-teks dangkal (untuk tidak
menyebut buku-buku picisan) di toko-toko buku? Hal yang relatif pasti, Algebra
yang telah sublim sebagai hamparan teks itu tampak hendak merayakan ketubuhan
teks, kuasa tubuh (teks) dengan segala kepalsuannya sebagai subyek sekaligus
obyek konsumsi.
Pada
daftar isi kita bisa melihat wacana (baca: propaganda) ketubuhan yang masih
utuh tentang: kepala (otak,
intelektualitas), bibir (mulut,
oralitas), dan kelamin (seksualitas).
Tiga organ paling konsumtif dan terseksi, yang sekaligus menjadi tiga alasan
seseorang mau melakukan apa saja demi pemenuhannya, bahkan mungkin pula bunuh
diri karenanya. Siapa yang dapat disebut hidup atau ‘mampu hidup’ tanpa kepala
untuk berpikir, tanpa mulut untuk makan minum, tanpa alat kelamin untuk
orgasme? Dan siapa pula yang libido konsumsinya tidak bangkit ketika berpapasan
dengan keseksian sebuah pemikiran, kelegitan sebaris bibir dan atau kedalaman
organ seksual?
Di
sanalah kepalsuan itu diracik, dipoles dan dibumbui ilusi. Dialogisme, alegori,
dekonstruksi dan bahkan pastiche yang
saling bertaut tindih pada “Segulung Cerita Tua dalam Kepala”; erotisme
‘sufistik’ yang berkanjang “Di Bibirmu Bibirku Bersujud”; hingga penjelajahan
lorong-lorong ‘bio-filosofis’ dan spirito-seksualitas dalam “Fantasi dari
Negeri Kelamin”. Ada satu hal yang bisa kita tangkap di dalamnya; sebagai
fiksi, permainan-permainan tanda yang dihadirkan itu menampilkan dusta yang
padat meyakinkan sekaligus omong kosong maha besar yang memualkan—namun saking
memualkannya, sampai-sampai kita tak ada waktu untuk berpikir di dalamnya.
Kebohongan
itu, kepalsuan itu, akan membetot seluruh rasa lapar dan menggelitik gigi kita
untuk terus-menerus mengunyah, atau mungkin saja menelannya bulat-bulat, atau
mencernanya demi alasan kesehatan dan kemantapan performa tubuh. Namun, sebelum
santapan itu tandas, kita tersentak, karena bukannya mengenyangkan atau membawa
kesehatan, tapi malah membuat kita menderita sembelit!
Sampai
di titik itulah, di bagian akhir setiap pembacaannya, Naskah Bunuh Diri
menggugat dirinya. Ia seperti mencoba menghadirkan “subyek politik radikal
emansipatoris” (meminjam Zizek) yang di dalamnya sekaligus merupakan
keberadaannya sendiri. Subyek
final itu (yakni subyek final Hegelian yang dijungkir-balik oleh Zizek) ialah
subyek yang mampu melakukan tindakan-berlawanan dari kenikmatan belanja dan
mengonsumsi kebohongan-kebohongan absolut tadi; ia subyek yang hendak membuang
kesembelitannya akibat makanan pengetahuan yang mengisi ‘Jalur Sutra’
pencernaannya dengan mengakhirinya di dalam “Toilet Tempat Arwah Para Filosof”,
dengan cara: BNB (Buang Narasi Besar)... berak intelek!
Dengan kata lain, subyek final Naskah
Bunuh Diri adalah ‘subyek yang kosong’ pada dirinya, yang melalui kekosongannya
(peniadaan, negativitasnya, ‘bunuh diri’) itu, ia lalu memiliki kapasitas untuk
bertindak secara positif melampaui halangan-halangan simboliknya. Kekosongan
itu juga lalu menonjokkan rasa kosong kepada
penikmatnya—yang muncul sebab kita telah kehilangan kenikmatan kebohongan dan omong
kosong, dan melayangkan lambung jiwa kita serasa ke ruang udara hampa—seperti
tatkala membaca laku para Wayang yang bergerak-berlawanan dari Undang-Undang
Dalang dalam “Segulung Cerita Tua dalam Kepala”; seperti secangkir Kopi yang
rela mengosongkan dirinya dari segala macam substansi yang mengisi dan mewarnai
sejarahnya dalam “Di Bibirmu Bibirku Bersujud”; atau seekor Sperma Unggul dalam
“Fantasi dari Negeri Kelamin” yang menghendaki kehancur-leburan diri dan segala
riwayat kepercayaannya hanya demi sebuah verifikasi: perjumpaan dengan
kebenaran (jati diri).
---
PS:
Ketika teks terlahir, pembaca lahir,
pengarang mati. Ketika pembaca memproduksi makna, pembaca sekonyong-konyong menjelma
pengarang (makna) pula. Lingkaran ‘oksimoron’ pun terbentuk, seperti ular yang
menggigit ekornya sendiri. Dus, siapa pun, setelah mengarang risalah baca seperti
ini, akan layak turut ‘mati’. Maka tulisan ini juga tidak lain adalah senarai
upaya ‘bunuh diri’. Apalah itu, tak perlu sedih. Sebab ada pepatah: pembaca
menggonggong, pengarang berlalu.
-jd-
Desember 2015, Kota J.
(di
depan pintu sebuah toilet yang berisi seorang pengarang).
Sumber: suluttoday.com
0 Comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)