18.4.11
Filosofi 'Stand Up Comedy' Ala Raditya Dika
Ulasan ini saya copas dari twitter @radityadika (tanpa menambah ataupun mengurangi) karena tertarik dengan bahasan filosofisnya.
Mari belajar...
#
1. Kemarin gue sempet ngetwit ttg standup comedy, lalu setup dan punchline. Kalo yg belum baca, ada yg copy-in di: http://tiny.cc/6hnz8
2. Kalau kemarin lebih ke teknis, gue hari ini mo ngobrolin sesuatu yg lebih filosofis: sebenarnya, apa sih yang membuat kita tertawa?
3. Di bbrp bagian di buku The World as Will and Representation, Schopenhauer, seorang filsuf Jerman, mencoba jawab pertanyaan tersebut..
4. Menurut Schopenhauer, tertawa adalah sebuah respons yang datang dari sesuatu yang dibilang sebagai “the ludicrous”..
5.The ludicrous adalah ketidaksinambungan yg kita dpt di antara “representasi konseptual kita atas realitas” dan “realitas” itu sendiri.
6.Kita punya representasi konseptual atas apa pun yg kita alami. Misalnya sewaktu lagi naik bus..
7. Pas naik bus, ada konseptualisasi di kepala kita tentang bus itu seperti apa dan apa yg berhubungan dengan konsep2 di dalam bus..
8. Gak mungkin kita mikir akan ada penari telanjang di dalam bus, karena itu tidak masuk ke dalam representasi konseptual kita atas bus..
9. Nah, the ludicrous adalah ketika realitas punya konflik scr langsung dengan keseluruhan representasi konseptual yg ada di kepala kita.
10.Dan semakin kuat dan tidak terduga konflik konseptual ini, semakin heboh tawa si pembaca. Bingung? Kasih contoh ya..
11.Contoh paling gampang: Briptu Norman. Kita ketawa ihat Briptu Norman joget2 india. Kenapa? Mari coba kita jelaskan menurut Schopenhauer.
12.Karena konseptalisasi di kepala kita tentang polisi, adalah mereka adalah yg galak. Maka, ketika ada polisi yg joget2 India..
13..kita tertawa karena melihat ekspresinya yg lucu, dan kita tertawa dengan terbenturnya konsep bahwa ada polisi (brimob pula) joget India.
14. Kita bedah lg, ada dua kondisi: yaitu pas liat Norman sebelum joget (sebut saja pre-Caya) dan pas ngeliat Norman joget2 (post-Caya).
15.Di sini, semakin orang percaya dan nyaman dalam mengonsepkan pre-Caya, semakin tidak terduga dia bahwa akan ada post-Caya.
16.Maka, semakin tidak menduga seseorang akan terjadinya post-Caya, semakin besar pula tertawanya.
17.Contoh lainnya yang lebih lazim, misalnya tebak2kan: Tanya: Telur telur apa yg paling keras? Jawab: telurnya Malin Kundang.
18. Joke tadi (bisa aja) lucu, krn kita duga jawabannya tebak2an berhubungan dgn telur beneran, sesuai dgn konsep ttg telur di kepala kita.
19.Tapi, dgn jawaban tadi, hal itu membentur konsep kita akan telur, yg dimaksud "telur" yg lain, bawa2 Malin Kundang pula!
20. Menurut Schopenhauer, ada dua kondisi agar org ketawa: pemahaman atas suatu hal, dan pemahaman baru atas hal td dgn informasi tambahan.
21.Maka, orang yg ga paham bahwa konsep polisi itu tegas ga ketawa dgn Briptu Norman, krn di tidak tahu bahwa itu secara konsep berbenturan.
21.Maka, orang yg ga paham bahwa konsep polisi itu tegas ga ketawa dgn Briptu Norman, krn di tidak tahu bahwa itu secara konsep berbenturan.
22. Org yg ga tau siapa itu Malin Kundang, ga ketawa dgn tebak2an tadi. Karena dia tidak nangkep pergeseran konsepnya.
23. Makanya, kalo gak ketawa thd suatu jokes, jgn buru2 bilang gak lucu atau jayus, siapa tau lo gak ngerti konsep2 yg dia berikan. :p
24. Kalo mau disambungin sama twit gue kemaren, skema setup- punchline berkaitan erat dgn penjelasan Schopenhauer kenapa orang ketawa.
25.Punchline itu alat untuk perbenturan konseptual ini. Dan semakin kuat punchline-nya, semakin bergeser konsepnya, humornya semakin lucu.
26. "Membenturkan konsep" bagi komedian panggung butuh timing, attitude, build-up dan lain2. Tujuannya agar benturannya kuat dan org ketawa.
27. Kira2 segitu aja deh, penjelasan filosofisnya. Nampaknya di reply gue banyak yg bilang pusing. -___-
Sumber: @radityadika #15 Apr 2011
follow me @hazkopital
2 Comments