SADJAK DJEDJAK

"Kita hidup tidak hanya dengan roti saja... metafora juga merupakan sumber nutrisi bagi kehidupan."

8.5.11

FANTASIA





Cerpen Beni Setia (Jawa Pos, 17 April 2011)


0
KAMI dari Planet Muibi. Salah satu dari komunitas makhluk cerdas yang dikirim Dewan Pengetahuan Planet Muibi ke Planet X—yang diandaikan Planet Noyda. Planet yang terkubur dan ditinggal leluhur kabilah Ben Aineista, sama seperti ketika mereka meninggalkan Planet Tagja dan mengungsi ke Planet Muibi. Kronologi data dan fakta yang telah kami rekonstruksi, tapi belum jadi kesempurnaan karena Planet Noyda itu belum diketemukan, karena jejak peradaban awal belum diketemukan, serta sekaligus Peta Semesta—yang akan membawa kami ke Planet Azias—belum diketemukan. Kalau Planet Noyda benar-benar diketemukan, dan penggalian berhasil mernemukan artefak purbani itu, maka kami akan diserap emanasi balik atau terbang ke Planet Azias, tidak hanya pergi ke sembarang titik di luas semesta dalam hitungan detik dengan pesawat semesta dan teknologi warisan Ben Aineista.
Kami mendarat di Planet X—berharap semoga itu Planet Noyda.
1
SEHARUSNYA di hamparan fosil tunggul pohon pakis dan bakau itu: terkubur catatan itu. Di satu tempat di hutan homogen yang tumbuh di bibir rawa-rawa, ketika lumpur sulfur yang pekat berair memadat menimbun daun, ranting, serta batang yang rubuh terbakar. Di wilayah yang terkubur saat gunung Noyda, julang raksasa tunggal itu: meletus menebarkan magma dan debu. Lapisan sulfur yang jadi pengubur ladang pakis dan bakau setebal 1 kilometer, yang membuat daerah oloran hasil urukan alam sepanjang 212 kilometer dari garis awal pesisiran rawa. Di mana ikut terkubur dalam lumpur magma serta debu vulkanik—endapan yang mengekalkannya sebagai fosil—: reruntuk rumah pertama dari manusia pertama di Planet Noyda.
Meski sosok yang mahluk pertama tak mungkin akan pernah diketemukan tapi sekadar kuburnya pasti ada. Begitu manuskrip menandaskan ketika generasi ke-1054 mengungsi dengan pesawat raksasa yang berisi segala macam binatang dan tanaman, yang dicatat sebagai rujukan saat generasi ke-2011 mengungsi dari Planet Tagja serta mendarat di pesisir Wail—setelah tsunami besar itu. Dengan membawa fauna dan flora asli Planet Azias yang dibekalkan ketika manusia pertama diusir dengan nailk pesawat semesta, yang dipakai mengungsi lagi saat Planet Noyda hancur oleh erupsi Gunung Noyda. Setidaknya itu yang tertera di catatan generasi ke-2011 kabilah Ben Aineista—tertinggal di pesawat semesta itu terdampar di Wail. Terlupakan sekitar 12 milenium, sampai ombak dan abrasi selama 2.310.000 tahun pelan menggalinya: menghadirkan sejarah semesta ke mahluk Planet Muibi.
Kami menyebutnya teks catatan peristiwa banjir serta penyelamatan kehidupan itu: Manuskrip Wail—bukti sejarah semesta yang dimulai lagi di Planet Muibi. Lewat diskusi antar generasi selama 2.000 tahun, teks catatan itu bisa ditafsirkan dan sejarah semesta direkonstruksi dengan (sesungguhnya) memanfaatkan semua mitos, legenda dan kisah dalam teks kitab-kitab suci. Hal yang sejak 9 milenium terakhir hanya jadi kajian filologis yang tak memberi sumbangan apa-apa ke kemajuan ilmu pengetahuan Planet Muibi. Dengan rekonstruksi Planet Tagja ditemukan, bahkan dengan hipotesa—bila Planet Noyda diketemukan—bisa dipastikan, kalau pesawat hukuman dari Planet Azias itu mendarat di sekitar situs melakoni hukuman—ada pada lapisan tanah dalam ketebalan endapan x kilometer. Bukti arkeologis dari mitos yang dituturkan dari mulut ke mulut lintas generasi kabilah Ben Aineista itu ternyata ada dekat tempat komunitas pertama membangun peradaban—yang dihancurkan alam dan memaksa pengungsian.
2
SETELAH perdebatan lintas ilmu kami membuat rekonstruksi. Tersimpulkan di teks bersama, bahwa di masa awal di tengah semesta yang tercipta oleh Emanasi: tak ada angin. Bahkan di Planet Azias di antara perdu serta semak berbunga itu—dengan beribu kupu-kupu aneka warna—: tidak ada angin. Tidak pernah ada angin. Dan angin bangkit ketika Dengki Pertama marah karena Lelaki Pertama itu mendadak bisa tahu dan sekaligus hapal nama-nama benda yang ada di langit semesta dan hamparan datar Planet Azias. Angin yang pelan bangkit, melintas dan segera hilang, meski ada sempat mengusik helai rumput yang selalu setinggi dua ruas jari dari tanah lembut berpasir—sehingga di mana-mana tak ada lopak air tergenang.
Berminggu kemudian angin hanya gerak yang tidak diketahui siapa pun—meski dipastikan Rasio Emanasi tahu—, yang kian liat memanjang tidak ada habisnya, mulai menimbulkan desir di daun perdu, mengguyah bunga dan membuat kupu-kupu berlari menjauh. Makin keras ketika Dengki Pertama berbisik dan mendesis-desis (perlahan) memanggili Wanita Pertama dari pojokan laboratorium bio-kimia Azias. Merayu agar mendekati pintu yang terlarang itu—angin menderas, memiuh dan merontokkan daun-daun dan helaian bunga-bunga ketika Lelaki Pertama itu terbujuk oleh manja Wanita Pertama—instink yang dibangkitkan Dengki Pertama—, dan nekad buat memetik buah eksperimen—bukti forensik pencitraan emanasi yang gagal.
Angin jadi badai saat keluguan instinktif Wanita Pertama itu mencoba mencecap rasa buah eksperimen. Tak bisa dirumuskan dan diperkatakan apa-apa rasa dari buah eksperimen itu—sampai kapan pun. Karena sebelum liur mencairkan gumpalan potensi nikmat atau pahit dengan melekat di syaraf lidah—selain ruap tak terkatakan—: polisi emanasi menangkap mereka. Lelaki Pertama dan Wanita Pertama itu diterbangkan ke Planet Noyda—yang entah sejak kapan ada karena tak sedikit pun itu diketahui si Lelaki Pertama, yang diberi tahu nama-nama yang berada di langit semesta dan hampar datar Planet Azias. Seakan memang telah disiapkan untuk begitu. Bukankah tidak mungkin ada yang tak diketahui oleh Rasio Emanasi?
Lantas badai berubah menjadi angin sepoi di rambut dan pori-pori tubuh Lelaki Pertama ketika berada di hamparan Planet Noyda, ketika Lelaki Pertama yang sendiri diperintahkan mencari Wanita Pertama di Planet Noyda. Bertahun-tahun mencari di mana-mana dan ke mana-mana, sambil memperkirakan jarak dengan Planet Azias dan merumuskan kenangan menjadi Peta Semesata hipotesis. Momen di mana angin lirih menebar ruap bunga, buah matang, bau serangga, dan perlahan menggugurkan tepung sari menyerbuki putik, mengawal buah matang jatuh membusuk dan semua biji—lebih tepatnya spora—pelan mengecambah memperluas hutan pakis dan bakau di rawa-rawa pesisir pulau bergunung tunggal—Noyda. Angin yang mengumandangkan denging dan isyarat sperma serangga jantan. Setiap hari—berkali-kali. Berhari. Berbulan Bertahun—membuat Lelaki Pertama itu pening.
Berpuluh tahun—yang disangka oleh si Lelaki Pertama itu sebagai penghukuman seumur hidup. Dan semua berakhir ketika Lelaki Pertama—akhirnya—bertemu dengan Wanita Pertama. Dan saat itu angin berputar lembut dalam laku spiral ke arah zenith, menyerukan tangis kebahagiaan—hujan pertama terlahir di Planet Noyda, gerimis lirih dalam laku spiralia yang dipuntirkan oleh angin, dengan lengkungan pelangi samar di tentang matahari petang. Kehidupan dimulai di Planet Noyda. Peradaban disemaikan.
3
SAAT amarah Rasio Emanasi reda: Lelaki Pertama sudah jauh di Planet Noyda, di tengah hamparan vegetasi bakau dan pakis. Lantas ia diperintahkan mencari Wanita Pertama—karenanya terpaksa membuat rintisan setapak ke arah timur, sebelum belok ke selatan, dan memutar ke barat, serta kembali ke titik awal penghukuman di Planet Noyda. Bergerak ke utara, bersikelak-kelok tak melurus serta tak tentu arah, bertemu dengan jejak setapak—yang disangkanya rintisan pencarian si Wanita Pertama—, yang membawanya ke titik pendaratam pengasingan dari Planet Azias. Di titik itu si Lelaki Pertama berpikir: harus jalan lurus sejauh mungkin. Lurus selama 2 tahun. Berbelok, lurus 500 langkah dan lurus lagi selama 5 tahun. Berbalik dan lurus 5 tahun lagi.
Dalam rentang 3 windu buku harian cuma berisi map. Catatan arah setapak yang dirintis ke segala arah—dilengkapi dengan nama-nama pohon, bunga, binatang, cuaca dan sunyi. Di 7 windu kemudian ia berjalan dalam gerakan spiral memusat ke puncah kawah Gunung Noyda, dan 8 windu lagi berjalan spiral arah pantai dalam perjalanan yang dinamai si Lelaki Pertama itu sebagai jalan duka merindu. Di mana lembar buku harian dipenuhi puisi resah. Siang malam (tetap) sunyi sendiri. Hanya diikawal angin, yang menumbuhkan instink genital dengan wangi bunga, suara biji menembus kulit dan jadi kecambah, serta bau sperma hewan.
Lepas 3 windu lagi baru si Wanita Pertama diketemukan, terlunta (ketika itu) di geger gunung Noyda timur. Di tempat dengan hamparan panorama datar itu: mereka membuat rumah pertama—dengan 14 kamar—, rumah luas bagi 12 anak yang kembar lahir berpasangan dan ditakdirkan bersilang pasangan. Yang setiap senja, ketika udara mulai sejuk dan bayangan gunung Noyda yang diciptakan matahari mau tenggelam itu mulai memekat, di seputaran perapian dengan dikelilingi anak-anak: si Lelaki Pertama membuka buku harian dan menerangkan jutaan setapak yang dirintis—sekaligus mulai memperkirakan letak si Planet Azias di lengkung semesta. “Mengembaralah kalian,” katanya, “rentangkan jarak, abadikan rindu menjadi jalan.…”
“Dan nanti, mungkin 690 dekade lagi, Noyda ini menjadi bergugus rumah yang menggerombol sebagai perkampungan, berdesakan menjadi kota—yang dihubungkan oleh jalan-jalan yang saling memotong dan bersinggungan. Nanti, di kolong jembatan berkumpul para gelandangan yang tak punya rumah, dan yang setiap malam menangis karena tak bisa bikin jalan baru. Lolong sunyi yang membuat instink merindukan istri dan rumah di ujung kembara membuat mereka tak bisa tidur. Karena itu aku percaya, Rasio Emanasi bukan tanpa rencana mengusirku ke planet ini, ke tempat yang nanti tak memiliki terra incognita buat perintis jalan ke rumah terakhir di planet ini.”
“Apa tanda sudah sampai di ujung waktu?” kata si Lelaki Pertama—muram. Lalu Lelaki Pertama itu berbisik, “Sementara di masa itu sebagian orang yang punya kuasa mengerahkan daya agar bisa menguasai sisa tanah yang ada, dan leluasa ia membuat rumah yang kuasa mencitrakan individualitas diri, agar bisa santai pesta. Berkomplot membebaskan tanah dengan menggusur rumah-rumah kecil, yang segera dirubuhkan—dalam pertunjukan pengusiran tanpa pernah ada lahan di tempat lain buat menampung si yang terusir. Hanya demi bisa menciptakan jalan lebar dan mulus untuk memuaskan naluri bersipacu saling bersidulu ada di depan—meski tanpa motif pencarian dan target penemuan. Rindu akan rumah terakhir yang tidak terlampiaskan itu memicu manusia berpacu di jalan lain,” kata si Lelaki Pertama, pilu, “—jalan yang akan membawa aku, ibumu, kalian dan semua manusia kembali ke Planet Azias—ke sisi Rasio Emanasi.”
4
SEBELUM meninggal Lelaki Pertama ada mencatatkan semua ramalan itu—dan peta hipotesis untuk pulang ke Planet Azias, untuk menyusuri balik arus emanasi ke Rasio Emanasi. Bahwa semua yang diperanakkan di garis silsilah Lelaki dan Wanita Pertama itu, yang tersungkur ke Planet Noyda—terasing dari Planet Azias—, akan ikut merasakan derita menggelepar dalam sepi pengembaraan mencari si Wanita Pertama (ataupun si Lelaki Pertama) dan membangun rumah. Dan, pada akhirnya, akan seperti si Lelaki Pertama yang ingin menyusuri balik prosesi emanasi, kembali membubung ke Planet Azias. Karena itu apa yang tertinggal di Planet Noyda dan tidak bisa naik ke arus balik emanasi ke Planet Azias oleh ritus pensucian harus disumpalkan ke rongga tanah, sampai ada letusan raksasa yang akan menyebabkan lapis kerak Planet Noyda terbang, mencelat ke hamparan Planet Azias.
Titik kerucut. Puncak pukau yang menarik semua yang hadir dalam semesta ini dalam alur spiralia piut, sehingga semua jadi yang senilai atom dan memadat—seperti dulu dipicu emanasi awal—semesta yang mengembang. Tempat di mana akhir menjadi awal, dan semua yang terlanjur ada menggejala terhapus dari ingatan, tempat di mana semua peristiwa runtuh, surut kembali seperti di detik awal penciptaan. Abai. Seperti pagi ketika sinar emanasi pertama—yang paling samar—menyentuh semesta yang suci karena baru terbentuk. Semua terbebas dari kenangan. Kemurnian kekal dan manusia fitri tanpa instink. Kalau berpapasan serentak tersenyum dengan keakraban murni sua pertama, terbebas dari riwayat kelahiran dan sejarah derita rentang perang berebutan jalan di Planet Noyda—tempat yang pernah dihuni dan kini tak akan bisa dibayangkan pernah dihuni mereka.
“Ingatan dan semua kenangan telah dihapus,” kata si Lelaki Pertama, meramal—sambari berhati-hati memperagakan gerak melirik ke tempat di mana Rasio Emanasi memasang papan peringatan yang berbunyi: Semua kenikmatan berasal dari angan dan instink—karena hati-hati dengan segala yang tumbuh dan berbuah di tempat ini. Sekali lagi dan senantiasa berhati-hati akan si Dengki Pertama dan tempat fosil segala ciptaan gagal disimpan. Nun! Buah kenikmatan yang membuat Manusia jadi manusia, yang memicu angin yang mengiringi pengasingan di Planet Noyda. Menggelandang di Planet Azias, merintis jalan rentang ke mana-mana demi leluasa menandaskan sunyi yang menyuburkan rindu pada pasangan, membuat rumah kebersamaan—serta Rindu pulang dan kembali. Terbebas dari ingatan dan kenangan akan Noyda. Nun di puncak lengkung langit yang dituding oleh nisan—dengan tulisan sederhana berbunyi: Awal bertemu akhir, Noyda mengembalikan aku ke Azias.
Teks hipotesis yang pada masa awal selalu ditafsirkan sebagai pembebasan ruh dari tubuh, dan kematian selalu diartikan sebagai pembalik kode emanasi pengasingan di Planet Noyda ini dengan yang murni berasal dari Rasio Emanasi. Berbalut dimensi sufistik sebab tak semua orang punya mantra pembalik emanasi penghukuman. Meski yang begitu bukan bidang kajian spesialistik kami—kami hanya ingin mengumpulkan fakta dan pelan merekonstruksinya. Siapa tahu kami (nanti) bisa menemukan peta hipotesis yang mengembalikan kami ke Planet Azias—Bumi terserap emanasi balik.
5
BATU nisan itu entah di mana, batu nisan itu yang menandai satu kuburan yang belum bisa diperkirakan tempatnya. Kuburan si Nun. Kalau (nanti) kami menemukan catatan, versi tertulis dari semua teks tutur kabilah Ben Aineista, sekaligus Manuskrip Wail itu bisa direkonstruksi. Nanti. Kini kami telah punya rujukan letak, hasil proses pemindaian sonar ke permukaan planet secara menyeluruh, yang membuat kami bisa memperkirakan letak Gunung Noyda dan terutama: rumah pertama manusia di planet ini, rumah yang ditimbun lava. Teks yang dilengkapi penelitian atas pemindaian sonar bersama itu membawa kami ke kemungkinan (nanti) kami bisa menemukan kuburan itu—menemukan peta hipotesis atau merekonstruksi mantra emanasi balik.
Itu di versi filologik mistik sufistiknya, karena kami percaya bahwa kami sedang mencari pola peristiwa kimiawi terkontrol, energi rahasia yang membawa kami masuk di proses emanasi balik, terserap ke Planet Azias dan menggumpal di dalam inti Rasio Emanasi. Nanti. Mungkin hanya peta hipotesis jalur pengasingan manusia pertama ke Planet Noyda, alur yang akan direkayasa menjadi jalur balik. Nun. Nanti. (*)
4/6/2010, 14/2/2011



Comments
0 Comments