31.12.10
Di Titik Jenuh Bulan
Seorang lelaki yang menunggu. Mengantungkan cintanya pada waktu. Adalah diriku, yang berserah penuh entah ragu. Malam itu aku masih sama dengan malam-malam kemarin dan yang lalu-lalu. Judulnya juga sama, hanya sedikit berbeda pada penempatan karakter dan prolog yang sedikit panjang.
“Berjuta detik kuhitung. Kapankah jumpa? Beribu aksara kueja. Namamu jua yang tercipta.” aku berpuisi dalam temaram.
Rinduku tersudut di penjuru siang dan malam, perlahan berkarat lalu terpendar di sudut-sudut ruang gelap dunia maya. Angin, malam, bercanda dalam diam, menertawakan waktu yang pelupa. Berulangkali pula ku mengirim pesan, namun tiada tersampaikan.
Tuhan berujar, “Akan kuberi terang setelah tangis menyeruak dari kedalaman malam.”
Aku berucap, “Akan kukotori malam. Dengan dendam.”
Malam meluruh. Rindu yang jatuh.
Epilog
Suatu malam di titik jenuh bulan, Adam terus menatap langit. Merindukan Hawa yang tak kunjung turun ke bumi. Tersangkut di pohon surga, di langit prosa.
*
") puisinya: @attararya
“Berjuta detik kuhitung. Kapankah jumpa? Beribu aksara kueja. Namamu jua yang tercipta. Senja meluruh. Rindu yang jatuh.”


Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus