SADJAK DJEDJAK

"Kita hidup tidak hanya dengan roti saja... metafora juga merupakan sumber nutrisi bagi kehidupan."

11.10.10

Angka dan Aksara



Suatu ketika, Levi-Strauss bercerita padaku tentang seseorang bahwa ketika itu: Sejenak ia kembali pada kelompoknya. Ia mengambil selembar kertas penuh garis-garis gelombang dari keranjang dan berbuat seolah-olah membacanya, berpura termangu seakan mencek daftar barang-barang. Seseorang maju untuk memberikan barang-barang sebagai ganti hadiah yang dia berikan pada orang itu. Si Anu maju untuk mendapatkan sebuah pemotong yang ditukarkan dengan busur dan panah. Seseorang lainnya menerima manik-manik untuk tali lehernya... Lelucon ini berlangsung selama dua hari.

Bak teka teki, pertanyaan pun diarahkan padaku: Adakah orang itu barangkali mencoba menipu dirinya sendiri? Atau sebenarnya lebih untuk membuat takjub kelompoknya, untuk meyakinkan mereka jika ia adalah benar-benar agen pertukaran tersebut?

Ah, aku mulai berhitung untuk mencari jawabannya:
1234567890

Tuhan-tuhan menjadikan dunia sebagai angka-angka
Bintang-bintang kehilangan mistisnya
Dimana-mana hanya ada simbol, kriteria dan larangan
Kita harus tunduk pada petanda-petanda yang mapan

dan satu-satunya
Tapi ternyata, tak selamanya dan bukan kepastian bahwa matahari adalah laki-laki dan bulan adalah perempuan. Aku merasakan ketidakhadiran di sini. Ketidakhadiran sesuatu yang memiliki kemungkinan untuk hadir tapi tak diberi ruang dan waktu. Kedua dimensi itu telah dikuasai dan diputuskan oleh pengadilan angka-angka. Interpretasi dibatasi oleh identitas. Jawabannya terpenjara dalam simbol-simbol.
Aku mulai meninggalkan angka-angka, mencarinya dalam serpihan aksara yang masih berserakan:
ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ

Tuhan-tuhan menjadikan dunia sebagai kumpulan aksara
Pelangi-pelangi menyelimuti matahari
Dimana-mana hanya ada perbedaan-perbedaan dan jejak-jejak
Kita harus belajar menggunakan dan menghapus aksara kita

pada saat yang sama
Aksara melakukan pemberontakan, menutup seluruh petanda-petanda mapan, mereduksi semua benteng-benteng, naungan larangan-larangan dan belenggu kriteria. Aku membaca dan menulis, praktikum dan diskusi sembari meletakkan aksara dibawah karet penghapus. Sehingga kudengar diriku sendiri pada detik yang sama ketika aku mengucap aksara. Tapi, aku belum juga menemukan jawabannya. Dan sayang sekali, selalu saja sejatining ritma kutemukan justru pada anak-anak disimpang jalan yang menyobeki surat-surat cinta padahal belum fasih menulis balasannya.
ilistrasi (bimaariotejo.wordpress.com)
(bimaariotejo.wordpress.com)
***
*) Tanpa menulis, mungkin aku tetap akan hidup bahagia. Tapi tanpa menulis, tak ada kertas penuh garis-garis gelombang yang bisa kubuang di keranjang sampah.

Comments
0 Comments