9.1.17
“Jurgen Berpikir, Jarod Tertawa”
Komunitas Jalan Roda dalam freezer. (foto: istimewa) |
Presumsi: Membaca ‘Komunitas Jalan Roda’ seperti membayangkan usaha mengumpulkan saliva (air liur) di rongga mulut sebanyak-banyaknya, lalu menelan setengah dari volumenya, dan menyisakan setengahnya lagi untuk meludahinya usai membaca.
Berpikir ke Frankfurt tapi Ngopi di Jarod
Negara dan
pasar memang tak pernah benar-benar meninggalkan ruang kehidupan yang sudah
sesak dengan laku politik dan ekonomi—ihwal kuasa dan uang. Mereka menyusup,
berkelindan dalam kerumunan warga dengan rupa yang beragam; politik bisa
menjelma ekonomi, pasar mampu mengasuh negara, kuasa bertukar-tangkap dengan
uang, dan keduanya sanggup membeli kerumunan, juga menyulap setiap individu
sebagai sekadar nominal atau angka-angka statistik.
Di antara
perhimpitan ruang yang semakin sempit itu, masih adakah kiranya ruang yang
tersisa buat orang-orang berkomunikasi untuk menentukan nasib bersama, berpikir
otonomis, bertindak mandiri, tanpa tauladan kerapian dari negara dan pasar,
tanpa di atur oleh laku politik dan ekonomi, bebas dari cengkeraman kuasa dan
uang?
Jurgen Habermas
pernah memikirkannya. Setengah abad yang lalu di daratan Eropa, ia merumuskan
ruang yang tersisa itu; sebuah konsep ruang yang diambilnya dari sejarah kaum
borjuis Jerman pada abad delapan belas. Kala itu, begitu marak kedai-kedai kopi
juga salon-salon yang beralih fungsi menjadi komunitas-komunitas diskusi.
‘Ruang Publik,’ begitu ia menamainya. Ruang yang terdefinisi sebagai tak hanya
terpisah dari ‘ruang’ politik dan ekonomi, melainkan juga setiap orang memiliki
akses untuk menjadi pengusung opini, guna memengaruhi, termasuk secara
informal, laku-laku yang ada dalam ‘ruang’ negara dan pasar.
Ber-locus di Manado, ruang semacam itu
tampak telah lama hadir, atau mungkin tengah dihadirkan. Sebuah jalur bagi
roda-roda pedati peninggalan sejarah jauh sebelum hiruk-pikuk Perang Dunia I
dan II kini seolah menjelma Ruang Publik. Orang-orang tetap menyebutnya sebagai
‘Jalan Roda’ atau Jarod, meski bentangan jalur itu kini dipenuhi kedai-kedai
kopi yang enggan disinari matahari. Dari luar, ia dikepung oleh gejala-gejala
pasar, juga berjarak tak jauh dari pusat pemerintahan. Di dalamnya terdapat
kerumunan-kerumunan, jajanan, poster-poster, iklan, musik, juga orang-orang
berlalu-lalang dengan pikiran, keinginan, hasrat, harapan, ‘jualan’, juga bau
keringat yang bermacam-macam.
Jarod tak disinari
matahari, maka dari itu ia bisa berarti tak ada ‘aktor utama’ dalam ‘ritual
perkopian’ di sana. Atau jika
menggunakan paradigma teoritikus Rusia, Mikhail Bakhtin, Jarod bisa dipandang
lebih sebagai ruang “Karnaval” tinimbang pentas Teater, maka dari itu Jarod tak
mengenal lampu sorot. Dengan kata lain Jarod tak membedakan mana aktor dan mana
penonton. Di sana, setiap orang turut serta, ia merangkum semuanya. Pejabat,
pengusaha, akademisi, mahasiswa, pengangguran, penjual, pembeli, ahli nujum,
pakar feng shui, tokoh agama, mungkin
juga PSK, hingga peminta-minta, bisa duduk bersama dalam satu kerumunan. Berdebat,
bercengkerama, atau sekadar membicarakan hal-hal banal juga absurd, atau bahkan
hanya berdiam dengan memasang rupa penuh harap.
Barangkali
karena lumernya batas-batas yang memisahkan pentas dan penonton itu, juga
batas-batas yang dianggap final seperti pangkat, privilise, bahkan norma, yang
membuat Muhammad Iqbal—seorang penulis muda Manado—mencoba membuat rumusan
tentang Jarod dengan duduk bersama Habermas. Dalam buku ‘Komunitas Jalan Roda’
(2016) yang ditulisnya, ia pun menerakan definisi: “Jarod,” kata Iqbal, “adalah
Ruang Publik bagi masyarakat Manado yang multikultural.” Lebih jauh, Iqbal pun
mengurai fungsi sosial-politis Jarod a la
Habermasian, “sebagai saluran informasi terhadap isu-isu yang berkembang, dan
warga diberikan kebebasan dan kesetaraan dalam mengemukakan pendapat dan opini
terhadap satu masalah.”
Tapi di sini
barangkali Iqbal keliru. Tentu saja, bagi pembaca yang melek Habermas, definisi Iqbal itu masih bisa diperdebatkan bahkan
ditertawakan. Selain karena mentahnya metode juga data yang disajikan dalam buku
yang sebentuk ‘makalah popular’ itu, juga karena tertera rentetan ironi,
deretan paradoks, ambiguitas, dan juga inkonsistensi dalam narasi Iqbal kala
mencoba menyatu-padankan pun merajut keterpautan antara Jarod dan Ruang Publik
ideal Habermas.
Ketika
Habermas, misalnya, mencita-citakan Ruang Publik yang mandiri dan mengambil
jarak dari negara dan pasar, Jarod dalam realitas yang digambarkan Iqbal
sewaktu-waktu bisa menjelma sebagai ruang sosialisasi politik sekaligus ruang
bagi laku ekonomi untuk kepentingan non-publik. Iqbal berkata, “Jarod selalu
dijadikan sasaran untuk memasarkan produk-produk tertentu, tidak hanya barang
dan jasa, bahkan untuk memasarkan ‘tokoh’ tertentu yang ingin mendongkrak
popularitasnya.”
Se-jarod dengan itu, penekanan
Habermas akan rasionalitas nan borjuis dalam Ruang Publik pun terasa kontras ketika
Iqbal menggambarkan Jarod sebagai ruang yang tak hanya diisi dan diakses oleh
orang-orang yang berpikir rasional dan kritis untuk ‘kepentingan publik’,
melainkan juga oleh orang biasa—dengan kesalahan-kesalahannya, dengan egonya,
dengan emosinya. Fakta ini tentu saja membentangkan paradoks; bagaimana mungkin
konsensus untuk mengusung opini publik dapat lahir dari proses komunikasi yang logis
dan rasional sementara irasionalitas yang melahirkan ‘debat kusir’ tanpa arah
juga ikut menjadi unsur yang inheren dan signifikan di dalamnya?
Habermas pernah
bersabda: “Proses komunikasi publik … tidak hanya mengandaikan bahwa setiap
orang dapat berbicara, dengan kesempatan yang sama, tentang persoalan
pribadinya, keinginan dan keyakinannya; proses komunikasi yang otentik hanya
dapat dicapai di dalam kerangka bahwa semua pendapat pribadi ataupun kelompok
dapat berkembang di dalam dialog rasional kritis dan kemudian membentuk opini
publik.” Dengan rumusan pasal ini, pembaca Habermas bisa saja mendakwa Iqbal
sebagai sekadar penulis yang berpikir jauh ke Frankfurt, tapi ngopi di Jarod.
Tapi Iqbal tak
sepenuhnya keliru. Sebab yang dilihat oleh Iqbal, dalam catatan kakinya, adalah
“proses komunikasi partisipatif dalam satu ruang bersama itu” lahir dari
elemen-elemen multikultural yang berbeda dari konsep multikultural Eropa (atau
Amerika Utara) yang cenderung merupakan proses tuntutan eksistensi dari para
imigran pembawa kebudayaan masing-masing. Dan tentu saja, Jarod bukanlah kedai
kopi Eropa a la abad delapan belas.
Di sinilah
Iqbal berdiri dan sedikit mengambil jarak dari Habermas, bahwa, “Ada hal-hal
pokok yang tak dapat dilebur atau dikaburkan dengan alasan apapun,” teguh
Iqbal.
Iqbal Sphere:
Jarod Ideal yang Perlu Ditemukan
Jarod memang
adalah ruang yang tak sepenuhnya bisa dirumuskan; realitasnya masih membutuhkan
banyak ‘catatan kaki’. Ia tak hanya merupakan ruang yang menautkan tubuh dan
sepetak tanah, melainkan juga ruang yang menjalin-rajut ragam pikiran, ego,
juga keluh-kesah serta harap-cemas dari komunitasnya. Dari itu, matinya Ruang
Publik otentik di Jarod sekaligus gagalnya Iqbal menghadirkan konsep Ruang
Publik di ‘Komunitas Jalan Roda’ bukanlah hal yang perlu diratapi. Sebab Iqbal
tak sedang berilusi; alih-alih hendak menghadirkan sepenuhnya Ruang Publik
ideal Habermas di Jarod, ia sebenarnya, lewat fenomena Jarod, hendak menyusun kritik
terhadap Habermas.
Di sinilah
barangkali presumsi tentang saliva itu
menjadi agak relevan terkait usaha Iqbal bersepakat sekaligus tidak bersepakat
dengan Habermas. Ketika Habermas begitu yakin akan terjadi kemufakatan, berkat
laku komunikatif, berkat nalar yang tak egosentris, Iqbal menghadirkan realitas
Jarod dengan wajah yang penuh coretan, bualan, sarkasme, tawa, hingga polusi
suara keributan. Ketika Habermas berani menjamin legitimitas konsensus sebagai
hasil dari kumpulan seluruh kehendak, di Jarod, kata Iqbal, konsensus seperti
itu tak pernah bulat. Dan ketika sebuah konsensus coba dibulatkan, selalu saja ada
yang retak dan dikaburkan. Apalagi jika konsensus yang hendak dicapai, seperti
yang dicontohkan Iqbal, lahir dari giring-gorengan “figur dengan ‘lisensi’ tertentu”
yang bisa saja merupakan pseudo-apparatus
negara bahkan representasi dari kekuasaan.
Apa yang hendak
dirayakan Iqbal dalam laku komunikasi di Jarod barangkali bukan sekadar dialogical conception, melainkan juga paralogical Jean Francois Lyotard,
bahkan parrhesia (sebuah kata kuno dari dunia teater yang diperkenalkan
oleh Euripides di abad-4 SM untuk menggambarkan “kemerdekaan berbicara”), yang
prinsipnya: datang ke Jarod yang terpenting bukanlah jaminan akan datang solusi
bersama, bukan pula garansi bahwa akan terbit opini publik untuk perubahan
sosial, melainkan percakapan dengan kebebasan, mendedahkan keberagaman, juga
kemerdekaan untuk mencari sendiri apa yang benar, tanpa harus menindas atau
mengerangkeng satu dengan yang lain.
Thus, obyek kritik Iqbal tidak hanya
final menargetkan Habermas, melainkan juga—dan ini barangkali yang terpenting—menyasar
subyek tulisannya sendiri: ‘Komunitas Jalan Roda’ an sich. Terutama bagi para ‘partisipan ilusif’ yang datang ke
Jarod sekadar untuk “meluangkan waktu” atau mengisi kekosongan diri dengan
kopi, dengan canda, dengan ‘pendo’ dan ‘pemai’, tanpa semangat emansipasi
sedikitpun. Memang, bagi para pelaku komunitas diskusi, hidup tak pernah serius
di Jarod sana. Tapi bagi Iqbal, seharusnya ada hal-hal yang perlu diusung
bersama-sama sebagai sebuah ‘kepentingan publik’ (yang bukan opini ‘politik’
publik jangka pendek) tinimbang sekadar memperlihatkan kemalasan kolektif atau
banalitas yang itu-itu saja.
Sepanjang
pembacaan terhadap Iqbal, memang serasa perlu merumuskan ‘ruang’ dalam ruang
Jarod yang telah ada. Bukan ruang dalam arti fakultas, komisi, pun faksi-faksi
dalam bentangan linear yang sibuk dengan monolognya masing-masing, tapi lebih
kepada ruang yang merupakan campuran ‘kopi stenga’ dan setengahnya lagi
pemikiran Habermas. Sehingga ketika kita membayangkan arwah Habermas kebetulan
singgah di Jarod, ‘Komunitas Jalan Roda’ akan sekonyong-konyong menertawakannya.
Bukan hanya karena Jarod an sich berada
di luar imajinarium Habermas, tetapi juga karena Jarod—dengan segala tetek-bengek perayaan di dalamnya—bisa
menjadi episentrum kesadaran publik untuk menumbuhkan soliditas dan solidaritas
yang terarah pada perubahan.
Barangkali hanya
dengan itu, Jarod bisa terselamatkan dari slogan pece “DPRD tingkat III” yang retoris populis wal munafiqun keborjuis-borjuisan. Dan barangkali dengan
termanifestasinya ‘Jarod ideal’ semacam itu, budayawan seperti Reiner Ointoe
akan berhenti menebarkan ayat-ayat selentingan ihwal kemufakatan semu: “There is no Jarod today—tidak ada Jarod
hari ini.”
Utopiskah ini?
Silahkan saja baca sendiri, lalu mari merumuskannya bersama-sama.
—ha—
Catatan
Kuku-Kaki:
- Judul diadaptasi dari sebuah pepatah Yahudi yang pernah dikutip Milan Kundera dalam pidato penerimaan hadiah sastra Internasional di Israel: “Manusia Berpikir, Tuhan Tertawa.”
- Konsep “Karnaval” Mikhail Bhaktin dan “Parrhesia” Euripides disadur dengan penyesuaian dari Caping Goenawan Mohamad dengan judul –judul yang sama.
- Pendapat-pendapat Habermas sebagian diambil dari buku The Theory of Communicative Action, sebagian lagi dari ulasan-ulasan tentang Ruang Publik Habermas di internet.
- “There is no Jarod today,” adalah bagian dari resensi bedah buku oleh Reiner Ointoe terhadap karya Komunitas Jalan Roda Muhammad Iqbal.
- Kata atau kalimat yang diberi tanda petik tunggal (‘…’) lebih kepada penekanan, sementara yang diberi tanda petik ganda (“…”), selain dari yang dimaksud oleh empat hal di atas, merupakan kutipan langsung dari buku Komunitas Jalan Roda Muhammad Iqbal.
Label:
#TakTertulis,
Buku,
Esei,
Haz Algebra,
Jurgen Habermas,
Komunitas Jalan Roda,
Muhammad Iqbal,
Ruang Publik,
Surat Pembaca
23.1.16
Homo Mimesis dan Seorang Pembaca yang Terjebak dalam Gulungan Memori Purbanya
: Kepada
Kristianto Galuwo
Sore,
mendung, Pizza Hut, meja 5.
Sembari
menunggu supersupreme ukuran large dengan pinggiran struffed crust keju, kedua sepatu saya
mengetuk-ketuk lantai secara bergantian, mungkin dengan tempo 3/4, sementara
itu, jejari saya memainkan gadget di
tangan, membolak-baliknya, sesekali memutar, sambil mata melirik kiri kanan
menyaksikan ritual pengunjung mall
yang sore itu agak lengang, tapi hanya sesaat, sampai akhirnya pandangan saya kembali
jatuh ke bawah dan jejari tadi membuka lagi lockscreen
layar mini lalu refleks menekan aplikasi facebook. Di sana, tulisanmu sudah
terbuka dan menunggu di baca.
Saya
gelisah, Bung. Gelisah karena bingung harus bersikap bagaimana terhadap
tulisanmu yang kau tulis di blog pribadi, yang kau share di laman facebook, dan
tak lupa menandai akun facebook saya itu. Judulnya bernada satire: Segulung
Kalimat 'Usang' Dalam Kepala, seperti mencoba
mengantar saya pada ceritaku sendiri, Segulung
Cerita Tua dalam Kepala (selanjutnya saya singkat: Serat Dapala).
Lalu
mata baca saya kembali mengayuh jemari bak papan selencar di atas aliran
kata-katamu, mencari-cari gulungan ombak yang akan menghancurkan papan selancarku
atau malah akan saya gunakan untuk bermanuver di atasnya, tanpa menyelaminya.
Pada paragraf satu dua tak ada apa-apa, di mana-mana hanya ada genangan air
yang ketika dijilat terasa asin dan sesekali hambar. Paragraf tiga empat juga
demikian. Hingga akhirnya segulung ombak purbamu itu menghampiri saya di
paragraf lima dan seterusnya, ombak yang terbuat dari air garam mendidih,
perlahan mengental, berubah warna, lalu menjadi lahar magma panas. Kau tahu apa
yang selanjutnya terjadi?
Ketika
ujung jari saya menyentuhnya di layar mini, sekonyong-konyong jemari saya itu
melumer dan terputus, lengan saya kemudian terlepas, menjalar ke atas membuat
rambut saya rontok, telinga saya juga putus, hidung saya mengelupas, gigi saya
tanggal satu persatu, kumis dan janggut saya serasa ada yang mencabuti, mata
saya lenyap, dan kepala saya copot. Tulisanmu benar-benar memutilasi jiwa saya,
Bung, mencincang tubuh saya tak beraturan. Beruntung saja, mantan pacar saya,
yang sejak tadi melongo menatap saya, menepuk pundak saya dan berkata: “Aduh, Sponge
Bob! Kenapa tubuhmu berceceran begini? Ayo, pasang dulu kepalanya! Pizza-nya
sudah datang.” glek..
Malam,
laptop dan seperangkat atribut pembunuh subuh.
Saya
kembali membuka facebook, membaca tulisanmu (yang berisi dakwaan), menaruh jejak
kaki di facebookmu sebagai pemberitahuan bahwa saya sudah melihatnya dan sedang
membacanya. Dan saya pun mencoba memenuhi keinginanmu yang purba itu: menulis
sanggahan.
Tapi
tidak. Saya tidak akan memberi sanggahan atau pun klarifikasi terhadap dakwaan
yang kau layangkan. Saya bukannya tak mau, hanya tak tega saja membiarkanmu
terdikte oleh pengarang. Saya masih bertahan dengan diskursus bahwa seorang
pengarang (sastra) harus mati ketika ia sudah menyelesaikan tulisannya. Seperti
sabda Umberto Eco, “seorang pengarang tidak seharusnya berinterpretasi atas
karyanya, karena ketika itu ia lakukan maka karyanya menjadi gagal sebagai alat
perangsang interpretasi pembaca.” Saya pun demikian halnya, tidak boleh
berinterpretasi, agar tidak mencegahmu (dan pembaca lainnya) berinterpretasi
(membunuh atau menghidupkan karya saya untuk membunuh lagi). Tetapi saya boleh
menceritakan mengapa dan bagaimana saya mengarang Serat Dapala, cerita yang
sudah mengganggu kepalamu selama bertahun-tahun itu.
Dan,
jika pun kelak di dalam narasi ini terdapat serupa interpretasi, maka anggaplah
itu sebagai tafsir seorang pembaca, pengarang yang sudah menjelma sebagai
pembaca, sebab cerita yang saya tulis bertahun lalu itu mungkin akan bermakna
beda ketika saya membacanya kembali hari ini (seperti afektif saya yang tiba-tiba berubah ketika membaca tulisanmu pada sore yang mendung dan malam hari yang berasap), itu pun jika
ia masih memiliki makna.
Baiklah.
Pertama-tama maafkanlah saya atas laku Serat Dapala yang telah semena-mena
mengambil beberapa kilobyte ruang
memori di kepalamu lalu diam-diam menjadi ‘virus bawah sadar’ yang
mengendalikanmu hingga kau membuat tulisan interpretasi atasnya. Entah,
barangkali itu sisi sukses Serat Dapala dalam rangka menjadi kawan sekaligus
lawan isi kepala pembaca, termasuk kau.
Kedua,
saya ingin bertanya-tanya dan berbagi, pernahkan kau membaca novel “The Name of
The Rose” karya Umberto Eco (penulis Teori Semiotika asal Itali itu)? Sampai
sekarang, saya pun masih belum selesai membaca versi ebook-nya. Tapi perkenankan saya untuk sedikit mengutip ulasan ST.
Sunardi (salah seorang pengusung keranda Nietzsche di Indonesia) setelah berada
“Tujuh Hari dalam Labirin” (Kata Pengantar edisi terjemahan) Novel tersebut. Di
pengantar hari kedua-nya, Sunardi menyoal tentang kuatnya ‘intertekstualitas’
ketika membaca “The Name of The Rose”. Ia menulis begini:
“…Novel ini terus-menerus bicara tentang teks
lain. Sudah sejak kalimat pertama dalam ‘prologo’
dia (Eco) menggunakan teks lain: “Pada
awalnya adalah sabda dan sabda bersama Allah dan sabda adalah Allah”. Lihatlah,
Eco tidak ragu-ragu menggunakan teks mapan, ortodoks, doktrinal, dan bahkan
biblis (di sini dia mengambil ayat dari injil Yohanes)… Penggunaan teks-teks
lain ini terus menerus berjalan sampai akhir bukunya. Teks-teks ini di ambil
dari mana saja: dari Injil, pikiran para teolog, ilmu pengetahuan dari Yunani,
dan sebagainya. Ada yang bisa dikenali langsung dengan cepat, dan ada yang
tercium samar-samar saja. Ada yang ditulis dengan tanda kutip (“…”) dan ada
yang dipakai begitu saja. Karena pemakaian teks-teks ini begitu konstan dan
massif, cara ini bisa menjadi salah satu teknik penyusunan sebuah novel.”
Tidak
bermaksud menggunakan kalimat di atas sebagai pembelaan terhadap Serat Dapala
yang terdapat potongan puisi ‘Gandari’ Goenawan Mohamad sebagaimana dakwaanmu
itu, saya malah akan mengejutkanmu dengan pengakuan bahwa seluruh jalinan teks
dalam Serat Dapala, sedari Judul
hingga akhir cerita, adalah proyek intertekstual, juga dekonstruksi, sebuah
cerita yang bercerita tentang cerita-cerita dalam cerita, yang dapat kau lacak
jejak-jejaknya (menginterpretasinya)
jika berkenan tergantung kondisi psikologis dan kognitifmu saat
membacanya.
Dan,
tanpa perlu memaparkan perbendaharaan atau referensi bacaan atau pengalaman
saya, kalimat di atas saya pinjam saja untuk menjelaskan proses kreatif
lahirnya Serat Dapala. Sebab, sekali lagi saya tak mau mendiktemu ketika
membacanya, membuatmu berinterpretasi sesuai interpretasi pengarang, yang akan
membuat Serat Dapala menjadi gagal dalam mempercepat ‘perjalanan teks-teks
referensinya secara ironik’ sebagaimana fungsi intertekstualitas itu sendiri.
Tapi
barangkali saya tak sehebat dan seberani Eco dalam menerapkan teknik
intertekstual itu, atau barangkali saya takut jika Serat Dapala akan berpapasan
dengan pembaca yang tidak cukup referensi, sehingga, di bawah Serat Dapala,
saya masih harus menulis catatan kaki untuk menjelaskan beberapa istilah, arti
Bahasa, potongan kalimat dari siapa dan sebagainya. Hal ini dikarenakan selain
memiliki fungsi ironik, teknik intertekstual, sebagaimana risalah Eco dalam “The Limit of Interpretation” yang
diriwayatkan oleh Sunardi, juga memiliki resiko: “Gagalnya memperjelas tanda
kutip sehingga apa yang dikutip diterima oleh pembaca yang naif sebagai temuan
orisinil dan bukannya referensi ironik.”
Di
sanalah barangkali letak kesalahan saya di mata-bacamu, yang sekaligus
mengantarku pada letak kesalahanmu di mataku. Kau barangkali telah kecewa
karena saya tidak memberikan catatan kaki atas potongan puisi Gandari yang saya kutip. Dan benar, gegara
mengidolakan GM saya semena-mena menganggap karya-karya GM sudah menjadi doxa, common sense, sudah menjadi pengetahuan umum (seperti nama-nama
tokoh dari Epos Mahabharata, substansi dialog filosofis, dll) yang asal
muasalnya sudah jelas (tak butuh catatan kaki) sehingga yang membacanya sudah
tahu jika jejak GM belum terhapus di sana dan berharap bisa diinterpretasi
secara beragam tergantung perjalanan dan perjalinan teks yang satu dengan yang
lainnya.
Tapi
saya juga kecewa, sebab kau menganggap, selain potongan puisi itu, ribuan kata
dalam Serat Dapala adalah ‘orisinil’ buah pikir saya. Sebab jika kau membaca
Serat Dapala dengan metode baca seperti saat kau menemukan sepotong puisi Gandari, kau pasti telah berpapasan
dengan kalimat ini: “Aku tak akan
mengubah nasib suatu kaum jika bukan mereka sendiri yang mengubahnya”. Apa
kau menyadari adanya kalimat ini, mengenal asal muasalnya, pernah membacanya,
pernah mendengarnya? Nah, kenapa kalimat ini tidak kau gugat juga dalam
dakwaanmu yang rada malu-malu itu?
Ketiga.
Tentang orisinalitas. Pernahkan kau mengalami momen ketika menulis, berorasi,
bahkan saat ngobrol santai yang dengan
sengaja atau tidak sengaja menggunakan sistem logika tertentu, mengutip
kata-kata pemikir, tokoh ternama, pepatah atau apapun sebentuknya di mana kata-kata
itu kau lupa siapa pemiliknya atau pernah mendengar atau membacanya entah di
mana tapi kemudian bagi pembaca atau pendengarmu kata-kata itu menjadi
‘orisinil’ kata-katamu sendiri dalam jalinan kalimat yang kau buat? Semacam
itulah sekiranya terdapat ‘gema intertekstual’ dalam benteng yang kita sebut
‘orisinalitas’. Sebab ‘orisinalitas kekinian’ bisa saja berarti kebaruan akan sesuatu
yang pernah kita dengar atau baca lalu kita gunakan (mengimitasi, memodifikasi,
mengafirmasi, mereduksi) tapi kita sudah lupa (atau pura-pura lupa) kapan dan
di mana pertama kali memperolehnya.
Tapi
jika wacana dekonstruktif dan teknik produksi popular ini masih terlalu
kontemporer untuk merespon metode bacamu yang purba, maka barangkali Plato dan
Aristoteles dapat menolongmu. Barangkali kau pernah mendengar istilah Homo Mimesis. Ya, “manusia adalah homo
mimesis (alias makhluk peniru),” kata Plato. Makanya dalam elaborasi refleksi
seni tinggi, kurang lebih Plato mengatakan karya yang baik haruslah mampu meniru,
menjiplak realitas semirip-miripnya, seperti ketika melukis wajah seseorang,
semakin mirip semakin estetis. Fenomena ini juga terjadi ketika seseorang memiliki
idola, maka ia akan mencoba meniru idolanya tersebut semirip-miripnya.
Bahkan
lebih hakikat lagi, jika menjurus pada persoalan imitasi teks, kita seharusnya akan
bertanya-tanya, “dari mana asal kata yang saya gunakan saat ini?”, “bukankah
saat bayi saya tak bisa melafalkan kata-kata?”, “bukankah kemampuan saya
berkata-kata, berbahasa, merupakan keberhasilan saya meniru kata-kata,
mengimitasi bahasa orang tua atau lingkungan saya?”, atau “bukankah kata-kata
yang saya gunakan saat ini sudah terdapat dalam Kamus Besar Bahasa?”, lalu, “apakah
saya telah meniru, menjiplak sebuah kamus?” Demikianlah persoalan mimesis telah menjadi karakter
kemanusiaan kita, menurut Plato.
Lebih
lanjut, Aristoteles juga menyinggung persoalan mimesis ini ketika berbicara
tentang puisi. Ia meyakini bahwa penciptaan Bahasa muncul dari kelindan antara
kecenderungan untuk membuat gambaran baru (muthos)
dan meniru kenyataan yang ada (mimesis).
Di sinilah elaborasi pertama tentang metafor sebagai hasil kreatifitas yang
barangkali juga menjadi cikal bakal ‘gema intertekstual’. Sehingga, terkadang
ketika kita membaca sebuah karya, kita merasa berada dalam ketegangan untuk
menafsirnya bahwa karya itu “adalah seperti karya anu” sekaligus “adalah bukan karya anu”.
Ah,
sudah terlalu pagi. Dan saya sudah berbicara melebar kemana-mana. Saya ingin
mengakhirinya saja. Tapi sebelum itu, saya ingin berkesimpulan mengenai
tulisanmu, dan sebelum berkesimpulan, saya akan memberikan satu kunci untuk
memahami kerumitan penjelasan di atas, yakni proyek intertekstual dalam Serat
Dapala sebenarnya sudah kau lakukan juga dalam tulisan dakwaanmu, entah sengaja
atau tak sengaja. Judul yang kau gunakan (Segulung Kalimat ‘Usang’ dalam Kepala)
terdengar mirip dengan Judul cerita saya (Segulung Cerita Tua dalam Kepala). Lalu,
siapakah yang berhak mengklaim sebagai pemilik potongan kalimat “Segulung … dalam
Kepala” itu? Apakah ini imitasi juga? Ataukah ia punya maksud tertentu? Jika punya
maksud, maka pertanyaan dalam dakwaanmu tentang mengapa saya memasukkan
potongan puisi Gandari dalam Serat Dapala bisa terjawab oleh dirimu sendiri,
melalui cara bacamu sendiri.
Kesimpulan.
Saya berasumsi, dalam melakukan operasi pembacaan, kau masih terjebak pada
tradisi purba kepenulisan prasasti, di mana puisi, hikayat, fenomena, diukir di
atas batu dan mampu bertahan ribuan tahun atas nama kebudayaan tertentu, milik
tokoh tertentu. Bahkan, untuk mengotopsi Serat Dapala saja, kau masih
menggunakan intrumen purba seperti kapak yang terbuat dari batu dan logam
tumpul, yang untuk digunakan memotong pizza saja, saya masih pikir-pikir dulu. Hmm..
Sebagai
saran. Adalah hak asasi pembaca menggunakan model dan metode baca apa saja yang
ia senangi. Tapi jika kau kelak ingin menggunakan tradisi ilmiah (juga tradisi
jurnalistik) sebagai standar membaca karya maka pertama-tama janganlah
menggunakan standar ganda, seperti saat kau mempertanyakan ‘potongan puisi’ dalam
Serat Dapala di satu sisi, tapi menggunakan ‘sepotong judul’ saya sebagai judul tulisanmu
di sisi yang lain, sebab itu namanya ‘bunuh diri’. Kecuali jika kau menggunakan
metode baca ‘yang-lain’.
Ya
sudahlah. Semoga saja tulisan yang belum tulisan ini bisa merangsangmu untuk
menulis lagi. Dan tak lupa saya juga berterimakasih sebab lewat tulisanmu itu
saya jadi terangsang untuk menulis lagi. Barangkali memang benar, tulisan yang
baik adalah tulisan yang mampu merangsang pembacanya untuk menulis, menjadi
penulis. Sekiranya pujian, sikap legowo, dan segenap keterbukaan saya menerimamu
sebagai sahabat sudah tertera di situ. Dan, jika berkenan membaca karya saya
lagi di kemudian hari, semoga hasil bacaanmu tidak berakhir sebagai gossip, melainkan menjadi ulasan yang
mengupas secara tajam hingga unsur ter-taboo
sekalipun sebagai wacana yang layak untuk diperbincangkan. Salam kompor.
—ha—
Bikini Bottom,
21012016
Label:
Buku,
Esei,
Haz Algebra,
Naskah Bunuh Diri,
Surat Pembaca
“Kau Tidak Menulis, Haz, Kau Berak!”
Oleh: Javid
D.
(Penikmat Sastra, cover desainer & illustrator Naskah Bunuh Diri)
Sapardi memiliki ‘Pengarang telah Mati’.
Seseorang yang namanya saya lupa juga punya ‘Matinya Pengarang Tersantun di
Dunia’. Lalu secara metadramatis, Algebra juga menulis tragedi saling bunuh
“Para Penulis” (bisa dibaca: Pengarang) pada resepsi kematian tuhan dalam ‘Perjamuan
Terindah Sepanjang Masa’-nya.
O, tuhan, apa yang telah terjadi? Pengarang telah mati, lalu kini ada ‘Naskah
(yang) Bunuh Diri’? Mengapa begini? Kepada siapa kami (pembaca) akan kembali?
O, saya lupa, Tuhan (juga) telah mati. O, betapa sedih…
Belanja Sampai Mati
Pasca drama pembunuhan Tuhan oleh
Nietzsche, seperti percepatan kemajuan sains dan teknologi, secara simultan
segala sesuatu yang selama ini merupakan elemen dasar kehidupan telah
dihancurkan, dan dunia berada dalam riam yang bergolak, stadium lima umwertung aller werte (transvaluasi
nilai besar-besaran), dalam suatu krisis tanpa tanding, krisis kematian segala
sesuatu—sedari komunikasi sampai politik, dari filsafat sampai ideologi,
bahkan, subyek (‘diri’ dalam pengertian psikologis maupun transenden) yang
mencipta segala kondisi itu juga telah mati, terkurung dalam hukum dan
diskursus ciptaannya sendiri. Kidung-kidung sedih ini pun diselingi dengan
nada-nada sinis, pesimistis, fatalis dan serba relatif dalam menjalani
kehidupan di era matinya segala sesuatu.
Di
dunia teoritik, kematian subyek—yang sekaligus menandai kematian kesadaran dan
kebebasan manusia—itu dikepung dari berbagai penjuru. Sebut saja di antaranya:
Psikoanalisis Freudian yang menyuarakan kepribadian subyek dikendalikan oleh
alam bawah sadar (bukan kesadaran), Behaviorisme yang memandang perilaku subyek
dibentuk oleh faktor eksternalnya, lalu Neurosains yang menunjuk lokus
“kesadaran” pada dasarnya merupakan fungsi dari neuron-neuron dalam sistem
saraf pusat yang sudah established. Adapula Strukturalisme yang meyakini
perilaku manusia merupakan fungsi dari struktur atau sistem yang
mengungkungnya. Dan yang terakhir yang tak kalah canggih berasal dari
Posmodernisme (atau sering disebut posmo, beserta gejala posmodernitasnya) yang
memproklamasikan matinya subyek, subyektivitas, kebebasan, dan juga kesadaran.
Bahkan, humanisme diramalkan telah mati.
Di
dunia riil tak kalah pelik. Gelombang kematian subyek tak terbendung lagi
tatkala sistem ekonomi dan politik yang mengatur hidup kita hanya menempatkan
manusia sebagai komponen-komponen atau komoditas-komoditas ekonomi dan politik,
sebagai manusia nomor-nomor serial, manusia angka-angka statistik. Kapitalisme
kontemporer yang menjelma konsumerisme habis-habisan mereduksi subyek (alias
manusia tadi) menjadi tak lebih dari robot-robot ekonomi yang terprogram dengan
baik, mengurung subyek dalam rutinitas semu pendulangan profit, dan terlebih
menyulap subyek menjadi pembela-pembelanya sekalipun sang subyek tersebut pada
dasarnya justru sedang dieksploitasi.
Subyek
dalam simulakrum (ruang simulasi tanda) konsumsi itu bukanlah representasi dari ‘Yang Ada Yang Absolut’, atau
diri an sich, melainkan citraan yang
terus menerus menyusun dan meluluhlantahkan bangunan kepribadiannya sendiri,
sebuah kondisi skizofrenik, yang menarik seluruh hak prerogatif diri sebagai
mainstream subyek sui generis dan
menjatuhkannya ke dalam locus of deepened
dependence, keterjeratan pada sarang laba-laba, istilah Asyhadie, di mana
benda-benda yang diproduksi dilahap tanpa jeda, dikunyah dalam sebuah
keterpukauan, gairah yang menyala, ekstasi tak bertepi, yang kadarnya semakin
lama semakin dipertinggi oleh lack,
perasaan yang terus menerus direproduksi oleh apa yang disebut Deleuze dan
Guattari sebagai mesin hasrat (desire
machine).
Bahkan,
tak sampai di situ, ketika dunia direlokasi pun ditransmutasi ke dalam bentuk
teks atau tulisan, tetap saja tak ada harapan yang menghembuskan napas bagi
subyek. Dalam ‘tradisi’ kepenulisan posmo itu, pengarang, the author, subyek juga dimatikan, hingga tak ada lagi ruang bagi ideologi, pesan, atau informasi dari
sebuah teks, hanya gelak komunikasi dan canda tanda. Jika selama ini teks,
buku, kitab, tulisan dianggap sebagai totalitas yang menyimpan transendensi
tertentu, kesucian, kebenaran dan keabadian, maka kini tulisan tak lagi
merupakan teritori tertutup, melainkan menjadi sebuah sabana luas yang terbuka,
tak seorangpun boleh mengklaim kepemilikannya, ia menjadi provinsi yang
senantiasa ternoda, ruang massa tanpa hak paten. Dan para pembacalah yang akan
melucuti setiap tulisan itu dari katedral suci dunia penciptaan atau produksi
dan masuk ke dalam kubangan konsumsi, dan seterusnya… kloset!
Lalu, masih adakah ruang bagi kita
membicarakan diri ‘yang hidup’, sosok subyek yang berkesadaran, wacana
kebebasan, autoritas ke-Aku-an seperti “aku berpikir maka aku ada”, ketika
segala sesuatunya telah dinyatakan mati?
Deretan
fenomena semacam itulah yang tampaknya ingin disuguhkan sekaligus digugat oleh
Naskah Bunuh Diri (2015), antologi 3
cerita dari Haz Algebra, seorang penulis muda dari Manado, yang
kemunculannya kembali di dunia sastra diam-diam menghanyutkan.
Pada
sebuah Warning di “Jalan Sunyi Sang
Naskah…Kepada Pembaca yang Berbahagia” ia memaparkan proses kreatif menulisnya
sebagai aktivitas ‘belanja tanda’ dari “sekian buku yang terbaca,” seperti
mengaminkan kata Barthes, bahwa “teks adalah
sebuah jaringan kutipan-kutipan yang diambil dari pusat-pusat kebudayaan yang
tak terhitung jumlahnya..,” atau apa yang disebut Julia Kristeva sebagai
intertekstualitas; atau dekonstruksi, kata Derrida. Maka ‘menulis’ pun kemudian tak lain dari sekedar
pembelanjaan dan pendekontruksian tanda dalam rangka bermain-main dengan tanda
itu sendiri, citraan dan medianya.
“Dilahirkan
di kedai-kedai Kopi tak suci… mulanya Sang Naskah hanyalah ide yang tunggal,
sederhana, dan kesepian… yang menampakkan diri setelah sekian buku yang
terbaca…,” demikian
bunyi kalimat Haz Algebra membuka Peringatannya (Naskah Bunuh Diri, hal. xi).
Kita
pun bisa mengautopsi ketujuhbelas cerita (yang sebagian besar pernah dimuat di
oase Kompas.com) yang dibaginya dalam
trinitas gelap-jeda-harap itu yang
mendapatkan bentuknya lewat strategi transposisi, yaitu pelintasan dari satu
sistem tanda ke sistem tanda lainnya, yang dalam perjalanannya—sepanjang
lintasan tersebut—satu atau sebagian sistem tanda yang digunakan meng-coup d’etat sistem tanda referensi yang
seringkali merupakan narasi-narasi besar (grand
naration).
“Tentang Tiga Monster dalam Tubuhku,”
misalnya, Algebra mengangkat tradisi Marxisme kemudian mengembalikannya ke asal
psikoanalisis Freudian lalu membunuhnya dengan pisau eksistensialisme. Bisa
jadi, Tentang Tiga Monster (TTM) juga merupakan kode untuk Tuhan Telah Mati
(TTM) dalam Tubuhku, seperti bentuk (bukan makna) ceritanya sendiri. Dan,
barangkali ini adalah kode awal untuk membaca seluruh cerita Algebra. Sebab
ketika “Tuhan telah mati,” kata Dostoevsky mengimprovisasi Nietzsche, “segala
sesuatunya diperbolehkan...,” dan ketika pengarang telah mati, bukankah berarti
segala tafsiran terhadap tulisan juga diperbolehkan?
Dari isu eksistensialisme itu Algebra
meneruskan ceritanya ke hikayat posmodernisme yang justru membahayakan
eksistensialisme itu sendiri. Salah satunya dalam “Syahdan, Pada Suatu Hari”.
Di sana, kita bisa memasuki dunia hibrida yang dibangun dari psikoanalisis
Lacanian dan larutan konsumerisme Baudrillard, tentang tokoh Aku (seorang anak
bernama Lakra; terdengar seperti dicomot dari kata ‘simulacra’) yang tak lagi
hidup dalam bayang-bayang sosok Bapak/Ayah (in
the name of Father, Superego),
melainkan terjerat dalam ruang konsumsi “dongeng pengantar tidur” yang
diciptakan oleh tokoh Ibu. Dan karena dorongan (penikmatan, Enjoy!, Jouissance) dari dongeng yang sengaja diulang-ulang, direproduksi
terus-menerus oleh tokoh Ibu, Aku menjadi kehilangan diri, bahkan menjadi
dongeng itu sendiri, lalu sang Aku menjadi pembunuh Superego, Ayahnya sendiri.
Dalam cerita itu, tokoh Aku mengafirmasi
subyek yang tak berkesadaran, dan selalu dalam kondisi penundaan makna diri. Ia
semacam “diri yang berkehilangan,” meminjam Lacan, yang selalu terdislokasi,
selalu retak, selalu gegar, dan selalu terbelah (sehingga selain nama Lakra, ia
juga punya nama lain: Lang). Subyek tak berkesadaran berarti pula tak bebas,
karena kondisi pasca hancurnya Superego/Bapak/Tuhan/Yang
Absolut itu harus ditebus dengan beban yang termanifestasikan dalam kerinduan
akan disiplin, yaitu disiplin dalam rangka memenuhi kewajiban untuk menikmati,
atau perintah untuk menikmati segala seluas-dalamnya. Seperti kata Zizek, “‘Enjoy!’
is superego,” seperti tokoh Aku/Lakra/Lang yang, hingga akhir cerita, terus
hidup dalam simulasi dongeng penghancur kesadaran yang diciptakan oleh sang Ibu
(Jouissance).
Cerita-cerita
Algebra itu terus bergerak membentangkan aforisme, berkelindan dengan
feminisme, menyuarakan kegilaan, perayaan kematian, absurditas, seksualitas
hingga spiritualitas. Dan buku ini, sekiranya sudah tak
menyisakan ruang bagi apa yang disebut kategori, genre, hingga jenis kelamin
sastra. Ia tidak mewakilii satu ‘tradisi’ apapun, tetapi tidak pula berdiri
pada semua ‘tradisi’. Ia, misalnya dapat dibaca (jika tak dianggap berlebihan)
sebagai cerita-cerita teosufi, metafisis, saintifik, filosofis, psikologis,
kriminologis, posdetektif dan tentunya semiotis, yang sudah dikomodifikasi.
Operasi menulis seperti ini tentu
saja meruntuhkan anutan terhadap diskursus universalisme Hegelian yang
menandaskan bahwa karya sastra (atau tulisan pada umumnya) adalah ekspresi diri
si subyek, karakter si pengarang, dan otentisitas sebuah karya diidentikkan
dengan ‘orisinalitas’ pemikiran sang pengarang, sang pencipta, sang pengkarya.
‘Kejeniusan’ Algebra dalam meracik tema-temanya mengukuhkan alegori: “tak ada
yang baru di bawah matahari”. Sehingga apa yang disebutnya sebagai “ide yang
tunggal, sederhana dan kesepian” itu, baginya dan bagi Barthes “sudah tak punya
tempat lagi”. Ia telah “membelah dirinya” dan berlari menjauh bahkan “mati”
bersama konsep “pengarang” yang muncul sejak Abad Pertengahan bersama semangat Cartesian
(melalui cogito ergo sum itu).
Tumpukan
Sampah Pasca Konsumsi
“(Sebab) kita terlahir di antara air kencing dan
kotoran.” –
St. Augustinus (Naskah Bunuh Diri, hal. 161)
Adalah tak mungkin, seseorang menulis
tanpa pernah mengenal tulisan. Sebab pada prinsipnya, seluruh tulisan merupakan
jelajah metamorfosa yang mengalami penambahan atau reduksi dari tulisan-tulisan
sebelumnya. Hanya ego pengarang saja yang menolaknya, menutupi proses kreatif
kepengarangannya itu dengan istilah-istilah orisinalitas, temuan, ilham, gagasan, atau suara-suara bawah sadar, seolah-olah tulisan yang dicipta begitu saja menyembul dari
ketiadaan.
Pramoedya Ananta Toer, yang masih
berstatus pengarang muda dulu (tanpa mengurangi rasa hormat) pernah dikatai
(untuk tidak menyebut dimaki) oleh Bung Idroes, tatkala karya-karya awalnya
dibaca oleh gurubesar sastranya kala itu. “Kau tidak menulis, Pram, kau berak!”
Begitu kata Bung Idroes.
Dengan locus dan tempus kasus yang
berbeda, seorang ‘pembaca budiman’ (dalam pengertian ‘pembaca yang menggunakan
kuasa rasio modernis’ sebagai hakim) bisa saja menggunakan pasal KTM-KB itu
untuk memvonis mati tulisan yang diracik dengan ‘gaya’ posmo. Apa sebab?
Operasi kebermainan dari pembelanjaan tanda yang ‘comot sana-sini’ dapat
berakibat pada ramuan tulisan yang disajikan seorang pengarang berakhir sebagai
‘gado-gado tanda’ yang mungkin saja sudah basi, tanpa kebaruan, tanpa karakter,
tanpa segala ‘tetek-bengek’ modernisme itu, kecuali permainan sisa-sisa sampah
dari apa yang telah dihancurkannya, dicernanya, dikonsumsinya.
Algebra pun terus mengafirmasi bahkan
lebih mempertajam kritik itu dengan caranya sendiri. Pada ‘wasiat terakhir’
dalam Naskah Bunuh Diri-nya, ia meramalkan kejatuhan tulisannya ke dalam
“tumpukan sampah sastrawi” dan menolak “diberhalakan”, yang tidak lain
merupakan bentuk akhir ‘ke-Aku-an’ pengarang sekaligus penyerahan anatomi teks
atau wacana yang tersaji secara teks keseluruhan kepada Sang Bahasa, dan atau
pembacanya.
Tapi mengapa pembaca yang dituju Algebra
bukanlah “kepada pembaca yang budiman” melainkan “kepada pembaca yang
berbahagia”? Apakah di era matinya segala sesuatu, tren ‘pembaca yang berpikir’
juga telah berakhir, disubstitusi oleh ‘pembaca yang sekadar menikmati’ bacaannya
dalam kebahagiaan seperti fenomena larisnya teks-teks dangkal (untuk tidak
menyebut buku-buku picisan) di toko-toko buku? Hal yang relatif pasti, Algebra
yang telah sublim sebagai hamparan teks itu tampak hendak merayakan ketubuhan
teks, kuasa tubuh (teks) dengan segala kepalsuannya sebagai subyek sekaligus
obyek konsumsi.
Pada
daftar isi kita bisa melihat wacana (baca: propaganda) ketubuhan yang masih
utuh tentang: kepala (otak,
intelektualitas), bibir (mulut,
oralitas), dan kelamin (seksualitas).
Tiga organ paling konsumtif dan terseksi, yang sekaligus menjadi tiga alasan
seseorang mau melakukan apa saja demi pemenuhannya, bahkan mungkin pula bunuh
diri karenanya. Siapa yang dapat disebut hidup atau ‘mampu hidup’ tanpa kepala
untuk berpikir, tanpa mulut untuk makan minum, tanpa alat kelamin untuk
orgasme? Dan siapa pula yang libido konsumsinya tidak bangkit ketika berpapasan
dengan keseksian sebuah pemikiran, kelegitan sebaris bibir dan atau kedalaman
organ seksual?
Di
sanalah kepalsuan itu diracik, dipoles dan dibumbui ilusi. Dialogisme, alegori,
dekonstruksi dan bahkan pastiche yang
saling bertaut tindih pada “Segulung Cerita Tua dalam Kepala”; erotisme
‘sufistik’ yang berkanjang “Di Bibirmu Bibirku Bersujud”; hingga penjelajahan
lorong-lorong ‘bio-filosofis’ dan spirito-seksualitas dalam “Fantasi dari
Negeri Kelamin”. Ada satu hal yang bisa kita tangkap di dalamnya; sebagai
fiksi, permainan-permainan tanda yang dihadirkan itu menampilkan dusta yang
padat meyakinkan sekaligus omong kosong maha besar yang memualkan—namun saking
memualkannya, sampai-sampai kita tak ada waktu untuk berpikir di dalamnya.
Kebohongan
itu, kepalsuan itu, akan membetot seluruh rasa lapar dan menggelitik gigi kita
untuk terus-menerus mengunyah, atau mungkin saja menelannya bulat-bulat, atau
mencernanya demi alasan kesehatan dan kemantapan performa tubuh. Namun, sebelum
santapan itu tandas, kita tersentak, karena bukannya mengenyangkan atau membawa
kesehatan, tapi malah membuat kita menderita sembelit!
Sampai
di titik itulah, di bagian akhir setiap pembacaannya, Naskah Bunuh Diri
menggugat dirinya. Ia seperti mencoba menghadirkan “subyek politik radikal
emansipatoris” (meminjam Zizek) yang di dalamnya sekaligus merupakan
keberadaannya sendiri. Subyek
final itu (yakni subyek final Hegelian yang dijungkir-balik oleh Zizek) ialah
subyek yang mampu melakukan tindakan-berlawanan dari kenikmatan belanja dan
mengonsumsi kebohongan-kebohongan absolut tadi; ia subyek yang hendak membuang
kesembelitannya akibat makanan pengetahuan yang mengisi ‘Jalur Sutra’
pencernaannya dengan mengakhirinya di dalam “Toilet Tempat Arwah Para Filosof”,
dengan cara: BNB (Buang Narasi Besar)... berak intelek!
Dengan kata lain, subyek final Naskah
Bunuh Diri adalah ‘subyek yang kosong’ pada dirinya, yang melalui kekosongannya
(peniadaan, negativitasnya, ‘bunuh diri’) itu, ia lalu memiliki kapasitas untuk
bertindak secara positif melampaui halangan-halangan simboliknya. Kekosongan
itu juga lalu menonjokkan rasa kosong kepada
penikmatnya—yang muncul sebab kita telah kehilangan kenikmatan kebohongan dan omong
kosong, dan melayangkan lambung jiwa kita serasa ke ruang udara hampa—seperti
tatkala membaca laku para Wayang yang bergerak-berlawanan dari Undang-Undang
Dalang dalam “Segulung Cerita Tua dalam Kepala”; seperti secangkir Kopi yang
rela mengosongkan dirinya dari segala macam substansi yang mengisi dan mewarnai
sejarahnya dalam “Di Bibirmu Bibirku Bersujud”; atau seekor Sperma Unggul dalam
“Fantasi dari Negeri Kelamin” yang menghendaki kehancur-leburan diri dan segala
riwayat kepercayaannya hanya demi sebuah verifikasi: perjumpaan dengan
kebenaran (jati diri).
---
PS:
Ketika teks terlahir, pembaca lahir,
pengarang mati. Ketika pembaca memproduksi makna, pembaca sekonyong-konyong menjelma
pengarang (makna) pula. Lingkaran ‘oksimoron’ pun terbentuk, seperti ular yang
menggigit ekornya sendiri. Dus, siapa pun, setelah mengarang risalah baca seperti
ini, akan layak turut ‘mati’. Maka tulisan ini juga tidak lain adalah senarai
upaya ‘bunuh diri’. Apalah itu, tak perlu sedih. Sebab ada pepatah: pembaca
menggonggong, pengarang berlalu.
-jd-
Desember 2015, Kota J.
(di
depan pintu sebuah toilet yang berisi seorang pengarang).
Sumber: suluttoday.com
Label:
Buku,
Esei,
Haz Algebra,
Naskah Bunuh Diri,
Surat Pembaca
10.8.13
Puisi yang Gagal Terekam (Pada Sebuah Acara Resepsi Pernikahan)
Puisi saya ini berjudul "Monumen Penghancur Identitas" yang dipersembahkan "Buat Andrew-Astrid, dan cinta yang datang dari dua novel berbeda". Sukses dibacakan oleh Reiner Ointoe (seorang Penyair senior juga Budayawan Sulut yang telah banyak menulis buku puisi) pada malam resepsi pernikahan Andrew & Astrid @ Manado Convention Center 9/8/2013.
Tapi entah kenapa, saat pembacaan memasuki bait pertama, di belakang saya terdengar seorang berkata berulang-ulang kepada kameramen: "jangan di-record!" lalu tiba-tiba sebuah panggilan masuk muncul di layar BB saya yang sedang khusyuk merekam momen pembacaan itu. Dan seketika itu pula BB saya 'heng', tombol tak berfungsi, tampilan layar tak berubah, meredup, semakin meredup, lalu mati.
*Menyebalkan!*
Read More...
Tapi entah kenapa, saat pembacaan memasuki bait pertama, di belakang saya terdengar seorang berkata berulang-ulang kepada kameramen: "jangan di-record!" lalu tiba-tiba sebuah panggilan masuk muncul di layar BB saya yang sedang khusyuk merekam momen pembacaan itu. Dan seketika itu pula BB saya 'heng', tombol tak berfungsi, tampilan layar tak berubah, meredup, semakin meredup, lalu mati.
*Menyebalkan!*
25.7.13
Membongkar “Campur Tangan Tuhan” dalam Cerpen Haz Algebra
Oleh:
Javid Deo
A N T A R A N
Sebuah
toko buku, pada barisan buku-buku sastra. Ketika itu saya hendak mencari bacaan
untuk sedikit berkontempelasi di waktu senggang. Dan buka demi buka, pencarian
saya tertahan pada sebuah Kumpulan Cerpen dan Puisi bersampul ‘manekin’ yang
memakai setelan jas rapi dengan bentuk kepala serupa dinamit pada latar warna
putih.
Bungkusannya
saya buka (tentu saja dengan seizin penjaga). Lalu baca demi baca, sebuah
cerpen berhasil mengaktifkan sensual
pleasure of reading[Barthes] saya untuk terus melakukan
pembacaan terhadapnya—tatkala saya menemukan banyak pengaruh filsafat dan
bahasa simbol di dalamnya. Dalam situasi macam itu, saya merasa waktu dan ruang
(di toko buku) tidak cukup untuk melakukan invenstigasi lebih jauh. Saya harus
membawanya pulang. Saya putuskan untuk mengorbankan cokelat dan bunga valentine untuk pacar saya, dengan
membeli buku itu.
Ruang
kamar. Buku-buku filsafat sudah tersusun di atas meja. Saya duduk menghadap
laptop, dan tangan saya menggenggam “AMARAH”.
Cerpen
yang membuat saya bertapa di malam kasih-sayang itu adalah karya Haz Algebra,
yang berani mengklaim isi ceritanya sebagai “Perjamuan
Terindah Sepanjang Masa”. Tentu saja itu hanya klaim. Apalagi ketika
Algebra menggunakan “tuhan” (di tulis dengan “t” kecil) sebagai tokoh utamanya.
Karena saya yakin pula, bukan buku ini yang telah mendapatkan anugerah International Best Seller itu.
Baiklah.
Saya menulis tulisan yang belum tulisan ini bukan sebagai resensi atas buku
“AMARAH” yang dahsyat itu. Bukan pula niat saya untuk tujuan promotif—meskipun
saya bukan pesulap yang harus berkata kepada Algebra, “Kita belum pernah kenal
sebelumnya, kan?”—melainkan sekadar racauan (untuk tidak mengatakan ‘tafsir’)
atas pembacaan saya terhadap cerpen Haz Algebra itu. Dan sebagai racauan, tentu
saja tulisan ini berpotensi melemahkan muatan dalam cerpen itu, dan sebenarnya
tak teramat dibutuhkan serta bisa dilewatkan.
R A C A U A N
Pada mulanya adalah teks.
Ah, sudahlah. Saya memulai pembacaan saya pada bagaimana Algebra melakukan
proses transisi metafora dari abstrak ke konkrit (the logic of concrete)[Strauss], yakni dari
ide/gagasan/konsep ke dalam struktur teks (latar, alur, tokoh, dll) dalam
cerpennya.
Sebagai
salah satu cerpen yang terangkum dalam buku antologi hasil perlombaan, saya
menemukan pada ilustrasi sampul belakang “AMARAH” bahwa ide dasar pembuatan
semua karya dalam buku itu ialah amarah terhadap ke-bhinneka-an Indonesia yang tidak lagi tunggal-ika(?)
Dari
situ akan muncul variasi perspektif ihwal diskriminasi, marginalisasi,
kekerasan atas nama agama, cinta tapi beda dan berbagai ketimpangan-ketimpangan
sosial lainnya dalam konteks masyarakat plural di Indonesia.
Algebra,
dalam cerpennya tampak mengambil varian kekerasan atas nama agama sebagai ide
dasarnya. Dan jika agama berafiliasi dengan Tuhan, dapatkah kita mengatakan
bahwa tindak kekerasan atas nama agama tidak lain adalah tindak kekerasan atas
nama Tuhan?[Armstrong]
Darinya
Algebra menkonkritkan ide itu dengan (mengambil resiko) mempersonifikasi Tuhan
sebagai tokoh utamanya. Namun itu sah-sah saja menurut saya, karena bukankah
Tuhan telah mempersonifikasi diri-Nya sendiri secara dialogis dalam bahasa
manusia (Kitab Suci) tatkala Ia memperkenalkan diri sebagai “Aku”?
Gagasan
yang sangat klasik. Tapi untuk lebih menghidupkan gagasan itu, Algebra
menciptakan latar dua dunia. Kita sebut saja, dengan meminjam istilah Plato: dunia idea dan dunia fisika; di mana Algebra menceritakan bagaimana kehidupan
Tuhan di dunia idea dan bagaimana
Tuhan dihidupkan di dunia fisika.
Sekilas
tampak kontradiksi memang ketika proses mengkonkritkan ide dengan memakai latar
dunia idea pula. Akan tetapi, di
sinilah letak keunikannya ketika Algebra mereduksi deskripsi dunia idea Plato dengan narasi a la alam bawah sadar Freud yang
sederhana tapi penuh intrik, antara tokoh “tuhan” dengan tokoh lain: “Para
Penulis”.
Pada
alur, cerita Algebra bermula dari dunia
idea, yang ia sebutkan sebagai “Hari Keenam –yang bukan hari keenam kita–”.
Alur tersebut terus maju membawa kita membaca alur penciptaan seperti dalam Bible pada Bab Kejadian, tapi dengan
perspektif berbeda.
Dan
ketika cerita sampai pada “Hari Ketujuh,” di mana cerita semakin menanjak
mencapai klimaks, tiba-tiba terjadi patahan alur sebelum anti-klimaks. Algebra
dengan cerdik mengejutkan kita dari dunia
idea—seolah-olah menyadarkan kita dari mimpi-mimpi bawah sadar—untuk
kembali melihat fakta di dunia fisika.
Ia,
dengan nada sendu, mengajak kita untuk kembali pada “Hari Pertama,” yang tidak
lain, katanya, adalah “–hari pertama kita.” Semacam nostalgia, tapi bukan.
Lalu makna.
Seluruh struktur jalinan teks yang kering dan literal dalam cerpen Algebra
membentuk semacam sistem tanda, maka tugas saya sebagai pembaca ialah melakukan
investigasi terhadap deep structure-nya[Strauss].
Tapi cukupkah dengan mengatakan cerpen itu pada dasarnya hanya bercerita
tentang kekerasan atas nama agama, lalu selesai?
Saya
pikir tidak. Setiap karya yang berdimensi filsafat memiliki potensi pencerahan
yang ingin menerangi pikiran dan menyapa hati para pembacanya. Dan untuk cerpen
ini, saya berasumsi bahwa Algebra mencoba merumuskan makna pengalaman yang
kerap terlampau pelik dan kompleks untuk dirumuskan—lewat simbol-simbol yang
“asal-comot” sana-sini, seolah-olah ingin menyampaikan dengan tidak terus-terang
tentang sebuah perspektif “campur tangan tuhan” dalam fenomena tindak kekerasan
atas nama agama, bahkan barangkali, melampaui ihwal itu.
Saya
berasumsi pula, cerpen ini lahir dari ruang privat yang penuh nuansa
kontempelatif, sehingga dibutuhkan active
power of reader[Barthes] untuk menggali kembali setiap
lapisan-lapisan tak sadar di balik struktur bahasanya, yang melacak jejak makna
purba di balik kata-kata dan dengan itu mengubah cara kita berpikir dan merasa.
Tengoklah
tatkala Algebra menggambarkan karakter tokoh tuhan sebagai sosok multi-talenta
yang “ambisius dan narsis,” lalu dikritik oleh tokoh Para Penulis dengan
ungkapan “…terlalu. Huh!”[Rhoma?]
Ada
pula istilah “roti dan anggur” yang dikambing-hitamkan sebagai penyebab
kematian tuhan. Tapi kemudian Tuhan seolah hidup lagi dan ‘dituduh’ mengambil
“daging dan darah” para korban pemboman di rumah-Nya sendiri.
Yang
saya tidak habis pikir, kenapa pula tokoh tuhan harus dipertentangkan dengan
Para Penulis? Siapakah yang dimaksud dengan Para Penulis itu, para Nabi-kah
atau para Malaikat-kah? Tapi mengapa pula Para Penulis digambarkan “dengan
setelan jas rapi juga safari”? Apa hubungannya antara berebut tulisan tuhan di dunia idea dengan peristiwa pemboman
rumah ibadah di dunia fisika? Jika
kedua dunia itu berhubungan, lalu siapa sebenarnya yang menyebabkan terjadinya
kerusakan di dunia fisika, tuhan-kah
atau Para Penulis?
Oke.
Mari kita coba racaumatiskan sistematiskan segala macam kekacauan ini.
Begini: diceritakan pada “Hari Keenam,” tokoh tuhan sedang mempersiapkan
dirinya untuk menjadi ‘penulis’ terkenal setelah di hari-hari sebelumnya ia
sudah terkenal sebagai ‘pencipta,’ ‘pengatur,’ ‘penginspirasi,’ ‘pecontoh,’ dan
‘penyembuh’(?) Di sinilah kemudian tokoh Para Penulis muncul dengan amarahnya
hingga berencana membunuh tuhan.
Pada
bagian ini, tuhan digambarkan sebagai tokoh penuh ambisi yang ingin menguasai
segalanya, sedangkan Para Penulis digambarkan sebagai pihak yang marah karena
merasa terganggu dengan perilaku tuhan yang seenaknya saja itu. Tokoh tuhan
semacam sosok totalitarian yang mapan (ia adalah segalanya, segalanya adalah
ia), sementara Para Penulis terpahami sebagai “yang-lain,” yang ingin membela
eksistensinya.
Pada
bagian “Hari Keenam Malam,” pemahaman kita terhadap tokoh-tokoh akan berubah
seratus delapan puluh derajat, di mana tuhan digambarkan sebagai sosok
sederhana yang “tanpa alas kaki,” sedangkan Para Penulis sebagai sosok yang
borjuis, “dengan setelan jas rapi juga safari”.
Jika
kita menafsir “jas rapi juga safari” itu sebagai busana yang biasa dipakai oleh
mereka yang duduk di pemerintahan (para penguasa), maka barangkali pertentangan
tuhan vs Para Penulis sengaja dihadirkan untuk menggambarkan kuasa yang selalu
tidak stabil. Bukankah ada istilah bahwa sejarah selalu ditulis oleh penguasa?[Marx]
Kita
lewatkan dulu ihwal sejarah, sembari menghadirkannya sebagai historitas dalam
teks. Sekarang timbul pertanyaan lagi, jadi di antara tokoh-tokoh itu, siapakah
yang sebenarnya ingin mempertahankan eksistensinya? Apakah Para Penulis yang
tak ingin ladangnya dikuasai? Ataukah tuhan yang ingin menuliskan sendiri “hikayat tentang dirinya ..,autobiografinya, karya-karyanya, sejarahnya dan segala yang melekat pada
dirinya,”
karena kecewa terhadap orang pilihannya yang berkhianat?
Tapi
malam “Hari” itu, ketika rencana Para Penulis sedang dijalankan, pemahaman kita
terhadap kedua tokoh itu kembali dijungkir-balikkan dengan penggambaran sosok
tuhan yang sombong (seperti tampak dalam khotbahnya), sedangkan Para Penulis
seolah tak sanggup berbuat apa-apa kecuali menunggu tuhan masuk dalam jebakan
“racun” mereka.
Meskipun
pada akhirnya rencana membunuh tuhan itu berhasil, akan tetapi tuhan tampak
menang dari katanya: “Dasar
pecundang. Jangan sebut aku tuhan jika aku tak tahu apa yang kalian pikirkan!”
Bahkan
kematian tuhan (terlepas dari apa yang membunuhnya: panah, pisau, pistol atau
racun) meninggalkan misteri pada secarik kertas yang bertuliskan: Terima kasih untuk roti dan anggur kalian.
Tokoh
tuhan mati setelah khotbahnya diinterupsi, tepat di “Hari Ketujuh”. Kemudian
adegan terus berlanjut dengan perkelahian di antara Para Penulis yang
memperebutkan tulisan tuhan dan berakhir dengan saling bunuh membunuh.
Akan
tetapi, ketika cerita tiba di bagian “Hari Pertama,” peristiwa saling bunuh
juga terjadi, seolah baru saja dimulai, di mana Tuhan ‘kembali hidup’ dan
‘dituduh’ sebagai biang keladi peristiwa itu: “Tuhan, apa salah kami hingga Kau meminta daging dan darah kami?”
“Hari
Keenam-Ketujuh” dan “Hari Pertama” adalah dua dunia yang berbeda—di mana yang
satu bersifat universal/transendental sedang yang lain
partikular/kasuistik—tapi berhubungan. Ketika di dunia idea Para Penulis marah dan membunuh tuhan, maka di dunia fisika setelahnya, Tuhan seolah
marah dan kembali untuk melakukan ‘balas dendam imajiner’. Ketika dunia idea menandai kematian tuhan pada
misteri “roti dan anggur,” maka pada dunia
fisika kematian ditandai dengan jiwa-jiwa yang berlarian menanggalkan
“daging dan darah.”
Dari
sini, saya memahami bahwa kejadian dalam dunia
idea adalah penyebab tragedi dalam dunia
fisika. Sebagai sebab, “Hari Keenam-Ketujuh” menjadi sebuah masa lalu, dan
“Hari Pertama” sebagai akibat menjadi masa kini atau masa depan dari masa lalu.
Demikian halnya dengan metafora “roti dan anggur” yang bertransisi secara
konkrit sebagai “daging dan darah.” Jadi, sebenarnya struktur cerpen Algebra
itu membentuk sejarah kausalitas yang berdialektik[Hegel]; fenomena
di dunia fisika adalah bayangan dari dunia idea[Plato].
Tapi
muncul polemik baru ketika ternyata, struktur sejarah dalam cerpen itu tidak
berjalan dalam garis lurus, melainkan tumpang-tindih, aforistik dan arbitrer.
Cerpen itu tidak sepenuhnya menganut prinsip iluminasi Platonik atau dialektika
sejarah a la Hegelian melainkan juga
sejarah a la Derridian; meskipun
“Hari Pertama” merupakan kelanjutan sejarah atau masa depan dari “Hari
Keenam-Ketujuh,” tapi bukankah “Hari Pertama” juga merupakan masa lalu dari
“Hari Keenam-Ketujuh”?
Derrida
berkata, “Masa lalu menjadi the field of
trace, sabana yang dipenuhi oleh tapak kaki, yang di dalamnya
ketidakhadiran tersusun dalam sebuah jaringan kerja perbedaan dan penundaan (defferance)… Tak ada totalitas yang
hadir dalam kekinian.”
Bukankah
kekinian dan kesinian yang gelap pun ketika kita membayangkannya,
merekonstruksinya, merepresentasikannya, ia dengan tiba-tiba menjadi masa lalu
yang lain?
Dalam
cerpen Algebra itu, masa lalu juga merupakan ruang, yang sama dengan masa kini
maupun masa depan. Karena jika masa lalu bukan sebuah ruang, maka trace (dunia jejak-jejak) tak mungkin
ada di dalamnya. Dan semisal jejak-jejak itu tersilapkan, itu berarti ia tidak
ada, sebuah ketiadaan, sesuatu yang bukan apa-apa, yang tak berarti.
Itu
akan mengakibatkan kefatalan: tokoh tuhan sebagai totalitas atau kepenuhan dari
Yang Ada dalam cerita, pusat dari setiap lembar halaman, huruf dan kalimatnya,
yang merupakan eksterioritasnya, luluh lantak; tokoh tuhan hanya akan menjadi
masa lalu di “Hari Ketujuh”, menguap di kaca jendela dunia idea. Dan sebagai masa lalu, tuhan berada dalam sebuah labirin
waktu yang gaib, ia hanya terartikulasikan oleh masa silam dan tertuliskan di
dalamnya.
Akan
tetapi, tuhan yang terkurung dalam simbol itu menjadi labirin sekaligus
membentuk labirin yang di dalamnya termasuk keberadaannya sendiri, sebuah dunia
tak bergaris. Dan ia ada, hadir, atau setidaknya ia pernah ada atau hadir meski
kemudian terhapus atau tersilap.
Inilah
yang menyebabkan meski tokoh tuhan dikatakan “mati” di “Hari Ketujuh,” namun ia
(juga-sekaligus) ‘hidup’ di “Hari Pertama”. Terdapat ‘tepian’ yang genting pada
perpindahan alur dari “Hari Ketujuh” ke “Hari Pertama”; alur yang tidak bisa
dikatakan maju, tidak bisa pula dibilang mundur.
“…‘Tepi’
bukanlah batas…‘Tepi’ mengandung sesuatu yang sepi, juga menunjukkan keadaan
genting sebab siapa pun akan sendirian ketika ada pelbagai sisi yang dihadapi,
ketika seseorang tak berada di di satu pusat yang mantap. Bukan saja karena
terang dan gelap ada di mana-mana, tapi juga karena kedua-duanya mengandung
bahaya.”[Goen: Tepi]
Saya
menemukan adanya kemiripan deterministik antara tokoh tuhan dalam cerpen Perjamuan Terindah Sepanjang Masa itu
dengan tokoh utama novel Ts’ui Pen dalam Taman
Jalan Setapak Bercecabang karya Borges; pada Bab III, diceritakan Sang
Tokoh mati, tetapi pada bab selanjutnya ia hidup seperti sedia kala, bukannya
bangkit dari kematian, karena ia bahkan tak pernah menutup mata sebelumnya.
Sebagai
pecandu Zarathustra, saya menemukan
pula adanya pengaruh Nietzsche dalam prosesi pembunuhan tuhan dalam cerpen
Algebra. Bedanya, jika Nietzsche secara tegas mengatakan “Tuhan telah mati!”,
sedangkan Algebra hanya membunuh Tuhan yang sudah ‘dibonsai’.
“Mereka
mengecam berhala. Mereka mengecam doa yang membayangkan Tuhan sebagai…bonsai.
Berhala atau bonsai: sesuatu yang memikat justru karena diletakkan di sebuah
kotak yang tetap, seakan-akan hidup, tapi sebenarnya hanya Tuhan yang
diperkecil oleh manusia, sesembahan yang jauh dari hakikat Dia yang
maha-agung.”[Goen: Allah]
Saya
tidak pasti. Barangkali lebih jauh Algebra ingin menjelaskan ihwal konsep “tiada
tuhan selain Tuhan”[Cak Nur] lewat alur ceritanya. Tetapi saya juga
ragu. Jika itu menjadi solusinya, maka konsekuensinya adalah, Algebra telah
menghadirkan Tuhan yang demikian harus diterima dengan kebesaran sikap: apakah
“Tuhan akan lebih memunculkan kebaikan dari dalam kedurjanaan”[Augustinus]
ketimbang mencegah kedurjanaan terjadi?
Saya
menangkap semangat lain dari Algebra: Jika Tuhan kembali dibicarakan dalam
kekinian “Hari Pertama,” bukan berarti Ia hadir setelah kematian, sebuah
nostalgia narsisistik, atau ada setelah berakhir sebagai masa lalu “Hari
Ketujuh,” karena keberakhiran itu hanyalah sebuah rekayasa pelupaan (oleh Para
Penulis) terhadap Yang Ada dalam cerita.
Kembalinya
pembicaraan tentang Tuhan bukanlah bentuk ilusi pengalaman yang penuh bahaya
dan menegangkan, atau metafisika dari yang tiada. Melainkan sebuah operasi
penjejakan kembali dari Yang Ada Yang Hadir ke Yang Ada Yang Tidak Hadir[Heidegger],
dalam kekinian yang terus menerus, now
and here[Derrida], dengan jalan menghadirkannya kembali,
menampilkannya dari lipatan-lipatan, dan menyuarakannya dari kebisuan dan
ketertindasannya dalam kurungan berhala konsep buatan manusia.
Penghadiran
ini bukanlah dari ketidakhadiran karena ketiadaan, namun sebuah penyingkapan
tabir, pembukaan pintu-pintu dalam labirin, penyalaan seberkas cahaya lilin
dalam gelapnya relung kesadaran manusia.
Lebih
lagi jika berhadapan dengan hasrat manusiawi yang selalu merindukan titik pusat
yang stabil, sebuah jaminan, lewat pemahaman dan kejelasan. Kerinduan yang
mengingatkan kembali bahwa dirinya tak lebih dari segumpal darah, mani yang
kotor, Adam (tanah), pemenggalan
terhadap Latah, Uzzah, Whatan, dan Shanam yang ia bangun dari api
kesombongan.
Dengan
demikian, alur seperti itu mengandung kritik bahwa proklamasi keberakhiran
sejarah dan pembunuhan terhadap Tuhan hanyalah sebuah koar, yang terjadi
kemudian adalah tak lebih dari penyangkalan Malin Kundang kepada Ibu-nya.
Stop!
Apakah
pembacaan kita sudah selesai? Belum. Sistematika pembacaan yang berdekonstruksi
dan sedikit melebar seperti ini ternyata tidak mampu memberi jawaban yang bisa
dijadikan sandaran tentang bagaimana korelasi ‘kematian tuhan’ dengan ‘kematian
orang-orang di Rumah Tuhan,’ dan seperti apa gerangan “campur tangan tuhan” itu
terhadap fenomena sosial yang timpang. Maka saya harus membacanya kembali,
kembali membacanya, dan lagi.
Buku
demi buku mulai tak beraturan di atas meja. Saya akhirnya menemukan padanan
(yang saya rasa cukup untuk mendekati) cerita Algebra dalam keping-keping Caping Kakek Tua Goen: Darah.
Barangkali
“tuhan berlumuran darah,” “Para Penulis,” “jas rapi juga safari,” “roti dan
anggur,” “daging dan darah,” adalah bentuk-bentuk kritik simbolik Algebra pada
sistem yang mengatasnamakan dirinya “deliberative
democracy”[Habermas] atau ‘demokrasi rembukan’.
Akan
tetapi, di Negara yang mengalami banyak trauma semacam Indonesia, “Demokrasi
Habermas (itu) hanya akan tampak seperti sebuah ruang sidang yang bersih dan
rapi, jauh dari jalanan yang dihambat lubang dan reruntuhan.”
“...Dengan
darah yang tumpah kemarin,” kata Kakek Tua Goen, “bagaimana kita bayangkan
arena publik ini sebagai ‘demokrasi rembukan’..?” “...Dengan bekas luka yang
masih nyeri, tiap rembukan akan dilihat sebagai sekedar siasat.”
Algebra
seolah ingin menekankan “di sini,” bahwa di Negara ini, “konflik bukanlah
sesuatu (yang terjadi) di luar proses, bukan (pula) ‘kecelakaan’ (yang serba
kebetulan)”, melainkan keputusan dari suatu konsensus yang tidak pernah bulat.
“...Tidakkah kita harus selalu ingat bahwa ada
hal-hal yang retak dan runtuh dan darah yang mungkin tumpah, ketika konsensus
dibulatkan?”
Bukankah
“Politik, dalam arti proses, prosedur, dan prasarana (yang) mengatur kehidupan
bersama di sebuah negeri, tak selamanya hanya bersangkutan dengan negosiasi di
sekitar ruang dan bahan (“tanah” dan “air”, “roti” dan “anggur”), melainkan
juga dengan trauma (“daging” dan “darah”)”?
“…’Darah’
(memang) selalu menerbitkan imaji yang dramatis, apalagi darah yang ‘tumpah’.
Kata itu dekat dengan nyawa dan tubuh. ‘Darah’ yang tumpah berasosiasi dengan
luka, sengsara, resiko, bahaya, dan sengketa.”
Darah
juga adalah keputusan. Dan “Keputusan:…, mengandung kata dasar ‘putus’ :
sesuatu yang traumatis…saat manusia memutuskan adalah ‘saat kegilaan’.…Saat itu
‘gila’ karena meloncat ke dalam ketidakpastian. Ia subjek dari keputusannya,
tapi juga objek yang dibentuk oleh keputusan itu.”[Goen: Yakin]
Persoalan
yang mengganjal kemudian adalah, ketika merujuk pada sabda-sabda Kakek Tua Goen
di atas, dan melahirkan pamahaman bahwa demokrasi kita tak terpisah dari yang
namanya konspirasi, apakah kemudian fenomena “campur tangan tuhan” atas fakta
kekerasan atas nama agama itu, tidak lain hanyalah sebuah alibi?
Memang
benar bahwa Algebra bercerita tentang kekerasan atas nama agama, karena itulah
yang menjadi ide dasarnya. Akan tetapi, sepanjang pembacaan yang
berulang-ulang, saya tidak menemukan Algebra memvonis satu agama pun sebagai
pelaku kekerasan, juga tidak mengatakan agama mana yang merupakan korban
kekerasan.
Lihatlah
tatkala Algebra menuliskan “Rumah Tuhan” yang dibom itu; sepintas barangkali
kita sudah curiga bahwa yang dimaksud dengan Rumah Tuhan itu adalah Gereja.
Akan tetapi, jika maksudnya seperti itu, benarkah orang-orang ketika beribadah
di dalam Gereja, “Ada yang
berdiri mengadah, ada yang duduk bersila, dan ada yang bersujud pasrah”?
Saya
lalu teringat dengan cerita epiphany
tentang: Yakub yang terbangun dan menyadari bahwa tanpa sadar dia telah
bermalam di sebuah tempat suci di mana manusia bisa bercakap-cakap dengan tuhan
mereka, “Betapa menakjubkan tempat ini! Ini tak lain adalah rumah Tuhan (beth El); inilah pintu gerbang surga.”[Armstrong]
Jadi,
barangkali Rumah Tuhan yang dimaksudkan Algebra tidak hanya menunjuk pada
Gereja sebagai Beth El (pintu gerbang
surga, Bethlehem), tapi juga dalam terminologi Islam disebut Baitullah (Rumah Allah/masjid/tempat
bersujud), maupun kuil-kuil Pagan dalam kebudayaan Babilonia yang disebut juga Bab-ili (Gerbang para dewa).
Sehingga
dengan pemaknaan seperti itu, konteks Rumah Tuhan barangkali dapat
dipertanggungjawabkan dalam hubungannya dengan orang-orang “yang berdiri
mengadah, yang duduk bersila, yang bersujud pasrah.” Bahkan jika kata baitullah dan masjid (tempat bersujud) dielaborasi lebih jauh, maka kita akan
menemukan keluasan bahwa Algebra tidaklah menunjuk suatu tempat ibadah
tertentu, melainkan di mana saja di seluruh permukaan bumi (bumi tempat
bersujud).
Demikian
halnya dengan tuhan yang menjadi martir perebutan tulisan. Algebra tidak secara
spesifik melukiskan konsep tuhan dari sebuah agama, tetapi karakter tuhan
Algebra ini adalah perpaduan sedemikian rupa yang “comot-sana-sini” antara
karakter tuhan dari berbagai agama dan orang-orang yang diteladani sepanjang
masa. Di sana, jika jeli membaca tingkah dan proses dialognya, akan ketemu
dengan beragam karakter tuhan mulai dari Kristen, Islam, Yahudi, sampai pada
tokoh semacam Nabi Muhammad, (Isa Al Masih) dan Ali bin Abi Thalib.
Oleh
karenanya, Algebra ingin mengatakan bahwa kekerasan atas nama agama bisa datang
dari mana saja, oleh siapa saja, dengan korban yang beragam pula (tanpa
memandang SARA, sekte, mazhab, aliran, dsb). Dan untuk itu, Algebra lebih
menyalahkan sistem yang mengatur kehidupan bermasyarakat dalam sebuah Negara.
Sistem yang telah membunuh kebenaran, hingga berakibat pada terjadinya
ketimpangan-ketimpangan sosial semacam itu. Apakah Algebra sedang berbicara
tentang ‘teologi pembebasan’?[Weber, Hannafi]
Lalu
bagaimana dengan kata “perjamuan,” “ pengkhianat,” “panah,” “pisau,” “pistol,”
“racun,” “tulisan tuhan,” “sastra terbaik sepanjang masa,” “khotbah hari
keenam,” “penulis senior,” “jiwa-jiwa yang terbang, berlarian dan telanjang”?
Huft…!
Cerpen ini ibarat dunia yang telah menjadi sekedar kumpulan huruf-huruf, kata,
kalimat; sebuah ruang yang ditengah-tengahnya berdiri cermin-cermin raksasa
yang memantulkan masing-masing cermin itu secara tak berhingga, berjejal, hiruk
pikuk, semrawut, dan cerai berai. Huruf, kata dan kalimat itu pun adalah bentuk
dunia sendiri-sendiri, dimana “The Truth”
sengaja diletakkan dalam tanda kurung dan garis silang, sementara saya sudah
kelelahan dalam keasyikan menulis dan melantunkan kalimat-kalimat racauan.
Hal
yang relatif pasti: begitu banyak paradoks, ambiguitas dan ambivalensi dalam
pembacaan kilat terhadap cerpen Algebra itu, karena simbol-simbol yang
dihadirkannya saling bersilang-singkarut, berhamburan, dan tak menetap pada
satu titik makna.
Simbol
demi simbol dalam ruang baca menjadi makna demi makna yang berubah-ubah seiring
waktu pembacaan. Dari sini, pantaskah kita menuduh Algebra sebagai cerpenis
yang menggunakan intellectual gimmick
(tipu muslihat intelektual) yang tidak berisi selain permainan kata-kata?
Seluruh
pertanyaan (yang tak terjawab dan tak) tersebut harus diajukan secara
berhati-hati, sebab jika tidak, kita akan tergoda untuk menemukan sebuah
jawaban, sebuah pharmakon, yang daya
sembuhnya sama dengan kekuatan membunuhnya.
Akhirnya saya menyerah,
meski pembacaan saya untuk membongkar “campur tangan tuhan” ini belum selesai.
Karena pada awalnya, Algebra sudah mengingatkan saya bahwa “tuhan” pun “sedang duduk merenung memikirkan tulisannya yang belum
selesai.”
Dan
“Entah siapa yang menang, entah
siapa yang kalah. Tak tau siapa yang bersedih, dan siapa
yang bahagia.” Selalu saja tak ada makna definitif dalam sebuah
cerita. Dan barangkali, saya tidak akan pernah memperoleh makna yang sama
ketika membaca cerpen ini untuk kedua kalinya. Apalagi jika alasannya tak
sederhana: “Bab terakhir telah
sobek.”
S I M P U L A N ?
Membaca
cerpen Haz Algebra ini seperti bertamasya tak henti-henti dengan kaki pincang di
dalam taman jalan setapak bercecabang.
Begitu banyak labirin yang harus dilalui, begitu sedikit rambu yang ia berikan.
Kita seperti tak akan pernah sampai ke pusat makna dan maksudnya. Atau seperti
kata Algebra sendiri dalam sebuah puisi: sebuah
perbendaharaan tersembunyi di ujung labirin; ada pintu-pintu tak berujung yang
menanti ketersesatan, ada bentangan sarang laba-laba yang terjalin halus namun
rumit.
Barangkali
banyak yang akan meragukan, banyak yang menyerah, dan banyak yang memalingkan
wajah. Banyak pula yang menunda pemaknaan, bahkan banyak yang memuaskan diri
lalu tenggelam dalam larutan kesadaran palsu, dan ada pula yang bisa jadi gila
karenanya. Itu semua membuat kita tegang, tetapi asyik. Membuat kita minder dalam
kebodohan, tetapi harus terus menerus menyelesaikan pemaknaan.
Pola
nalar cerpen ini berada di tepian yang genting, yang selalu mondar-mandir di
antara penalaran ketat konseptual-filosofis dan penggambaran naratif-imajerial
dunia pengalaman, yang ambigu, senantiasa mengalir (flow logic) dan tak pernah sepenuhnya terumuskan. Dan Algebra
mampu meramu kedalaman konseptual abstrak-nya dengan peristiwa-peristiwa kecil
konkrit yang terus bermunculan; juga mampu memberi umpan pemikiran sekaligus
menyentuh imaji dan perasaan.
Cerpen
ini—meminjam kalimat Mas Bambang kepada Kakek Tua Goen—adalah kemanusiaan yang
resah, yang terus menerus memperkarakan dirinya, yang terus menerus hendak
melihat kompleksitas kehidupan, di hadapan kecamuk politik, agama, sains,
budaya, atau apa pun juga; suara manusia yang kodratnya serba tak pasti, yang
setiap kali berani menafsir ulang sejarahnya serta merelatifkan pemikirannya
sendiri, terutama di saat “ajaran lama megap-megap tertimbun ribuan kata dan
makna yang bergerak cepat, berubah cepat.”[Goen: Pengebom]
Dan
barangkali klaim Algebra tak sepenuhnya salah, karena dalam cerpen ini,
peristiwa-peristiwa konkrit lantas berfungsi sebagai lubang kecil untuk setiap
kali mengintip persoalan-persoalan besar kemanusiaan sepanjang peradaban,
persoalan yang kerap berulang, dan barangkali memang kekal sebagai Perjamuan Terindah Sepanjang Masa(?)
---JaDe---
Jakarta, 13022013/20022013
Langganan:
Postingan (Atom)