SADJAK DJEDJAK

"Kita hidup tidak hanya dengan roti saja... metafora juga merupakan sumber nutrisi bagi kehidupan."

16.2.11

Sepercik Karma Di Penghujung Malam




Semua ini berawal ketika aku duduk di sebuah kursi panjang di tepi jalanan yang mirip kursi panjang di teras rumah entah milik siapa. Seperti déjà vu, tiba-tiba pikiranku kembali melayang pada episode pertengkaran itu, saat-saat ketika aku menggenggam lenganmu begitu eratnya hanya untuk menahanmu jangan pergi agar bisa mendengarkan penjelasanku.

Ku raba-raba hembusan angin. Mengendus kutub-kutub udara yang basah. Mereka-reka di mana engkau hendak mewujud. Hanya ada ilusi dalam genangan-genangan kecil dijalanan yang terbuyarkan langkah kaki tergesa-gesa. Aku hanya bisa berseru kepada jiwa yang tergelincir dan menangis di embun senja.

Sore itu, aku tersiksa oleh kerinduan. Begitu rindu. Dan kerinduan itu tumbuh semakin kuat seiring semakin kukuhnya rintangan hidup yang menghadang.
Jujur aku katakan, aku masih mengharapkan kita bisa bicara seperti dulu. Meski kini sepasang bola mata lain telah menjadi tirai penghalang penglihatanku setiap kali sudut mataku menoleh ke arahmu.

Dan kini, aku berada di sini. Sendiri lama sekali. Tersungkur di sisa malam. Terasingkan ataukah mengasingkan diri. Entahlah. Hanya bertemankan bulan yang mulai jenuh dalam sinarnya yang pasi.

Aku memandang diriku sendiri layaknya seorang bayi.

Seorang bayi yang menangis di penghujung malam. Seorang bayi yang menangis dalam kegelapan.

Tanpa bahasa lain kecuali tangisan.
Comments
0 Comments