SADJAK DJEDJAK

"Kita hidup tidak hanya dengan roti saja... metafora juga merupakan sumber nutrisi bagi kehidupan."

2.1.11

Fiksi Lebih Berharga Dari Sekedar Filosofi



penyair (http://ridwansyahyusufachmad.wordpress.com)
“…karena kebenaran adalah milik dari kalimat-kalimat, dan karena kalimat bergantung keberadaannya pada kata-kata, dan karena kata-kata adalah buatan manusia, maka begitu pula dengan kebenaran…”
Sebagian orang tentu pernah membuat kalimat-kalimat indah, bersyair, berpuisi, bersajak atau apapun sebutannya, dengan bahasa yang bersifat metaforis, bahasa puitis. Sebagian orang itu biasanya adalah para penyair, sastrawan, novelis atau jurnalis, terlepas dari pengklasifikasian apakah mereka amatiran atau populer. Dan tentu saja mereka-mereka ini tidak sulit ditemukan di Kompasiana. Bahasa yang mereka gunakan biasanya penuh dengan majas-majas, analogi dan terkadang menghidupkan sesuatu yang tidak hidup sehingga sering dianggap tidak rasional bagi mereka –yang lain- yang berpikir rasional ketika membaca tulisan fiksi. Mereka (para seniman) memberi prioritas terhadap persuasi dan retorika di saat argumentasi rasional dan saintifik hanya menciptakan kebingungan dan kekacauan pikiran. Inilah yang membuat fiksi, yang menggunakan nalar-metafora, bagai dunia tak berpondasi dibandingkan dunia filosofi, yang menggunakan nalar-forma.
Ketika seseorang sedang membuat sebuah karya fiksi, maka secara tidak langsung ia juga sedang berfilsafat. Namun, nalar-metafora yang ia gunakan telah membuat filsafat yang tadinya di tulis dengan huruf “F” menjadi filsafat yang ditulis dengan huruf “f”, karena pada akhirnya, ia bisa melepaskan diri dari kesibukan bergulat dengan problem-problem filosofis, seperti identitas, substansi, metafisika dan mulai berpikir tentang “manusia”. Meskipun karya fiksi terkadang menyingkirkan rasionalitas, dan bahasa-bahasa figuratif menggantikan skemata logis, namun nalar-metafora fiksi selalu mengagungkan kejujuran sebagai nilai tertinggi melebihi keindahan, dan makna yang ingin ditampilkan selalu terjaga dalam ‘aksara-aksaranya’. Hal ini berbeda dengan aspek rasionalitas/nalar-forma dari filsafat yang lebih memenjarakan makna pada satu nilai dan mengunci rapat terhadap hadirnya sesuatu -yang mungkin hadir- yang tersembunyi dari penggalan realitas. Itulah filsafat yang beku dan kaku. Padahal, kebenaran -sebagaimana pandangan Richard Rorty di awal tulisan ini- tidak lain merupakan suatu aktivitas menginterpretasikan pengalaman dengan menggunakan bahasa. Oleh karena itu, “kehidupan hanya bisa dipahami sebagai perubahan cara menggunakan metafor untuk mendeskripsikan realitas yang ada.” Demikian jelasnya.
Tidak semua karya fiksi adalah imaginasi belaka, melainkan juga terinpirasi dari fenomena kehidupan yang tidak lain adalah realitas dengan porsi-porsi tertentu, tergantung dari pembuat fiksi. Penulis novel Amerika Serikat, Barbara Kingsolver pernah berkata, ”Menulis fiksi adalah tarian antara kebenaran dan penemuan… Inspirasiku datang dari kehidupan di dunia dan melihat hal-hal yang membuatku mengertakkan gigi karena jengkel, atau bernyanyi gembira,” Karya fiksi seperti inilah yang dapat menggambarkan kondisi realitas kehidupan manusia, baik berupa penderitaan maupun kebahagiaan, dan semuanya dipandang dengan sikap ironi. Bayangkan saja ketika kita merasa kesepian dan absurd, untuk melenyapkan hal itu akan lebih menyentuh kesadaran kita dengan melalui cerita-cerita, narasi, metafor, ketimbang hanya dengan argumentasi rasional yang seringkali bersifat sangat abstrak. Dengan demikian, kita juga dapat memahami nasib dan kehidupan orang lain, jika kita mau mendengarkan cerita mereka. Proses menyampaikan refleksi atas dunia dengan cara-cara baru inilah yang disebut sebagai seni. Seorang filsuf Jerman yang dikenal sebagai filsuf seniman (Künstlerphilosoph), Nietzsche, berkata bahwa kegiatan seni adalah kegiatan metafisik yang memiliki kemampuan untuk me-transformasi-kan tragedi hidup. Bahkan dalam konsep manusia unggul (Ubermensch) yang dicetuskannya, dia mengibaratkan perbedaan antara seniman dan orang-orang pada umumnya seperti perbedaan antara manusia yang sesungguhnya dan binatang (manusia yang belum mencapai ‘kemanusiaannya’).
Walaupun para seniman (penyair, novelis, dll) menciptakan sebuah karya dari pola pikirnya yang bersifat individual dari ruang privat-nya, tapi saat seni tersebut muncul di ruang publik maka akan mengalami perubahan dengan sendirinya. Di sinilah para seniman dapat memainkan sebuah peran sebagai pembentuk solidaritas sosial. Melalui tutur kata dan tulisan-tulisan para penyair misalnya, mata kita dibuka untuk melihat penderitaan yang dialami orang lain. Dengan itu, kepekaan dan solidaritas kita diasah, serta kita didorong untuk melenyapkan semua bentuk penderitaan, atau minimal menguranginya. Melalui halaman-halaman yang ditulis oleh para novelis dan penyair, apa yang disebut sebagai keresahan tentang kebaikan publik akan terlahir dari sana yang tidak muncul di dalam diskusi-diskusi rasional filosofi. Sehingga, tidak salah jika dikatakan bahwa seni fiksi lebih berharga dari sekedar filosofi.
*
“Manusia hidup tidak hanya dengan roti saja… fiksi dan metafora juga merupakan sumber nutrisi bagi kehidupan manusia… bahkan, Tuhan dan firman-Nya sekalipun juga penuh dengan metafora.”
- Salam KOPITALISME

Comments
0 Comments