12.11.10
Refleksi Hari Kesehatan Nasional 2010: Ternyata Masalah Kesehatan Tidak Populer!

“Health is not everything, but without health everything is nothing”
Kesehatan adalah unsur vital dan merupakan elemen terpenting dalam kehidupan seseorang. Tanpa kesehatan, tidak mungkin bisa berlangsung aktivitas seperti biasa, dan cenderung menjadi tidak produktif. Menurut Soehardi (2008), dalam kehidupan berbangsa, pembangunan kesehatan sesungguhnya bernilai investatif. Nilai investasinya terletak pada tersedianya sumber daya yang senantiasa “siap pakai” dan tetap terhindar dari serangan berbagai penyakit. Artinya, jika negara tidak memperhatikan kesehatan penduduknya, maka akan membuat rakyatnya menjadi tidak produktif bahkan menjadi beban negara jika banyak rakyatnya yang sakit. Dan pada gilirannya ancaman hilangnya generasi (lost generation) bisa terjadi. Hilangnya generasi ini bukan hanya mati, tapi anak-anak akan tumbuh dewasa dengan banyak kekurangan: kecerdasan kurang, rentan terhadap penyakit, tumbuh kembang fisik/mental yang tidak sempurna yang pada akhirnya membuat anak menjadi tidak produktif. Namun, masih banyak orang yang menganggap remeh hal ini.
PEMBANGUNAN KESEHATAN, "ANAK TIRI" PEMBANGUNAN NASIONAL
Sengaja atau tidak sengaja, disadari atau tidak disadari, masalah kesehatan memang dianggap sepele oleh para pembuat kebijakan/policy makers (baik legislatif maupun eksekutif). Padahal, untuk mencapai Tujuan Nasional Bangsa Indonesia sebagaimana dalam Pembukaan UUD 1945, maka kesehatan merupakan modal dasar bagi upaya meraih kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Pembangunan kesehatan merupakan bagian dari pembangunan nasional yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Demikian halnya pada hasil amandemen UUD 1945 tahun 2000 pasal 28 ayat 1 yang kemudian diperkuat dengan amandemen UUD 1945 tahun 2002 dalam pasal 34 ayat 2 dan 3 yang secara umum menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab terhadap pembangunan kesehatan nasional, baik meliputi upaya promotif, prefentif, kuratif dan rehabilitatif. Namun, upaya pembangunan kesehatan ini masih bak anak tiri. Akar masalah dari rendahnya status kesehatan masyarakat saat ini adalah karena pembangunan kesehatan belum berada pada arus utama (mainstream) dari pembangunan nasional. Salah satu indikator yang bisa dilihat adalah rendahnya anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk sektor kesehatan. Padahal rendahnya anggaran merupakan masalah utama dalam membiayai setiap bentuk pelayanan kesehatan. Jika anggaran kesehatan rendah, bagaimana penduduk akan memanfaatkan fasilitas kesehatan, khususnya untuk mereka yang miskin.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya anggaran kesehatan di Indonesia, salah satunya adalah tidak adanya landasan hukum yang kuat tentang besaran anggaran kesehatan. Jika tolak ukur untuk menilai kesejahteraan masyarakat adalah pendidikan dan kesehatan, maka sangat jelas sektor kesehatan menjadi anak tiri dalam pembangunan nasional karena hanya sektor pendidikan yang memiliki undang-undang yang secara jelas menyebut besar minimal anggarannya yakni 20% dari total APBN, sedangkan sektor kesehatan dalam satu dekade terakhir masih tak tentu dan hanya berkisar antara 1,5-2,4% dari total APBN. Karena anggaran kesehatan ini tidak memiliki undang-undang, maka sampai kapanpun akan sulit untuk ditingkatkan. Faktor lain yang ikut mendukung rendahnya anggaran kesehatan adalah rendahnya komitmen pemerintah untuk kesehatan. Berbeda dengan anggaran pendidikan yang wajib dipenuhi oleh pemerintah, anggaran kesehatan yang tak memiliki landasan hukum masih berupa "kertas putih" yang tergantung pada political will pemerintah/pembuat kebijakan untuk menuliskan angka di atasnya karena permasalahan anggaran merupakan permasalahan politis dan kepentingan. Jika pemerintah memiliki kemauan politik yang kuat untuk meningkatkan anggaran kesehatan, maka semua itu bisa saja terjadi. Tapi, selama ini pemerintah tidak konsisten dan tidak benar-benar memiliki komitmen untuk masalah kesehatan. Pemerintah hanya bisa berkampanye dalam dialog-dialog politiknya bahwa kesehatan itu perlu tapi tidak ada “lips service-nya”. Kebanyakan pembuat kebijakan masih menganggap masalah kesehatan tidak bersifat produktif melainkan bersifat konsumtif sehingga kurang diprioritaskan. Jika diamati kemudian, alokasi anggaran pembangunan kesehatan saat ini lebih ditekankan pada upaya kuratif/rehabilittif ketimabang upaya promotif/prefentif sehingga selain kurang diprioritaskan, alokasi anggaran dalam proses pembangunan kesehatan juga (masih) tidak tepat.
Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah strategis untuk mengatasi masalah ini. Mengutip perkataan Prof. Krisna Jaya, salah seorang staf ahli Menteri Kesehatan KIB II dalam Pembukaan Rakornas Bakornas LKMI PB HMI beberapa waktu lalu di Surabaya: "Kebijakan Kesehatan hari ini sangat susah masuk ke nuansa politis dikarenakan para tenaga kesehatan tidak berani meneriakkan aspirasinya. Sehingga yang ada malah kebijakan kesehatan yang dipolitisasi. Padahal jika kebijakan kesehatan memiliki kekuatan politis, maka masalah kesehatan bisa terselesaikan". Tersirat langkah strategis dalam pernyataan itu bahwa untuk mempopulerkan masalah kesehatan atau menjadikannya prioritas, maka dituntut peran para tenaga kesehatan untuk mengambil sikap tegas dan nyata. Menurut penulis, para tenaga kesehatan ini terdiri dari mereka yang sudah berprofesi di bidang kesehatan, para tenaga kesehatan yang sudah mengambil jalur birokrasi (baik di pusat maupun daerah), bahkan para mahasiswa kesehatan yang masih di kampus-kampus sangat diharapkan untuk kritis dalam masalah ini. Sekali lagi, masalah penganggaran ini merupakan aktifitas politik, dimana baik proses maupun produknya adalah produk politik. Menurut pendapat pakar politik, ada serangkaian komponen, proses, alokasi sumber daya, aktor dan kekuasaan yang berperan dalam penetapan kebijakan. Sehingga kebijakan yang dihasilkan merupakan produk dari serangkaian interaksi elit kunci dalam setiap detil proses pembuatan kebijakan tersebut termasuk tarik menarik kepentingan antara aktor, interaksi kekuasaan, aloksi sumber daya dan posisi tawar (bargaining position) diantara elit yang terlibat. Maka tenaga kesehatan yang sudah menempuh jalur birokrasi sangat dituntut peran idealisme-nya dalam mengawal pembuatan kebijakan ini. Selain itu, para tenaga kesehatan yang berada di struktur organisasi-organisasi profesi juga harus melakukan advokasi-advokasi terkait permasalahan ini agar bisa lebih mengoptimalkan fungsinya sebagai organisasi profesi. Dan para mahasiswa juga harus ikut andil dalam mem-back up, mengkritisi, melakukan advokasi termasuk melakukan public hearing untuk menyadarkan kembali pentingnya masalah kesehatan kepada masyarakat agar masyarakat juga ikut berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan. Jika langkah ini sudah dilakukan, maka tidak menutup kemungkinan permasalahan kesehatan akan masuk dalam arus utama pembangunan nasional sehingga tidak lagi menjadi "pion" yang diobok-obok oleh pemerintah, yang selalu diletakkan di barisan terdepan tapi kemudian dikorbankan.
Sebagai penutup dan untuk mempertegas maksud dari tulisan ini, penulis mengutip status Facebook Dr. Zaenal Abidin selaku Ketua Umum Terpilih IDI 2012-2015: "Hari Kesehatan Nasional 12 November 2010, Keluarga Sehat Investasi Bangsa. Semoga HKN betul Hari Kesehatan Nasional, bukan terdistorsi menjadi sekedar Hari Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan."

