Aga menangis.
Ia menjerit-jerit di pintu sebelah sana.
Memanggil-manggil Ma’nya yang hilang.
Tertegun. Termangu.
Suara orang-orang berteriak melengking. Suara orang-orang lari kesana kemari. Suara pentungan. Suara letusan menggelegar. Suara gempita dengan pekik nama yang aneh. Suara Ma’-Rah.
“Berani seperti mereka, Aga?”
“Tidak.”
“Kenapa tidak?”
“Biar selamat.”
“Selamat itu tak cukup dengan menjawab tidak.”
“Tapi selamat itu sudah cukup dengan kata tidak-tersesat.”
Tiba-tiba lengan Aga ada yang menarik. Agak kasar.
Aga meronta, tapi tak berdaya.
“Ayo!”
“Ke mana?”
“Pulang.”
“Ke mana?”
“Ke asal.”
Diam merunduk. Ragu-ragu.
“Maafkan. Aku tak bisa sekarang. Beri aku kesempatan.”
“Kesempatan untuk apa?”
“Mencari Ma’ ku yang hilang.”
“Akulah Ma’mu. Ma’-Rah.”
“Bukan.”
“Kenapa bukan?”
“Ma’ ku tidak pernah menonjolkan namanya.”
Dan ia terhenyak.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar